Home Politik Alasan Elite Politik Tunda Pemilu Dinilai Tak Masuk Akal dan Bahayakan Demokrasi

Alasan Elite Politik Tunda Pemilu Dinilai Tak Masuk Akal dan Bahayakan Demokrasi

Yogyakarta, Gatra.com - Pengamat politik dan pemilu UGM, Wawan Mas'udi, menyatakan alasan penundaan pemilu oleh beberapa elit politik sangat tidak masuk akal.

"Usulan menunda pelaksanaan pemilu tidak masuk akal dan kontra produktif terhadap perkembangan dan sistem demokrasi yang telah dibangun selama ini," katanya lewat rilis, Selasa (8/3).

Wawan mengatakan pemilu dan sirkulasi kekuasaan yang bersifat rutin sesungguhnya menjadi momentum rakyat sebagai pemilik kedaulatan dalam sistem demokrasi untuk melakukan koreksi.

“Pemilu alat mengontrol jalannya pemerintahan, baik di eksekutif maupun di legislatif. Artinya pemilu rutin merupakan fondasi bagi demokrasi elektoral yang kita punya. Kalau fondasinya saja di persoalkan maka perkembangan demokrasi kita jelas akan mengarah pada kemunduran," ujarnya.

Yang harus dipahami, kata Wawan, pemilu dan pergantian kekuasaan yang bersifat rutin itu merupakan ukuran paling dasar sehingga jangan sampai diganggu.

Jika diganggu tentu akan membuat kemunduran dan terbukti selama 20 tahun lebih berjalan, menurut Wawan, pemilu bisa berlangsung secara rutin dan publik menaruh kepercayaan yang besar untuk sistem yang dibangun.

“Harus diakui pula setiap kali pelaksanaan pemilu selalu ada konflik, tapi selalu bisa diatasi. Artinya ada proses pendewasaan politik yang berlangsung pada level masyarakat, dan ini berarti pula perkembangan demokrasi di Indonesia sangat bagus," terangnya.

Wawan menuturkan dalam sejarah politik Indonesia pasca-Reformasi belum pernah ada penundaan pemilu karena memang tidak ada situasi yang memaksa untuk menunda. Hanya saja, karena situasi pandemi, pemerintah sempat menunda jadwal untuk pemilu lokal atau pilkada.

Meski begitu, sambungnya, tetap harus diingat kalau menunda pemilu lokal ada mekanisme penunjukan pejabat pelaksana dan lain-lain. Sementara pemilu lokal untuk memilih kepala daerah ini berbeda dengan pemilu yang bersifat umum atau nasional.

“Kita tahu hampir semua negara ketika pandemi menghebat banyak yang menjadwal ulang. Kalau kemudian pemilu 2024 ditunda dengan alasan yang tidak jelas bisa berbahaya, bisa-bisa masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap sistem demokrasi yang telah terbangun," ucap Dekan Fisipol UGM ini.

Wawan berpendapat menunda pelaksanaan pemilu merupakan proses yang berat. Apalagi UUD 1945 mengamanatkan pemilu digelar lima tahun sekali.

Menunda pemilu berarti harus mengubah konstitusi dan perubahan konstitusi tidak semudah yang dibayangkan. Pemilu bisa saja ditunda, kata Wawan, jika ditemukan alasan yang memaksa, seperti situasi krisis atau pandemi.

“Kita kan tidak sedang dalam situasi krisis. Betul kita sedang menghadapi pandemi, betul bangsa sedang struggle menghadapi banyak hal, tapi tidak sedang dalam krisis. Pandemi memang masih ada tetapi sudah bisa kita kelola, sehingga alasan penundaan itu menjadi susah pondasinya untuk saat ini," paparnya.

Wawan menilai masyarakat tampaknya siap untuk perhelatan pemilu tahun 2024. Pilkada langsung yang seharusnya dilaksanakan 2019 dan diundur 2020 karena pandemi menjadi cukup modal pengalaman untuk itu.

“Meski ditunda dan masih pandemi, pilkada yang berlangsung cukup menarik karena tingkat partisipasinya cukup tinggi dan tidak terbukti ada penyebaran atau menjadi klaster. Kita harus hargai pengalaman itu dan masyarakat cukup kuat terhadap situasi-situasi semacam itu," ungkapnya.

51