Home Ekonomi YLKI Beri Catatan Terkait Kebijakan Minyak Goreng

YLKI Beri Catatan Terkait Kebijakan Minyak Goreng

Jakarta, Gatra.com - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi memberikan beberapa catatan terkait kebijakan minyak goreng yang diambil pemerintah.

Ia menilai kebijakan terkait minyak goreng terbaru yang dikeluarkan pemerintah lebih ramah pasar. Diharapkan, kebijakan ini bisa menjadi upaya memperbaiki distribusi dan pasokan minyak goreng pada masyarakat.

"Sebab selama ini intervensi pemerintah pada pasar migor, dengan cara melawan pasar. Dan terbukti gagal total. Malah menombulkan chaos di tengah masyarakat," kata Tulus di Jakarta, Kamis (17/3).

Dari sisi kebijakan publik, Tulus menyayangkan bongkar pasang kebijakan minya goreng ini. Beleid ini malah terkesan coba-coba sehingga konsumen dan operator jadi korban.

Oleh karena itu, YLKI mendesak pemerintah untuk memerketat pengawasan terkait Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng curah dengan harga Rp14.000. Jangan sampai masyarakat menengah ke atas mengambil hak konsumen menengah bawah dengan membeli minyak goreng curah ini.

"Apalagi memborong minyak goreng non premium yang harganya jauh lebih murah," ucapnya.

Menurutnya, subsidi minyak goreng harus bersifat tertutup. By name by address, sehingga subsidinya tepat sasaran. Pasalnya, subsidi terbuka berpotensi salah sasaran, lantaran harga minyak goreng yang murah sehingga mudah diborong oleh kelompok masyarakat mampu.

"Dan masyarakat menengah bawah akibatnya kesulitan mendapatkan migor murah. Pemerintah seharusnya belajar dari subsidi pada gas melon," tegas Tulus.

YLKI juga terus mendesak Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk menyelidiki adanya dugaan kartel dan oligopoli dalam bisnis minyak goreng, CPO, dan sawit. Selain itu, pemerintah juga harus transparan terkait kebijakan Domestic Market Obligation (DMO).

"Sebenarnya DMO 20% itu mengalir kemana? Ke industri migor, atau mengalir ke biodiesel. Sebab DMO 20% memang tidak akan cukup kalau disedot ke biodiesel. Dalam kondisi seperti sekarang, CPO untuk kebutuhan pangan lebih mendesak, daripada untuk energi," ucapnya.

35