Home Kolom Menimbang Untung Rugi Kerja Sama RI-Singapura (Bagian II)

Menimbang Untung Rugi Kerja Sama RI-Singapura (Bagian II)

Kolom

Kerja Sama RI-Singapura Buah Keberhasilan?

Oleh: Fitri Bintang Timur*

 

Saya berpendapat bahwa, pertama-tama, perjanjian itu tidak mengancam kedaulatan dan yurisdiksi Indonesia”.

--------------

 

Kekhawatiran tentang bagaimana perjanjian pertahanan (Defense Cooperation Agreement) akan mengurangi keamanan nasional Indonesia saat itu menjadi perhatian publik. Secara khusus, apa artinya bagi keamanan, kedaulatan, dan yurisdiksi Indonesia ketika Singapura secara bebas melakukan pelatihan militer di wilayah Indonesia?

Kembali ke 2007, di mana DPR RI menolak penerapan Defense Cooperation Agreement (DCA) karena, selain menerima ketidaksepakatan publik atas penandatanganan, itu tidak membawa manfaat apa pun bagi Indonesia. Meskipun DCA selalu dikaitkan dengan perjanjian ekstradisi, mungkin keterkaitan dengan FIR menjadi dorongan terakhir bagi Indonesia untuk menandatangani DCA sekali lagi.

Dari sisi keamanan, perlu dicatat bahwa DCA dilihat oleh pemerintah Indonesia sebagai payung untuk memperkuat hubungan bilateral di bidang keamanan, pertukaran informasi, kerja sama teknologi keamanan, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, pertukaran personel militer secara teratur, serta sebagai latihan dan operasi bersama. Selain itu, kerjasama bilateral kedua negara dalam bentuk latihan militer bersama telah terjalin sejak 1970-an.

Saya berpendapat bahwa, pertama-tama, perjanjian itu tidak mengancam kedaulatan dan yurisdiksi Indonesia. Kedaulatan Indonesia diyakinkan dalam Pasal 4 DCA tentang Penerapan Teritorial yang berbunyi:

"For the purpose of this Agreement, the term 'territory' shall mean the territory of the Republic of Indonesia or of the Republic of Singapore as defined in their prospective laws in conformity with the provisions of the 1983 United Nations Convention on the Law of the Sea".

Yang kira-kira berarti:

Untuk tujuan Persetujuan ini, istilah "wilayah" berarti wilayah Republik Indonesia atau Republik Singapura sebagaimana didefinisikan dalam undang-undang kedua negara yang sesuai dengan ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1983 tentang Hukum Laut.”

Pasal tersebut cukup jelas menyatakan bahwa kegiatan Singapura dalam melakukan latihan militer di Indonesia tidak dimaksudkan untuk menimbulkan dilema hak teritorial. DCA juga tidak mengancam yurisdiksi Indonesia sebagaimana terlihat dalam DCA Pasal 9 Ayat 1 tentang Yurisdiksi dan Gugatan yang berbunyi sebagai berikut:

Pihak berwenang dari Pihak Penerima berhak untuk melaksanakan yurisdiksi eksklusif atas personel militer dan/atau komponen sipil dari Pihak Pengirim sehubungan dengan tindak pidana yang dilakukan di dalam wilayah Pihak Penerima”.

Artinya, dalam hal ada personel militer dan/atau komponen sipil Singapura yang melanggar hukum Indonesia, Indonesia diperbolehkan membawa individu tersebut ke ruang sidang negara tersebut. Yurisdiksi Indonesia ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 11 tentang Penyelesaian Sengketa yang memberikan kedudukan hukum yang sama bagi Indonesia dan Singapura di bawah Komite Kerjasama Pertahanan, pertemuan antara Kementerian Pertahanan dari kedua negara, serta saluran diplomatik alternatif jika terjadi perselisihan.

Dalam analisis ini, dapat dimengerti mengapa beberapa suara yang menilai perjanjian ini merugikan Indonesia Singapura. Hal ini karena DCA menawarkan itikad baik dari Indonesia dalam membantu Singapura dengan ruang untuk pelatihan militer mereka. Sedangkan di sisi lain, hak ekstradisi serta FIR merupakan persoalan hukum internasional.

