Home Hukum Gandeng PPHBI, Otto: Tidak Tutup Kemungkinan Kampus Menjadi Monumen

Gandeng PPHBI, Otto: Tidak Tutup Kemungkinan Kampus Menjadi Monumen

Jakarta, Gatra.com – Ketua Umum (Ketum) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Otto Hasibuan, menyampaikan, tidak menutup kemungkinan kampus-kampus besar di dunia akan kosong karena segala aktivitas atau kegiatan belajar mengajarnya dilakukan secara daring (online).

Otto menyampaikan keterangan tersebut dalam acara penandatanganan kerja sama Peradi dengan Pusat Pengembangan Hukum Bisnis Indonesia (PPHBI) terkait Program Pendidikan Hukum Berkelanjutan pada pekan ini.

Ia mengungkapkan, ketika pandemi Covid-19 melanda hampir seluruh negara di dunia, berbagai kegiatan, termasuk pendidikan dilakukan secara daring. Namun, jauh sebelum pandemi, terdapat sekitar 11 universitas telah menghelat pendidikan daring.

Setelah pandemi Covid-19 berakhir, satu pihak mengharapkan agar pendidikan melalui daring dihentikan dan kembali ke Pembelajaran Tatap Muka (PTM). Namun pihak lainnya, lanjut Otto, mengharapkan pendidikan secara daring ini tetap dilanjutkan.

Menurutnya, ada sejumlah alasan praktis dari pihak yang menginginkan agar pembelajaran daring terus dilangsungkan, di antaranya lebih efisien, mulai dari tidak harus pergi ke kampus yang memerlukan waktu dan biaya serta tidak menggunakan kertas hingga kampus yang memerlukan investasi tidak sedikit untuk membangunnya.

“Bagi kampus, dia tidak perlu lagi membeli lahan yang besar, tidak perlu support yang begitu besar. Kita lihat Universitas Harvard yang besar, besok tidak perlu lagi [kampus], cukup ruang seperti ini [aula] menjadi sebuah kampus. Bayangkan, bukan tidak mungkin ini terjadi,” ujarnya.

Hal yang sama bisa juga terjadi terhadap Cambridge University dan kampus-kampus di Indonesia, seperti Universitas Indonesia (UI), Univesitas Gadjah Mada (UGM), dan lain-lain karena cukup membangun sistem pendidikan berbasis teknologi.

“Jadi nanti semua hanya jadi monumen saja itu kampus, hanya jadi gedung-gedung kosong. Ini tantangan yang sangat besar sekali di dalam peradaban dan pendidikan kita kemudian,” katanya.

Meski di Indonesia kemungkinan tidak secepat di negara-negara Amerika Serikat (AS) maupun Eropa karena penduduknya menyukai hidup bermasyarakat, melakukan pertemuan, dan tidak menyukai individual, namun hal tersebut perlu dilihat lebih jauh karena bagaimanapun harus mengikuti perkembangan teknologi. 

“Mungkin negara-negara Asia karena mungkin sifat mereka bersosial, itu mungkin agak lebih lambat, tetapi mungkin juga akan tetap ke sana, tapi lebih lambat dibandingkan dengan negara lain,” ujarnya.

Karena itu, lanjut Otto, kerja sama Peradi dengan PPHBI ini sangat penting dan relevan karena PPHBI mempunyai perangkat pelatihan berbasis teknologi informasi guna mendukung Peradi mempersiapkan dan menyongsong pembelajaran daring sepenuhnya.

“Kita well prepared sebelum terjadi hal-hal yang saya katakan tadi itu, sehingga Peradi melakukan pendidikan-pendikan dan sebaginya secara online. Mudah-mudahan kita melangkah one step ahead dibanding yang lain-lain, mudah-mudahan bisa bermanfaat buat kita ke depan,” katanya.

Adapun kerja sama Peradi dan PPHBI ini dalam rangka meningkatkan kapasitas dan pengetahuan hukum advokat yang menjadi amanat bagi Peradi dari Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advoklat.

PPHBI yang memiliki kanal pelatihan hukum yang didukung oleh perangkat teknologi informasi, akan membantu Peradi dalam menyelenggarakan pelatihan dan pendidikan kepada masyarakat dalam konteks hukum di Indonesia.

Penyelenggaraan pelatihan hukum dalam bentuk short course yang dapat dilaksanakan secara online melalui aplikasi Zoom atau tatap muka yang dapat dilaksanakan dan melibatkan Dewan Pimpinan Cabang (DPC).

Pejanjian tersebut diteken Ketum Peradi Otto Hasibuan dengan Chief Executive Officer PPHBI Andrew Betlehn yang disaksikan jajaran pengurus Peradi, yakni Sekjen Hermansyah Dulaimi, Waketum Happy SP Sihombong, dan Ketua Bidang Pendidikan Berkelanjutan Hendronoto Soesabdo. Sedangkan dari PPHBI dihadiri oleh founder Dhaniswara Harjono, Operasional Manager Leonard Lembong, dan Research Manager Aidhya Diory.

298