Home Ekonomi Relokasi PKL Malioboro Tak Jelas, Pengunjung Terancam Tak Bisa Lagi Makan Lesehan

Relokasi PKL Malioboro Tak Jelas, Pengunjung Terancam Tak Bisa Lagi Makan Lesehan

Yogyakarta, Gatra.com -

Pedagang kaki lima (PKL) Malioboro menuntut pemindahan lokasi berjualan pada bulan ini ditunda hingga 1-3 tahun. Ketua DPD Asosiasi PKL Indonesia Kota Yogyakarta, Wawan Suhendra, menyebut tempat berjualan yang baru tidak memadai sehingga jika dipaksakan, relokasi bakal menghilangkan karakter PKL Malioboro, seperti penjual makanan lesehan.

"Sampai hari ini, kami belum menerima informasi yang jelas posisi kami di mana tepatnya di tempat relokasi yang baru. Belum tahu besaran pastinya berapa (luasnya). Belum pernah secara terbuka disampaikan. Apalagi diajak bersama meninjau tempat tersebut," kata Wawan saat audiensi dengan DPRD Kota Yogyakarta, Senin (17/1).

Para pedagang justru mendapat informasi sepotong-potong soal pemindahan tersebut. Menurut dia, besaran lapak dagangan sangat tidak memadai dan tidak mengakomodasi karakter dagangan.

"Seperti lesehan, yang di tempat yang baru, tidak menyediakan pengunjung untuk menikmati makanan sembari duduk lesehan. Salah satu akar masalah hal itu dapat terjadi karena tempat relokasi dibuat dahulu, baru dilakukan pendataan jumlah PKL dan jenis dagangannya. Sehingga PKL yang dipaksakan menyesuaikan," ujarnya.

Para PKL di sepanjang Jalan Malioboro rencananya akan dipindah di dua lokasi terpusat di Malioboro, yakni di shelter los di eks Dinas Pariwisata dan gedung sentra PKL di eks bioskop Indra.

Wawan menegaskan, PKL tidak menolak kebijakan relokasi. "Tetapi kami meminta penundaan pelaksanaannya untuk jangka waktu 1 sampai 3 tahun," ujarnya.

Ia menjelaskan ada empat alasan relokasi itu harus ditunda. Pertama, alasan kondisi ekonomi terkait Covid-19. Kedua, tempat relokasi yang belum siap, belum jelas, tidak memadai, dan tidak layak.

"Ketiga, proses sosialisasi yang tidak dialogis dan tidak transparan atau terbuka. Keempat, tidak ada alasan apapun yang bersifat darurat, mengapa relokasi ini wajib tergesa-gesa dilakukan," tuturnya.

Oleh karena itu, para PKL meminta Pemerintah Kota Yogyakarta untuk menghentikan proses sosialisasi yang satu arah, tertutup, suka-suka, dan menekan.

"Kami juga minta nenunda waktu relokasi antara 1 sampai 3 tahun. Supaya secara ekonomi kami lebih siap. Berkenaan waktu yang tepat untuk relokasi, dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi kami," katanya.

Selain itu, dengan penundaan itu, tempat relokasi juga akan benar-benar siap dan memadai sesuai jumlah dan jenis dagangan di tempat semula. Begitu pula, fasilitas akses bagi pengunjung. Dalam rentang waktu tersebut, ada kejelasan dan kepastian terhadap kondisi dan keadaan kami di tempat yang baru,

"Seperti di mana kami di relokasi serta di mana letak kami di sana, berapa ukuran lapak kami, apakah layak sesuai dengan karakter dagangan kami. Seperti lesehan, apakah besaran lapak dagangannya sesuai dan ada tempat bagi pengunjung yang memadai untuk makan sembari duduk lesehan," tuturnya.

Menurutnya, dengan penundaan itu, konsep dan program untuk menarik pengunjung sebagai pengganti daya tarik utama PKL selama ini dapat disiapkan dengan baik.

"Kami istimewa bukan pada jenis dagangannya. Tapi di lokasi saat ini kami berada di tengah-tengah lalu lintas pengunjung," katanya.

PKL juga mempertanyakan bentuk perhatian dan kompensasi yang diberikan pemda terhadap PKL saat penjualan menurun tajam di lokasi baru.

"Bagaimana juga tanggungjawab pemerintah terhadap kami dalam jangka panjang berkaitan dengan memastikan lokasi baru yang kami tempati menarik untuk dikunjungi," ujar Wawan.

Kepada DPRD Kota Yogyakarta, PKL juga meminta untuk memperjuangkan aspirasi mereka. "Kami meminta dibentuk pansus soal relokasi dan dalam masa pembentukan pansus, Pemkot menghentikan proses relokasi," tutur Wawan.

Atas tuntutan PKL ini, DPRD Kota Yogyakarta bersedia membentuk pansus untuk mendialogkan pemindahan PKL tersebut.

325