Inilah sebabnya mengapa beberapa ahli memandang aneh bagi Singapura untuk tawar-menawar dengan apa yang menjadi “hak” Indonesia untuk mendapatkan ratifikasi DCA. Meski begitu, Indonesia juga tidak serta-merta merugi dengan meratifikasi DCA. Hal ini berbeda dengan Singapura yang dengan perjanjian baru ini kehilangan hak udara di atas 37 ribu kaki Kepulauan Riau dan Natuna. Oleh karena itu, dilihat dari tingkat kompromi, penandatanganan ketiga perjanjian tersebut dapat dilihat sebagai kemenangan diplomatik bagi Indonesia.

Perbedaan dengan DCA Era Sebelumnya

Hubungan dan persahabatan antara Singapura dan Indonesia tetap terjalin kuat di dua periode tersebut. Selain penandatanganan tiga perjanjian (tentang FIR, perjanjian ekstradisi dan DCA) dan perubahan masa berlaku surut dari 15 tahun menjadi 18 tahun dalam perjanjian ekstradisi, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam kemitraan kedua negara di era Jokowi dibandingkan dengan SBY dan Soeharto.

Dalam hal hubungan pribadi, mungkin dapat dikatakan bahwa mantan PM Singapura Lee Kuan Yew dan mantan Presiden Indonesia Soeharto memiliki persahabatan yang terkenal kuat. Diketahui, meski Presiden Soeharto telah lengser dari jabatan kepresidenannya, PM Lee Kuan Yew tetap memuji Presiden Soeharto atas segala kontribusinya bagi Indonesia, ASEAN, dan kawasan Asia Tenggara.

Indonesia dan Singapura telah lama menjalin kerjasama bilateral seperti Bilateral Liquidity Management Arrangement dan Bilateral Investment Treaty. Selain itu, kedua negara terus membuat kesepakatan baru untuk memperkuat hubungan bilateral mereka. Misalnya Perjanjian Pertukaran Data Elektronik untuk Memfasilitasi dan Mengamankan Perdagangan Indonesia-Singapura, dan Nota Kesepahaman Kerjasama Kearsipan antara Arsip Nasional Indonesia (ANRI) dan Badan Perpustakaan Nasional Singapura yang ditandatangani kedua negara pada tahun 2019.

DCA dan Pusaran Konflik LCS

Perjanjian DCA menyatakan bahwa Singapura dapat menggunakan Area Apha One dan Area Alpha Two Indonesia untuk pelatihan militer Pesawat Udara Angkatan Udara Singapura dan Area Bravo Indonesia untuk pelatihan militer Kapal Udara dan Kapal Angkatan Laut Singapura. Latihan bersama yang dilakukan di Area Bravo menjadi mengkhawatirkan mengingat ketegangan LCS.

Berdasarkan DCA Pasal 2 Huruf C, mengenai kesanggupan Singapura untuk mengundang negara lain berbunyi sebagai berikut:

"The Singapore Armed Forces may exercise or train with the armed forces of other countries in Indonesian airspace in Area Alpha Two, and Indonesian waters and airspace in Area Bravo, with Indonesia’s consent. Indonesia may observe such exercises by sending its observers. Indonesia may participate in such exercises after consultation between the parties. Personnel and equipment of the armed forces of other countries exercising or training with the Singapore Armed Forces in Indonesian waters or airspace shall be treated in the same manner as personnel and equipment of the Singapore Armed Forces".

Yang kira-kira berarti:

"Angkatan Bersenjata Singapura dapat melakukan latihan atau latihan dengan angkatan bersenjata negara lain di wilayah udara Indonesia di Area Alpha Dua, dan perairan dan wilayah udara Indonesia di Area Bravo, dengan persetujuan Indonesia. Indonesia dapat mengamati latihan tersebut dengan mengirimkan pengamatnya. Indonesia dapat berpartisipasi dalam latihan tersebut setelah berkonsultasi di antara para pihak. Personil dan perlengkapan angkatan bersenjata negara lain yang berlatih atau berlatih dengan Angkatan Bersenjata Singapura di perairan atau wilayah udara Indonesia harus diperlakukan dengan cara yang sama seperti personil dan perlengkapan Angkatan Bersenjata Singapura".

