Home Internasional Netizen Soroti Standar Ganda Media Pro Barat soal Rusia-Ukraina

Netizen Soroti Standar Ganda Media Pro Barat soal Rusia-Ukraina

Kiev, Gatra.com – Invasi Rusia ke Ukraina sudah memasuki hari kelima. Vladimir Putin terus melancarkan serangan, terhadap negara tetangganya pada 24 Februari lalu.

Al-Jazeera English melaporkan, Kementerian Kesehatan Ukraina telah menginformasikan bahwa sudah ada ratusan warga sipil yang menjadi korban gempuran militer Rusia. Tercatat hingga kemarin, Senin, (28/2), 352 warga sipil Ukraina meregang nyawa, 14 di antaranya adalah anak-anak.

Tak hanya itu, ratusan ribu warga Ukraina pun melarikan diri dari negaranya. Mereka mengungsi ke negara tetangga. Kebanyakan dari mereka adalah perempuan dan anak-anak.

Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, menginstruksikan agar pria berusia 18-60 tahun tetap berada di negaranya. Tujuannya adalah untuk membantu pasukan militer negara tersebut menghalau serangan tentara Rusia.

Hingga kemarin, Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) mencatat sudah ada lebih dari 500.000 pengungsi Ukraina yang melarikan diri dari negaranya. Kebanyakan dari mereka mengungsi ke negara tetangga, Polandia.

Kondisi menggetirkan dialami Ukraina tersebut memantik simpati masyarakat global, terutama dari negara-negara NATO. Media massa pro-Barat meliputnya dan warganet di media sosial juga menunjukkan simpatinya kepada Ukraina.

Hanya saja, media arus utama Barat dinilai terlalu banyak meliput penderitaan Ukraina. Di saat yang sama, media-media tersebut dianggap diam seribu bahasa ketika penderitaan yang sama menimpa negara-negara yang tak terafiliasi politik, dengan negara-negara Barat, seperti Palestina yang sudah sejak beberapa dekade diduduki oleh Israel. 

Bagi warganet, apa yang dilakukan media-media tersebut berat sebelah dan berstandar ganda.

Respons warganet tersebut, salah satunya, dari pernyataan koresponden senior CBS News di Kyiv, Charlie D’Agata. Pernyataannya dinilai sebagai ucapan rasis di siang bolong.

“[Ukraina] bukanlah sebuah tempat, dengan segala hormat, yang seperti Irak atau Afghanistan yang sudah menyaksikan konflik selama beberapa dekade. [Kyiv] relatif beradab, relatif Eropa—saya harus memilih kata-kata itu secara hati-hati—kota di mana Anda tak mengharap adanya perang atau sama sekali tak pernah mengharap itu terjadi,” ujar Charlie pada Jumat.

Presenter ITV News Inggris, Lucy Watson, juga menjadi sorotan warganet. Dalam liputannya di Polandia, ia melaporkan kepada pemirsa sebagai berikut: “Yang tak terbayangkan telah terjadi. [Ukraina] bukan negara ketiga dan berkembang. Ini Eropa!”

Warganet menilai cara pandang tersebut bermuatan rasisme dan Eropasentris. Salah satu warganet yang lantang menyoroti bias media arus utama Barat adalah Moazzam Begg, eks narapidana Guantanamo.

“Ini adalah Eropa yang menyuguhkan kita Perang Dunia I dan II yang menyebabkan 80 juta nyawa melayang, di mana peristiwa Holocaust terjadi, di mana genosida Bosnia terjadi, di mana Nazisme, fasisme, dan komunisme lahir. Ini adalah Eropa,” kata Begg menyindir ucapan Lucy.

Presenter Al Jazeera English, Peter Dobbie, tak luput dari sorotan warganet. Ia mengatakan bahwa warga Ukraina yang mengungsi adalah orang-orang kelas menengah yang makmur yang bukan kabur dari wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara, yang lazim konflik.

“Mereka terlihat seperti halnya keluarga Eropa yang mana Anda akan senang untuk menjadi tetangganya,” kata Dobbie.

Dalam pemberitannya, Al-Jazeera pun “menegur” Dobbie dan memohon maaf kepada pembaca. Menurut media tersebut, pernyataan Dobbie tidak pantas, tidak sensitif, dan tidak bertanggung jawab.

“Al Jazeera English berkomitmen terhadap imparsialitas, perbedaan, dan profesionalisme dalam setiap pekerjaannya. Pelanggaran terhadap profesionalisme ini akan ditindaklanjuti dengan langkah-langkah disipliner,” ujar Al-Jazeera dalam sebuah pernyataan.

Di media sosial, warganet mengkritisi laporan-laporan para jurnalis media arus utama Barat itu. Tak sedikit warganet yang mengatakan bahwa pernyataan-pernyataan tersebut narsisistik lantaran hanya berfokus pada derita orang-orang Eropa. Sementara derita yang serupa di belahan dunia lain, terutama Timur Tengah, tak banyak diliput dan diberi perhatian lebih.

“Saya akhirnya mempelajari hal baru: di mata orang-orang Barat, hanya ketika negara kulit putih menyerang negara kulit putih lainnya disebut perang. Ketika negara kulit putih menginvasi negara non-kulit putih, itu bukan perang, tetapi hanya sebuah kampanye,” ujar netizen @24Wfc di media sosial Twitter.

“Irak [justru] adalah sebuah tempat (atau setidaknya salah satu tempat) di mana peradaban lahir,” ujar pengguna @Drazmihailovitx.

“Mungkin ini akan mengejutkan banyak orang, tetapi Ukraina bukan satu-satunya negara yang dibombardir oleh negara lainnya kemarin. Ada beberapa di wilayah lain juga, tetapi narasi colonial menggenggam sangat kuat. Mengebom negara non-kulit putih menjadi seperti ‘ya sudah tidak apa-apa’. Di mana kemanusiaan?” cuit pengguna @ChallengeKanza.

1723