Home Politik Beda Pandangan KPU dan Pengamat soal Masa Kampanye 120 Hari

Beda Pandangan KPU dan Pengamat soal Masa Kampanye 120 Hari

Jakarta, Gatra.com - Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pramono Ubaid Tanthowi, memastikan bahwa lama masa kampanye untuk gelaran Pemilu Serentak 2024 adalah selama 120 hari.

Rentang waktu tersebut tetap dipilih walau Pramono mengakui masih ada perdebatan tentang hal itu di ruang publik. Namun, ia mengingatkan bahwa memang tak ada keajegan aturan mengenai lama masa kampanye di dalam Undang-Undang (UU).

Pasal 276 Ayat (1) UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu menyebut bahwa kampanye pemilu dilaksanakan sejak tiga hari setelah ditetapkan daftar calon tetap hingga dimulainya masa tenang. Aturan dalam UU ini tidak menetapkan aturan pasti mengenai berapa lama masa kampanye seharusnya berlangsung.

“Jadi, memang pengaturannya sangat fleksibel,” kata Pramono dalam sebuah diskusi daring pada Jumat, (4/2)

Fleksibilitas rentang masa kampanye tersebut juga tercermin di beberapa pemilu sebelumnya. Pada Pemilu 2019, masa kampanye berlangsung 6 bulan 3 pekan. Pada Pemilu 2014, masa kampanye berlangsung 15 bulan.

Dari segi teknis, alasan masa kampanye ditetapkan selama 120 hari adalah terkait beban KPU itu sendiri. Pramono mengatakan bahwa beban KPU, terutama pengadaan lelang produksi dan distribusi logistik, menjadi pertimbangan utama. Ia tak ingin ada keterlambatan penyaluran surat suara ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) seperti yang terjadi pada 2019 lalu.

Baca juga: Kampanye Pemilu 2024 Berlangsung 120 hari

Sementara dari segi sosio-politik, KPU beralasan bahwa pemangkasan masa kampanye ini merupakan upaya terbaik untuk meminimalisir berlarutnya polarisasi sosio-politik yang kerap terjadi pada masa kampanye pemilu.

Pramono mengingatkan bahwa masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai macam identitas, baik agama, ras, etnis, hingga bahasa. Ia menyebut bahwa selama masa kampanye, identitas-identitas tersebut rawan dieksploitasi, baik oleh kandidat ataupun parpol.

“Masa kampanye yang panjang akan membuat konflik kita berlarut-larut. Karena itu, semakin panjang masa kampanye, maka semakin lama perbedaan-perbedaan [identitas dan sosio-politik] terungkap ke permukaan,” kata Pramono.

Pramono menyebutkan bahwa pertimbangan sosio-politik ini merupakan hasil diskusi antara KPU dengan pemerintah, aparat keamanan, intelijen, dan pakar resolusi konflik.

Baca juga: Pangkas Masa Kampanye Jadi 120 Hari, KPU: Agar Konflik Sosial Tak Berlarut

Pramono memandang bahwa pemilu adalah kompetisi untuk memperebutkan jabatan-jabatan politik. Dengan demikian, katanya, pemilu secara inheren mengandung esensi-esensi persaingan yang berpotensi memunculkan konflik. Oleh karena itu, ia memandang pemilu sebagai cara beradab untuk menyelesaikan masalah-masalah sosio-politik tersebut.

Di sisi lain, para pengamat politik dan penggiat pemilu masih agak keberatan dengan penetapan masa kampanye yang mereka sebut singkat itu. Walau begitu, pada dasarnya mereka setuju bahwa pamangkasan masa kampanye bisa meminimalisir polarisasi sosio-politik masyarakat Indonesia.

Namun, kelompok pengamat masih menyroti terkait hal-hal teknis kampanye pmilu. Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Lingkar Madani, Ray Rangkuti, menilai waktu kampanye yang relatif singkat itu berisiko menjadi tak adil bagi sebagian peserta pemilu, terutama peserta pemilu yang baru.

“120 hari agak berisiko untuk keadilan dan kesempatan yang sama bagi seluruh peserta pemilu. Kandidat lama tidak begitu masalah dalam hal soal keterkenalan. Padahal, keterkenalan penting untuk elektabilitas,” kata Ray di kesempatan yang sama.

Sementara itu, peneliti lembaga riset Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, Muhammad Ihsan Maulana, menyebut bahwa masa kampanye yang singkat itu akan terlalu menguntungkan kandidat yang punya “bohir” besar.

“Calon yang punya sumber pendanaan yang besar pasti akan diuntungkan dengan kampanye yang singkat karena riset yang mereka miliki sudah cukup besar,” kata Ihsan di kesempatan yang sama.

Ihsan menambahkan bahwa kandidat bermodal pendanaan yang masif pasti sudah merancang strategi komunikasi politik dan metode kampanyenya masing-masing.

Baca jugaEven Playing Field untuk Peserta Pemilu, Apa Itu?

Menurut Ihsan, itu memang menjadi modal kampanye yang baik bagi kandidat-kandidat dengan bohir besar. Namun, di sisi lain, hal itu akan menjadi mimpi buruk bagi kandidat-kandidat dengan sumber pendanaan minim.

“Ini akan merugikan calon-calon yang minim pendanaan, apalagi calon-calon yang mendapat pendanaan dari publik,” tandas Ihsan.

Oleh karena itu, pegiat pemilu sekaligus Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mendorong agar penetapan masa kampanye bisa adil bagi seluruh peserta pemilu.

“Pengaturan masa kampanye di Indonesia harus memastikan tersedianya kompetisi yang adil dan setara antar-peserta pemilu dengan peluang keberhasilan yang sama satu dengan lainnya,” kata Titi di kesempatan yang sama.

“Inilah yang sering disebut even playing field atau ruang kompetisi yang setara, sehingga masing-masing peserta pemilu, baik yang baru ataupun lama, dia punya peluang keberhasilan yang sama untuk memenangi pemilu,” tandas Titi.

Sebelumnya, Ketua KPU, Ilham Saputra, telah mengumumkan bahwa pemilu presiden dan wakil presiden akan dilangsungkan pada 14 Februari 2024. Sementara Komisioner KPU, Pramono Ubaid Tanthowi, memastikan bahwa lama masa kampanye untuk gelaran Pemilu Serentak 2024 adalah selama 120 hari.

Sesuai dengan ketentuan dalam UU Nomor 17 Tahun 2017, masa kampanye harus berakhir tiga hari sebelum hari pemungutan suara. Masa ini disebut masa tenang. Dalam hal ini, masa tenang akan dimulai pada 11 Februari 2024. Dengan demikian, masa kampanye akan dimulai 120 hari sebelumnya.

 

466