Home Hukum Ini Kesaksian Kasubdit Tipikor dan TPPU Kejagung soal Oknum Advokat di Kasus LPEI

Ini Kesaksian Kasubdit Tipikor dan TPPU Kejagung soal Oknum Advokat di Kasus LPEI

Jakarta, Gatra.com – Kepala Sub Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Kasubditipikor) dan Tindak Pidana Pencucian Uang Direktorat Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung), Syarief Sulaeman Nahdi, dihadirkan sebagai saksi perkara terdakwa oknum advokat Didit Wijayanto Wijaya.

Syarief dihadirkan sebagai saksi oleh Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Kejari Jaksel) pada persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Senin (28/3).

Adapun Didit Wijayanto Wijaya merupakan terdakwa dalam perkara tindak pidana merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan atau menganjurkan untuk tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan yang tidak benar dalam Kasus Dugaan Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) tahun 2013–2019.

“Dalam keterangannya saat persidangan, saksi Syarief Sulaeman Nahdi membenarkan bahwa terdakwa Didit Wijayanto Wijaya selaku kuasa hukum telah memengaruhi dan mengajari 7 orang saksi,” kata Ketut Sumedana, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung.

Menurut saksi, terdakwa Didit mengajari ketujuh orang tersebut untuk menolak memberikan keterangan sebagai saksi dengan alasan yang tidak dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Langkah tersebut, lanjut Syarief telah menyulitkan penanganan dan penyelesaian penyidikan perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi Dalam Penyelenggaraan Pembiayaan Ekspor Nasional oleh LPEI Tahun 2013-2019.

Kasus dugaan korupsi tersebut masih ditangani oleh Tim Penyidik Satgassus P3TPK pada Direktorat Penyidikan Pidsus. Keterangan ke-7 orang saksi tersebut dibutuhkan untuk membuat terang tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangka kasus dugaan korupsi tersebut.

Dalam kasus ini, Kejagung awalnya menetapkan 7 orang tersangka karena muak atas ulah mereka dalam proses penyidikan kasus dugaan korupsi pembiayaan ekspor nasional pada LPEI Tahun 2013-2019.

“Kejagung menetapkan 7 orang saksi menjadi tersangka atas tindak pidana menghalang-halangi penyidikan atau tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan yang tidak benar,” ujar Leonard Eben Ezer Simanjuntak, Kapuspenkum Kejagung sebelum Ketut.

Ketujuh tersangkanya, yakni:
1. IS, Mantan Direktur Pelaksana UKM dan Asuransi Penjaminan LPEI tahun 2016-2018.
2. NH, mantan Kepala Departemen Analisa Risiko Bisnis II LPEI tahun 2017-2018.
3. EM, mantan Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Makassar LPEI tahun 2019-2020.
4. CRGS, mantan Relationship Manager Division Unit Bisnis Tahun 2015-2020 pada LPEI Kanwil Surakarta.
5. AA, Deputi Bisnis LPEI Kanwil Surakarta tahun 2016-2018.
6. ML, mantan Kepala Departemen Bisnis UKMK LPEI, dan
7. RAR pegawai Manajer Risiko PT BUS Indonesia.

“Ketujuh tersangka tersebut telah dikeluarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus,” ujarnya.

Selain itu, lanjut Leo, telah dikeluarkan surat penetapan tersangka terhadap mereka pada 2 November 2001. “Untuk melengkapi Surat Perintah Penyidikan dan Surat Penetapan Tersangka akan kami sampaikan dalam rilis lengkap,” ujarnya.

Leo yang menyampaikan konferensi pers secara virtual dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali, menjelaskan, pada Senin (29/11/2021), Tim Jaksa Penyidik Pidsus Kejagung memanggil 10 orang saksi untuk menjalani pemeriksaan dalam kasus dugaan korupsi penyelenggaraan ekspor nasional pada LPEI tahun 2013-2019.

“Tujuh di antaranya adalah saksi yang 2 kali berturut-turut dipanggil namun tidak hadir,” ungkapnya.

Tim Jaksa Penyidik Pidsus memanggil saksi-saksi di atas secara patut, namun mereka mangkir pemeriksaan dan meminta agar dalam pemanggilan tersebut dicantumkan siapa tersangka, pasal yang disangkakan dalam berita acara pemeriksaan saksi, serta sudah ada perhitungan kerugian negara dengan angka yang pasti.