Yang perlu digarisbawahi justru tingkat kontrol yang dimiliki Indonesia atas ajakan Singapura terhadap negara lain dalam melakukan latihan militer bersama. Karena Indonesia sangat menyadari ketegangan di LCS, maka diharapkan negara tersebut akan menggunakan pemahaman ini sebagai pertimbangan untuk memberikan persetujuannya atas undangan Singapura dari negara lain. Meski begitu, dengan situasi yang rentan, setiap kegiatan militer di daerah itu pasti akan menjadi perhatian semua penuntut.

Melihat kasus-kasus masa lalu, konflik di Natuna muncul ketika negara anggota jelas-jelas melanggar garis ZEE Indonesia. Ini mengacu pada peristiwa 2016. Ketegangan meningkat ketika kapal nelayan Cina menolak permintaan Indonesia agar mereka pergi. Korvet angkatan laut Indonesia kemudian melepaskan tembakan peringatan, menandakan bahwa Indonesia tidak takut untuk mengambil sikap yang lebih agresif.

Menanggapi tembakan peringatan tersebut, Cina mengerahkan penjaga pantai saat Indonesia mengirim 6 kapal perang untuk melakukan latihan angkatan laut selama 12 hari. Kegiatan Indonesia di Natuna yang diperebutkan oleh Cina adalah pengeboran minyak dan gas negara itu, bukan pelatihan militer. Namun, mengingat Singapura bukan penggugat, maka kawasan Bravo sendiri tidak dipermasalahkan, dan kegiatan tersebut semata-mata pada pelatihan di bawah pengawasan Indonesia, tidak boleh memicu konflik bersenjata di Natuna.

Strategi RI Kuasai FIR dan Klaim Teritorial

Menurut saya, pengambilalihan FIR oleh Indonesia dari Singapura harus dilihat sebagai bentuk penegasan teritorial. Ini karena, meskipun sudah ada institusi/organisasi pengaturan penerbangan internasional seperti International Civil Aviation Organization (ICAO), Indonesia membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun untuk secara resmi diberikan hak tersebut. ICAO Bab 1 tentang Prinsip Umum dan Penerapan Konvensi Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Negara-negara penandatangan mengakui bahwa setiap Negara memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif atas wilayah udara di atas wilayahnya”.

Namun, dalam konteks hukum internasional, pasal-pasal yang ditulis secara hitam putih tidak menjamin apapun tanpa persetujuan dan pengakuan negara. Oleh karena itu, mengapa penting bagi Indonesia untuk mengejar formalisasi pasal ini. Konsisten dengan hal tersebut, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit, keberhasilan Indonesia dalam kesepakatan FIR juga semakin memperkuat posisi Indonesia di LCS.

Selaras dengan sikap Indonesia, hak udara atas Natuna semakin meniadakan sembilan garis putus-putus Cina. Belum ada komentar publik dari Cina mengenai perjanjian FIR yang baru ditandatangani. Seperti terlihat pada kasus-kasus sebelumnya, Indonesia tidak akan takut untuk mengambil tindakan terhadap setiap pesawat Cina yang melintasi hak udara Indonesia tanpa persetujuan negara.

Keberhasilan kesepakatan FIR dengan Singapura juga bisa dilihat sebagai salah satu faktor mengapa Indonesia berencana memindahkan ibu kotanya ke Kalimantan Timur. Terkenal, motivasi negara untuk melakukan perubahan ini dibangun di atas faktor ekonomi termasuk pemerataan PDB nasional, populasi, dan urbanisasi.

Awal tahun ini, Direktur Pertahanan dan Keamanan Bappenas Bogat Widyatmoko menjelaskan bagaimana perpindahan ke Kalimantan Timur membuat posisi geostrategis baru bagi negara. Ia menjelaskan, ibu kota nantinya akan lebih dekat dengan perbatasan Indonesia dan Malaysia serta dengan FIR yang ada. Ini kemudian akan memberi Indonesia keuntungan besar dalam waktu dan jarak dalam menangani kejahatan transnasional, segitiga transit teroris, serta ketegangan yang meningkat di LCS.

*Peneliti Departemen Politik dan Hubungan Internasional, Centre for Strategic and International Studies (CSIS)

1406