Home Kolom Menimbang Untung Rugi Kerja Sama RI-Singapura (Bagian I)

Menimbang Untung Rugi Kerja Sama RI-Singapura (Bagian I)

Kolom

Kerja Sama RI-Singapura Buah Keberhasilan?

Oleh: Fitri Bintang Timur*

 

“Fakta bahwa kedua negara telah mencapai jalan tengah pada kesepakatan yang dirancang dan dibahas selama beberapa tahun ini merupakan pencapaian besar”.

--------------

 

Akhir-akhir ini publik berpolemik soal terjadinya perjanjian kerja sama Indonesia dan Singapura yang ditandatangani Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong pada 25 Januari 2022. Kesepakatan Bintan yang dicapai oleh Indonesia-Singapura dalam Leaders’ Retreat mengenai wilayah informasi penerbangan (Flight Information Region) sejatinya merupakan suatu keberhasilan.

Hal ini dibangun dengan tiga alasan. Pertama, Indonesia dan Singapura mampu menyepakati perjanjian yang sudah sejak lama dirundingkan di mana isunya merupakan hal “sensitif” mengenai batas wilayah udara yang meski tidak secara langsung berkaitan dengan ‘kedaulatan’ tapi berhubungan dengan pengamanan wilayah udara Indonesia.

Kedua, terdapat kesepakatan untuk penempatan personel Indonesia di Singapore Air Traffic Control Center yang diberi mandat untuk mengawasi setiap pelanggaran yang dilakukan di area tersebut. Meski ada beberapa ahli yang menganggap ini sebagai kekalahan karena Singapura tetap memiliki wilayah udara Changi, namun untuk mengizinkan ahli Indonesia mengawasi pelanggaran berarti Singapura sangat mempercayai Indonesia untuk memberikan akses dan kemampuan sharing informasi dan pengintaian/surveilance.

Padahal, bisa saja Singapura menolak memberikan kesempatan ini dan meminta Indonesia hanya mengawasi lewat radar. Jadi, jelas ada keinginan untuk saling membangun kepercayaan. Ketiga, terdapat manfaat ekonomi yang datang dari Singapura dalam membayar biaya penyediaan jasa penerbangan (PJP) ke Indonesia.

Penting untuk memahami mengapa perjanjian Flight Information Region (FIR) memberikan efek riak kebanggaan bagi masyarakat Indonesia karena akses terhadap ‘wilayah’ merupakan salah satu pengakuan “kedaulatan” yang sangat dijunjung tinggi di Indonesia. Ketika Singapura setuju untuk memberikan Indonesia kedaulatan hak udara atas Kepulauan Riau dan Natuna, itu tidak hanya dipersepsikan sebagai bentuk perpanjangan dari United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), namun juga sebagai formalisasi hak Indonesia di wilayahnya sendiri.

Pentingnya perjanjian ini adalah menghentikan kerugian yang disebabkan oleh penjajahan negara-negara Barat di Indonesia dan seluruh Asia yang mana dulu di tahun 1946 saat FIR dibentuk, semenanjung Malaysia, termasuk Singapura, merupakan bagian dari wilayah Inggris. Singapura sendiri baru menjadi bangsa independen pada 1965 yang dilimpahkan hasil perjanjian internasional dari Inggris.

Fakta bahwa kedua negara telah mencapai jalan tengah pada kesepakatan yang dirancang dan dibahas selama beberapa tahun ini merupakan pencapaian besar. FIR telah diperdebatkan sejak 2010-an, perjanjian ekstradisi sejak 2007, dan Perjanjian Kerjasama Pertahanan (Defence Cooperation Agreement - DCA) juga telah disepakati pada 2007.

Menurut pendapat pribadi saya, kita masih perlu mengamati untuk dapat menilai apakah penandatanganan tersebut dapat dikatakan berhasil atau tidak, karena akan ada perjanjian yang mendetilkan pelaksanaan pemindahtanganan wilayah udara dari Singapura ke Indonesia. Belajar dari pengalaman masa lalu, mantan Presiden Susilo Bambang Yudoyono pernah menandatangani DCA pada tahun 2007 silam, namun gagal tidak disahkan oleh DPR RI karena banyaknya opini buruk atas perjanjian tersebut.

Alangkah baiknya kesepakatan yang terlah dicapai lima belas tahun setelahnya ini dapat diratifikasi dan dilaksanakan, karena baik atau buruknya suatu kerjasama dapat terukur setelah dijalankan. Kita perlu mengetahui apakah Indonesia memiliki kapasitas dan konsistensi untuk mempertahankan kualitas mengelolaan FIR di wilayah Kepulauan Riau, Tanjung Pinang, Natuna, Sarawak dan Semenanjung Malaysia setelah dikembalikan oleh Singapura ke Indonesia.

Diplomasi dan Bargaining

Diplomat Indonesia konsisten menegosiasikan perjanjian ekstradisi dengan Singapura, sama halnya yang telah dan sedang dilakukan dengan negara tetangga lainnya seperti Malaysia, Thailand, Filipina, Australia, Hong Kong, dan Korea Selatan. Hal ini untuk memastikan bahwa setiap tindak pidana yang dilakukan oleh orang Indonesia di wilayah Indonesia, namun individu yang bersangkutan melarikan diri ke negara-negara tersebut dapat dibawa kembali dan diadili sesuai dengan hukum Indonesia.

Pada dasarnya, tujuan Indonesia mengadakan perjanjian dengan Singapura ini adalah untuk mengekstradisi individu yang telah melakukan korupsi, kejahatan perbankan, terorisme, dan 28 jenis kejahatan lainnya. Perjanjian serupa pernah ditandatangani kembali pada 2007, tetapi tidak pernah dilaksanakan karena tidak mendapat ratifikasi parlemen Indonesia karena terdapat keberatan dari publik saat itu yang memberikan ijin untuk Singapura melakukan pelatihan militer di wilayah Indonesia. Tahun ini, klausul tersebut masih merupakan bagian dari perjanjian Singapura dan Indonesia yang disepakati kembali penandatanganan perjanjian setelah 15 tahun, pertanyaannya adalah: apa yang berubah?

*Peneliti Departemen Politik dan Hubungan Internasional, Centre for Strategic and International Studies (CSIS)

160