Home Politik Gaduh Tunda Pemilu, Pakar UGM Sebut Rakyat Lebih Siap Hadapi Pemilu 2024 daripada Politikus

Gaduh Tunda Pemilu, Pakar UGM Sebut Rakyat Lebih Siap Hadapi Pemilu 2024 daripada Politikus

Yogyakarta, Gatra.com - Ketua sejumlah partai seperti PAN, PKB, dan Golkar minta Pemilu 2024 ditunda. Mereka dinilai tak siap menghadapi pemilu, padahal rakyat sudah mengalami pendewasaan politik.

Pengajar politik UGM, Wawan Mas'udi, menilai usulan menunda pemilu tidak masuk akal dan kontra produktif terhadap perkembangan dan sistem demokrasi yang telah dibangun selama ini.

“Pemilu itu alat mengontrol jalannya pemerintahan, baik di eksekutif maupun di legislatif. Artinya, pemilu yang rutin itu merupakan fondasi bagi demokrasi elektoral yang kita punya. Kalau fondasinya saja dipersoalkan, maka perkembangan demokrasi kita jelas akan mengarah pada kemunduran," ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (7/3).

Menurut Wawan, selama ini pemilu bisa berlangsung secara rutin dan publik menaruh kepercayaan yang besar terhadap sistem yang dibangun.

“Harus diakui pula setiap kali pelaksanaan pemilu selalu ada konflik, tapi bisa diatasi. Artinya, ada proses pendewasaan politik yang berlangsung pada level masyarakat, dan ini berarti pula perkembangan demokrasi di Indonesia sangat bagus," katanya.

Ia mengingatkan rakyat bisa kehilangan kepercayaan pada demokrasi jika pemilu ditunda tanpa alasan jelas.

“Hampir semua negara ketika pandemi menghebat banyak yang menjadwal ulang. Kalau kemudian pemilu 2024 ditunda dengan alasan yang tidak jelas bisa berbahaya, bisa-bisa masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap sistem demokrasi yang telah terbangun," ucap Dekan Fisipol UGM ini.

Wawan menyatakan penundaan pemilu merupakan proses yang berat. Apalagi UUD 1945 mengamanatkan 5 tahun sekali harus dilakukan pemilihan umum.

Menunda pemilu berarti harus mengubah konstitusi dan hal ini tidak semudah yang dibayangkan. Pemilu bisa ditunda jika ditemukan alasan yang memaksa, misal Indonesia mengalami situasi krisis atau sedang menghadapi pandemi.

“Kita kan tidak sedang dalam situasi krisis. Betul kita sedang menghadapi pandemi, betul bangsa sedang struggle menghadapi banyak hal, tapi tidak sedang dalam krisis. Pandemi memang masih ada tetapi sudah bisa kita kelola, sehingga alasan penundaan itu menjadi susah pondasinya untuk saat ini," katanya.

Wawan menilai masyarakat tampaknya siap untuk menghadapi pemilu tahun 2024. Pilkada langsung yang seharusnya dilaksanakan 2019 dan diundur 2020 karena pandemi cukup menjadi modal pengalaman untuk itu.

 

“Meski ditunda dan masih pandemi, pilkada yang berlangsung cukup menarik karena tingkat partisipasinya cukup tinggi dan tidak terbukti ada penyebaran atau menjadi klaster. Kita harus hargai pengalaman itu dan masyarakat cukup kuat terhadap situasi-situasi semacam itu," ungkapnya.

Menurut Wawan, melanggengkan kekuasaan dinilai sebagai motif kuat di balik usulan tunda pemilu. Langkah ini juga menimbulkan kecurigaan soal ketidaksiapan partai politik, termasuk elite yang elektabilitasnya rendah.

“Dengan ditunda kan akan panjang posisi dan kekuasaan mereka, baik itu di parlemen atau di manapun. Jadi lebih ke situ, motif-motif lain saya kira susah untuk dicari," katanya.

 

Oleh karena itu, partai politik harus mempersiapkan diri dan menunjukkan kinerja terbaik di depan publik. " Masih bisa mempersiapkan kader guna mempersiapkan program kampanye yang baik, melakukan edukasi pada masyarakat tentang bagaimana pemilu bisa dilakukan”, imbuhnya.

Wawan meyakini jika isu ini terus diangkat akan memunculkan perdebatan publik yang sangat luas. Banyak elemen masyarakat, tokoh akademisi, masyarakat sipil, kekuatan masyarakat di luar parlemen, dan elite politik yang akan memberikan perspektif mencerahkan soal perlunya demokrasi dijaga lewat pemilu.

“Akan banyak perdebatan dan saya yakin masyarakat kita, kalangan civil society, dan para akademisi akan tidak setuju dengan penundaan pemilu ini. Tanpa ada alasan yang sangat mendesak itu, hanya akan menjadi pintu masuk bagi kemunduran demokrasi," katanya.

 

 

171