Home Hukum KontraS Uraikan Keganjilan Proses Hukum Kasus Unlawful Killing Laskar FPI

KontraS Uraikan Keganjilan Proses Hukum Kasus Unlawful Killing Laskar FPI

Jakarta, Gatra.com - Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Fatia Maulidiyanti menyampaikan sejumlah temuan dan keganjilan atas proses hukum kasus unlawful killing anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI).

“Kami menemukan sejumlah temuan dan keganjilan atas proses hukum terhadap para terdakwa. Temuan dan keganjilan ini berpotensi mengakibatkan tidak maksimalnya proses peradilan dalam mencari kebenaran materil,” ujar Fatia dalam keterangannya, Ahad (20/3).

Pertama, ujar Fatia, sejak ditetapkanya kedua terdakwa sebagai tersangka hingga diadili melalui proses peradilan, para terdakwa tidak dilakukan upaya paksa berupa penahanan.

“Padahal aparat penegak hukum memiliki alasan yang kuat untuk melakukan penahanan kepada para terdakwa, baik secara syarat bukti, maupun syarat hukum yang mensyaratkan tersangka dapat dilakukan penahanan apabila ancaman pidana penjaranya lima tahun atau lebih.” ujarnya.

Berikutnya, jelas Fatia, terdapat kelalaian dari para terdakwa ketika membawa keempat anggota Laskar FPI, sehingga berpotensi timbulnya gangguan keamanan.

Dalam proses persidangan terungkap bahwa terdapat prosedur yang harus dijalankan oleh anggota kepolisian apabila membawa seseorang yang diduga melakukan tindak pidana.

“Hal itu diatur dalam Peraturan Kepada Badan Pemeliharaan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkabaharkam) Nomor 3 Tahun 2011 tentang pengawalan. Pada intinya dalam peraturan tersebut diharuskan bagi anggota Polri untuk memeriksa terduga pelaku secara cermat dan memborgol kedua tangannya guna mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.” jelasnya.

Selain itu, fatia menyebut, melakukan pengawalan pada malam hari juga merupakan suatu larangan, kalaupun terpaksa terduga pelaku harus dibawa ke kantor kepolisian terdekat.

Namun demikian, hal tersebut tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, sehingga berpotensi pada gangguan keamanan anggota Polri itu sendiri.

Ketiga, lanjut Fatia, terdapat perbedaan keterangan terdakwa Briptu FR di dalam proses persidangan dengan Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Pada proses persidangan Briptu FR menjelaskan bahwa ketika membawa keempat anggota Laskar FPI ke tempat tujuan, terjadi perebutan senjata api milik terdakwa dengan beberapa anggota Laskar FPI.

“Dalam perebutan senjata api tersebut, terdakwa mengaku senjata api tersebut telah direbut namun dalam BAP justru menyatakan sebaliknya bahwa yang terjadi hanyalah berusaha direbut. Keterangan ini penting karena akan berdampak sejauh mana tahapan penggunaan kekuatan yang dapat digunakan ketika menghadapi sebuah ancaman;” jelasnya.

Kemudian, sebelum keempat anggota Laskar FPI dibawa, diketahui mereka mengalami dugaan kekerasan. Hal tersebut terungkap dari keterangan Koordinator Bidang Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM pada proses persidangan, dengan menyatakan terdapat sejumlah kesaksian yang diperoleh Komnas HAM bahwa saksi-saksi tersebut melihat empat orang yang masih dalam kondisi hidup, mendapatkan perlakukan kekerasan, dengan cara dipukul, dan ditendang-tendang.

“Kami berpendapat tindakan kekerasan yang diduga dialami oleh keempat anggota Laskar FPI tidak dapat dibenarkan secara hukum dan hak asasi manusia. Bahkan bagi kami tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana dan pelanggaran hak asasi manusia.” kata Fatia.

Lebih lanjut, Fatia menuturkan, tidak hanya dugaan tindakan kekerasan, dalam persidangan tersebut juga terungkap bahwa sejumlah warga sekitar diduga mengalami intimidasi oleh aparat untuk tidak merekam peristiwa dan bahkan diminta untuk menghapus file rekaman atas peristiwa penangkapan yang terjadi.

“Kami menduga tindakan-tindakan semacam itu merupakan upaya untuk mengaburkan atau menghilangkan jejak atas upaya paksa yang diduga berlebihan terhadap sejumlah anggota Laskar FPI.”

Fatia lalu menyinggung berbagai luka tembak yang dialami oleh korban, kesemuanya mengalami luka tembak pada titik yang mematikan.

“Kami berpendapat tidak lah masuk akal, dalam kondisi perebutan senjata api, luka tembak tepat pada titik yang mematikan. Selain itu, bukti berkaitan dengan keadaan perebutan senjata api oleh beberapa anggota laskar FPI terhadap terdakwa Briptu FR, juga tidak terungkap secara jelas dalam proses persidangan.” ujarnya.

Fatia menuturkan, dalam pertimbangan Putusan, Majelis Hakim berpendapat tindakan terdakwa dapat dikategorikan sebagai pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Dengan alasan harus mengambil sikap untuk lebih baik menembak terlebih dulu daripada tertembak, kemudian dengan melakukan tindakan tegas dan terukur.

“Jika dikaitkan antara kasus tersebut dengan prinsip-prinsip penggunaan kekuatan dan senjata api, tindakan yang dilakukan tidak lah dapat dibenarkan. Hal tersebut dikarenakan tindakan yang dilakukan tidak memenuhi prinsip nesesitas, proporsionalitas dan masuk akal."

Menurutnya, jika memang benar telah terjadi upaya merebut senjata api milik Briptu FR, setidak-tidaknya dapat menggunakan kekuatan lain untuk menghentikan tindakan perebutan senjata api tersebut.

"Kalaupun penggunaan senjata api tersebut diperlukan, penembakan yang dilakukan sudah semestinya ditujukan pada titik yang melumpuhkan bukan pada titik yang mematikan atau jika memang saat itu sedang dalam kondisi yang begitu krusial sedapat mungkin untuk meminimalisir kerusakan atau luka, akibat penggunaan kekuatan yang digunakan." tegasnya.

278
FPI