Home Politik Penundaan Pemilu Bukan Demokrasi, PEPS Anggap Sebagai Tirani

Penundaan Pemilu Bukan Demokrasi, PEPS Anggap Sebagai Tirani

Jakarta, Gatra.com - Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Professor Anthony Budiawan memaparkan bahwa usulan penundaan pemilu, atau kudeta konstitusi, terus bergulir secara terstruktur, sistematis, dan masif. Alasan penundaan Pemilu bahkan disiapkan secara meyakinkan.

Lembaga survei Laboratorium 2045 (Lab45) mengatakan 70% lebih rakyat Indonesia sangat puas dengan kinerja Jokowi. Kemudian Lab45 mengatakan mesin big data mereka menangkap isu masyarakat ingin masa jabatan presiden diperpanjang.

Kemudian, tahap selanjutnya adalah sosialisasi. Mulai dari Menteri Investasi / Kepala BPKM, Bahlil Lahadalia, dan Ketua Umum Partai Politik seperti PKB, PAN dan Golkar. Sayangnya, kata Anthony, usulan kudeta konstitusi itu mendapat penolakan luas dari masyarakat, termasuk parpol lain seperti PDIP, Nasdem, Demokrat, PKS dan Gerindra.

"Karena usulan penundaan pemilu melanggar konstitusi yang berlaku, melanggar kedaulatan rakyat. Dapat dicap sebagai pengkhianat kedaulatan rakyat," kata Anthony lewat keterangan tertulisnya kepada Gatra.com, Minggu (6/3).

Terkait ini, lanjutnya, Presiden Jokowi, DPR/MPR dan Mahkamah Konstitusi harus bertindak tegas untuk menegakkan marwah konstitusi. "Presiden harus memberhentikan Menteri yang terlibat kudeta konstitusi, DPR/MPR harus mencopot pejabat pengusul kudeta konstitusi, dan Mahkamah Konstitusi membekukan atau membubarkan Partai Politik yang terlibat kudeta konstitusi, karena anti Pancasila dan anti UUD," paparnya.

Akhirnya, Presiden Jokowi bersuara yang dengan tegas menolak jabatan tiga periode. Presiden Jokowi mengajak semua pihak, termasuk dirinya sendiri, untuk tunduk, taat dan patuh pada Konstitusi. "Tentunya ini sangat melegakan. Semua elemen masyarakat wajib taat pada ajakan ini," ucapnya.

Tetapi, pernyataan Jokowi berikutnya, kata Anthony, bikin kening berkerut. Ia menilai, ada pihak-pihak yang ingin menjerumuskan presiden, dengan mengatakan usulan penundaan pemilu tidak bisa dilarang karena merupakan demokrasi.

"Maaf, pak Jokowi. Menurut hemat saya, pernyataan ini sangat berbahaya. Usulan melawan hukum dan konstitusi seharusnya bukan bagian dari demokrasi. Tapi bagian dari tirani. Khususnya usulan menunda pemilu. Bisa diartikan mau melanggengkan kekuasaan, tanpa pemilihan umum, yang menjadi cikal bakal otoriter," katanya.

"Bayangkan, Pak Jokowi. Orde Baru saja selalu melaksanakan pemilu tepat waktu, setiap lima tahun sekali. Tapi, sekarang Bapak mau membiarkan usulan liar dan melawan hukum ini bergulir tanpa terkendali? Sangat bahaya," sambungnya.

Karena itu, Anthony melanjutkan, usulan yang melawan hukum dan konstitusi seharusnya dilarang, untuk kepastian hukum itu sendiri. Kalau tidak, pasti akan menimbulkan chaos dan anarki. Karena setiap pihak nanti merasa bisa mengusulkan perubahan konstitusi sesukanya. Bisa terjadi konflik horizontal yang meluas.

Anthony membeberkan, nanti akan ada pihak yang mengusulkan Indonesia sebaiknya menjadi negara serikat, atau ada pihak yang mau menjadi negara Islam. Mungkin juga ada pihak yang ingin memisahkan diri dari Indonesia. Organisasi gerakan merdeka nantinya akan menjamur, dengan alasan demokrasi. Anthony menyayangkan bergulirnya penundaan pemilu 2024.

"Karena itu, Pak Jokowi harus waspada. Yang membisiki pasti mempunyai niat jahat. Niat jahat kepada Pak Jokowi, niat jahat kepada Indonesia dan niat jahat kepada rakyat, yaitu mau menjerumuskan pak Jokowi, mau menjerumuskan Indonesia, mau menghancurkan bangsa Indonesia. Bukankah ini akan menjadi chaos dan anarki?" ujarnya.

56