Akibatnya, lanjut Leo, Tim Jaksa Penyidik Pidsus Kejagung tidak dapat meminta keterangan apa pun terhadap ke-7 orang saksi tersebut terkait pokok perkara dugaan tindak pidana korupsi pembiayaan ekspor nasional pada LPEI.

Menurut Leo, ke-7 tersangka juga telah beberapa kali menolak memberikan keterangan sebagai saksi dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan sehingga menyulitkan penanganan dan penyelesaian penyidikan perkara tersebut yang masih ditangani oleh Tim Jaksa Penyidik Pidsus P3TPK pada Direkorat Jampidsus.

“Sebagaimana diketahui, keterangan para saksi tersebut dibutuhkan untuk membuat terang tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangka pada peyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam LPEI,” ujarnya.

Menurut Leo, oleh karena para saksi ini dianggap telah mempersulit penyidikan atau menghalang-halangi peyidikan, mereka disangka melanggar Pasal 21 atau Pasal 22 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Setelah ditetapkan sebagai tersangka, penyidik langsung menahan ke-7 orang tersebut selama 20 hari ke depan untuk mempercepat proses penyidikan kasus yang membelitnya.

“Penahanan sejak hari ini, tanggal 2 November 2001 sampai dengan 21 November 2001. Untuk ke-7 tersangka dilakukan penahaan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas I Cipinang,” katanya.

Selanjutnya, Kejagung menetapkan oknum advokat Didit Wijayanto Wijaya (DWW) sebagai tersangka. Penetapan tersebut berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-48/F.2/Fd.2/11/2021 tanggal 30 November 2021 dan Surat Penetapan Tersangka Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: TAP-46/F.2/Fd.2/11/2021 tanggal 30 November 2021.

Adapun peran tersangka DWW dalam kasus ini, lanjut Leo, yakni selaku advokat atau penasihat hukum atau konsultan hukum yang bertindak atas nama pemberi kuasa 7 orang saksi telah memengaruhi dan mengajari 7 orang saksi tersebut untuk menolak memberikan keterangan sebagai saksi dengan alasan yang tidak dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ulah tersebut, kata Leo, menyulitkan penanganan dan penyelesaian penyidikan perkara dugaan Tipikor dalam Penyelenggaraan Pembiayaan Ekspor Nasional oleh LPEI yang masih ditangani oleh Tim Penyidik Satgassus P3TPK pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus.

Pada Selasa, 2 November 2021, Tim Penyidik telah menetapkan tersangka terhadap 7 orang saksi tersebut dengan sangkaan setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau merintangi secara langsung atau tidak langsung terkait penyidikan tindak pidana korupsi dan dengan sengaja tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar sebagai saksi dalam perkara penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional oleh LPEI.

Tim Penyidik telah menemukan cukup bukti adanya peran dari kuasa hukum para saksi tersebut di atas, yaitu DWW yang dengan sengaja memengaruhi dan mengajak para saksi tersebut untuk menghalangi atau merintangi secara langsung atau tidak langsung terkait penyidikan tindak pidana korupsi.

“Tersangka DWW telah dipanggil secara patut sebagai saksi sebanyak 2 kali, yaitu tanggal 26 November 2021 namun tidak menghadiri panggilan, sehingga Tim Penyidik memanggil sekali lagi pada tanggal 30 November 2021,” katanya.

Namun DWW kembali tidak memenuhi panggilan atau tidak hadir dengan alasan meminta pengunduran waktu pemeriksaan dan beralasan tidak dapat dituntut karena sedang menjalankan tugas sebagai advokat.

Atas dasa itu, Direktur Penyidikan mengeluarkan surat perintah untuk membawa saksi sebagaimana ketentuan Pasal 112 Ayat (2) KUHAP berdasarkan Surat Perintah Membawa Saksi Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor:Print-01/F.2/Fd.2/11/2021 tanggal 30 November 2021.

“Tim Penyidik menemukan saksi di salah satu mal yang berada di Jakarta Selatan pada pukul 20.00 WIB yang telah dipantau sejak siang hari dan dikendalikan langsung oleh Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus,” katanya.

