Home Nasional Pembangunan IKN Jangan Ceroboh Seperti Proyek Kereta Cepat

Pembangunan IKN Jangan Ceroboh Seperti Proyek Kereta Cepat

Yogyakarta, Gatra.com – Para cendekiawan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) meminta pemerintah tidak tergesa-gesa dan cermat dalam membangun ibu kota negara (IKN) agar biaya tidak membengkak. Proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung menjadi contoh hal itu.

Diselenggarakan oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) DIY, diskusi mengenai pembangunan IKN bertema ‘Pindah Ibu Kota Negara di Mata Cendekiawan Yogya’ diselenggarakan pada Selasa (1/2) petang secara daring.

Hadir sebagai pembicara Rektor Universitas Widya Mataram Yogyakarta (UWMY) Edy Suandi Hamid, Ketua Departemen Politik dan Pemerintah Fisipol UGM Abdul Gaffar Karim, Dosen Fakultas Hukum UII Yogyakarta Nandang Sutrisno, dan Ketua ICMI Orda Sleman Akmad Akbar Susamto.

“Pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke daerah lain jangan tergesa-gesa. Langkah strategis terkait perencanaan wilayah, anggaran, model struktur, dan aspek lainnya perlu diperhatikan agar pembangunan komprehensif,” kata Edy.

Menurutnya, ibu kota memang perlu dipindah dari Jakarta ke luar Jawa, tetapi pelaksanaannya tidak tergesa-gesa. Perencanaan sempurna diperlukan agar IKN lebih memadai sebagai pusat pemerintahan agar tak muncul masalah-masalah lama seperti Jakarta saat ini.

Edy mengatakan kasus pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung yang dibangun tergesa-gesa, dengan perencanaan minim dan tak cermat dalam perhitungan anggaran dapat menjadi pembelajaran.

Proyek kereta api itu direncanakan secara cepat dengan biaya USD 6,07 miliar atau setara Rp86,5 triliun dari dana non-APBN. Praktiknya, biaya membengkak di tengah jalan menjadi sekitar USD 8 miliar atau setara Rp114, 24 triliun.

“Pemerintah yang semula melarang biaya kereta api cepat dari APBN, kini berubah sikapnya membolehkan biaya dari APBN. Ini sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021,” jelasnya.

Dengan perkiraan biaya pembangunan IKN minimal senilai Rp466 triliun, Edy mengatakan anggaran ini akan menjadi beban ekonomi nasional di kala anggaran negara defisit dan mengalami tekanan akibat pandemi Covid-19. Bahkan untuk mempercepat proses pembangunan IKN, pemerintah terindikasi telah mengalihkan dana pemulihan ekonomi ke pos biaya pemindahan ibu kota.

“Kalau tidak diperhitungkan secara cermat, biayanya bisa membengkak berlipat seperti kasus membangun kereta api cepat. Kalau itu terjadi, kita menghadapi masalah baru yang serius karena biaya pindah ibu kota itu sangat besar nilainya,” paparnya.

Dibandingkan dengan negara lain, pembiayaan pembangunan IKN termasuk kategori berbiaya besar. Pemindahan kota Kazakhstan (1997) dari Almaty ke Astana berbiaya USD 9 miliar, Malaysia (1999) dari Kuala Lumpur ke Putrajaya USD 8 miliar, Myanmar (2005) dari Yangon ke Naypyidaw USD 6 miliar, Australia dari Melbourne ke Canberra USD 13,28 miliar.

“Pindah ibu kota bukan soal political legacy atau warisan kebijakan politik yang monumental dari pemerintah saat ini. Apabila ibu kota sebatas harus pindah, tidak hanya beban ekonomi saja yang ditanggung. Jangan jadi keputusan politik yang ceroboh,” katanya.

 

Dari UGM, Abdul Gaffar Karim berpendapat problem ibu kota berawal dari konsep pemusatan yang diciptakan menjadi pusat segala urusan. Ketika ibu kota baru diciptakan dengan model yang sama dengan Jakarta, maka persoalan ibu kota lama itu bisa pindah ke ibu kota baru.

“Apabila mengacu model Jakarta yang menjadi pusat segala sektor, baik ekonomi, bisnis, politik dan pemerintahan, industri, maka ibu baru menjadi pusat pemindahan masalah lama dari dari ibu kota saat ini,” katanya.

Abdul menyarankan ibu kota baru harus dirancang terpisah antara pusat pemerintah dan pusat kegiatan ekonomi. Ibu kota baru juga mesti dirancang terpisah antara zona pemusatan vertikal atau pusat kekuasaan dan zona pemusatan horizontal atau sebagai sektor bisnis dan urusan sederajat lainnya.

104