Tim penyidik lantas membawa saksi tersebut ke Kantor Kejagung untuk dilakukan pemeriksaan sebagai saksi, kemudian ditetapkan dan diperiksa sebagai tersangka dengan didampingi oleh penasihat hukumnya.

Kejagung kemudian menjebloskan atau menahan advokat DWW ke jeruji besi untuk mempercepat proses penyidikan kasus yang membelitnya. “Tersangka DWW dilakukan penahanan berdasarkan Surat Perintah Penahanan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-39/F.2/Fd.2/11/2021 tanggal 30 November 2021,” katanya.

Penyidik Pidsus Kejagung menahan tersangka DWW selama 20 hari ke depan terhitung sejak 30 November 2021 sampai dengan 19 Desember 2021 di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Salemba Cabang Kejagung.

Atas perbuatan tersebut, Kejagung menyangka DWW melanggar sangkaan pertama, yakni Pasal 21 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Perbuatan tersangka tersebut atau melanggar sangkaan kedua, yakni Pasal 22 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Kejagung menaikkan kasus ini ke tahap penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-13/F.2/Fd.2/06/2021 tanggal 24 Juni 2021.

Leo menjelaskan, awalnya LPEI diduga telah memberikan fasilitas pembiayaan kepada Group Walet, Group Johan Darsono, Duniatex Group, Group Bara Jaya Utama, Group Arkha, PT Cipta Srigati Lestari, PT Lautan Harmoni Sejahtera, dan PT Kemilau Harapan Prima serta PT Kemilau Kemas Timur.

"Pembiayaan kepada para debitur tersebut sesuai dengan laporan sistem informasi manajemen risiko dalam posisi colektibility 5 (macet) per tanggal 31 Desember 2019," ungkapnya.

Leo melanjutkan, LPEI di dalam penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional kepada para debitur atau perusahaan penerima pembiayaan tersebut, diduga dilakukan tanpa melalui prinsip tata kelola yang baik sehingga berdampak pada meningkatnya kredit macet atau non performing loan (NPL) pada tahun 2019 sebesar 23,39%.

"Berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2019, LPEI diduga mengalami kerugian tahun berjalan sebesar Rp4,7 triliun. Jumlah kerugian tersebut penyebabnya adalah dikarenakan adanya pembentukan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN)," ungkapnya.

Selanjutnya, berdasarkan statement di laporan keuangan 2019, pembentukan CKPN di tahun 2019 meningkat 807,74% dari RKAT dengan konsekuensi berimbas pada provitabilitas (keuntungan).

"Kenaikan CKPN ini untuk mencover potensi kerugian akibat naiknya angka kredit bermasalahan di antaranya disebabkan oleh ke-9 debitur tersebut di atas," katanya.

Leo mengungkapkan, salah satu debitur yang mengajukan pembiayaan kepada LPEI tersebut adalah Grup Walet, yaitu PT Jasa Mulia Indonesia, PT Mulia Walet Indonesia, dan PT Borneo Walet Indonesia. Ketiga perusahaan ini direktur utamanya adalah S.

Pihak LPEI, lanjut Leo, yaitu tim pengusul, kepala Departemen Unit Bisnis, Kepala Divisi Unit Bisnis dan Komite Pembiayaan tidak menerapkan prinsip-prinsip sebagaimana yang telah ditentukan dalam Peraturan Dewan Direktur No. 0012/PDD/11/2010 tanggal 30 November 2010 tentang Kebijakan Pembiayaan LPEI.

Akibat hal tersebut di atas menyebabkan debitur, dalam hal ini Group Wallet, yaitu PT Jasa Mulya Indonesia, PT Mulya Walet Indonesia, dan PT Borneo Walet Indonesia dikatagorikan Colectibity 5 atau macet sehingga mengalami gagal bayar sebesar Rp683.600.000.000 (Rp683,6 miliar).

"[Angka Rp683,6 miliar tersebut] terdiri dari nilai pokok Rp576.000.000.000 (Rp576 miliar) ditambah denda dan bunga sebesar Rp107.600.000.000 (Rp107,6 miliar)," katanya.

 

2320