Home Kesehatan Dari Nuget Lele hingga Dapur Umum, Inovasi Desa di Kulonprogo Tekan Stunting

Dari Nuget Lele hingga Dapur Umum, Inovasi Desa di Kulonprogo Tekan Stunting

Kulonprogo, Gatra.com - Angka stunting di Desa Kalurahan Sendangsari, Pengasih, Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta, sempat memprihatinkan dan menjadi yang tertinggi di tingkat kabupaten. Upaya swadaya warga kemudian mampu menekan jumlah anak stunting hingga desa itu menjadi rujukan daerah lain dalam mengatasi kondisi tersebut.

Slamet Supriyono (40) mengenang momen tiga tahun silam yang membahagiakannya itu. Kala itu, sang istri melahirkan buah hatinya yang kedua, seorang putri yang cantik nan menggemaskan.

Namun di tengah rasa gembira itu, ada satu hal yang membuat Slamet terhenyak. Dengan bobot 2,7 kilogram, sang putri termasuk bayi yang sehat. Akan tetapi, dengan panjang 45 centimeter, anak tersebut dikategorikan stunting.

“’Waduh, kok bisa ya’. Itu yang terpikir pertama kali. Tapi setelah itu, saya dan istri melakukan evaluasi,” kata Slamet yang menjabat sebagai Dukuh Kroco, Sendangsari, saat ditemui, Rabu (23/3).

Slamet memperkirakan kesibukan sang istri selama mengandung yang menjadi sebab. Selain bekerja, Bu Dukuh juga aktif dalam berbagai kegiatan di desakalurahan. Namun kondisi stunting pada sang buah hati tak membuat Slamet dan istri berkecil hati.

Mereka justru bersemangat meningkatkan asupan pada sang putri,terutama dengan pemberian air susu ibu (ASI).“Setelah dievaluasi, pada usia 14 bulan, anak kami tidak lagi termasuk stunting,” ujar Slamet.

Sebagai seorang kepala padukuhan, Slamet menjadikan pengalamannya itu sebagai contoh upaya mengatasi kondisi stunting atau kuntet pada anak. Maklum saja, tak sedikit keluarga yang malu ketika anaknya dinyatakan stunting.

“Ada yang minder lalu tidak mau ikut posyandu. Kalau saya, ini justru bisa jadi testimoni bahkan semua pihak harus mengatasi stunting,” ujarnya.

Stunting atau kondisi kuntet pada anak karena ketidakcukupan gizi menjadi perhatian serius pemerintah. Sejumlah desa pun diberi atensi khusus atas kondisi tersebut, termasuk Kalurahan Sendangsari yang sempat menempati angka stunting tertinggi di Pengasih dan ujungnya Kulonprogo.

Di desa kalurahan itu, jumlah terbanyak anak stunting berada di Dukuh Kroco. Pada 2018, saat stunting mulai menjadi perhatian pemerintah dan mulai didata, di Sendangsari terdapat 42 anak stunting. Dari jumlah ini, sebanyak 18 anak ada di Kroco.

Posyandu—pos pelayanan terpadu—yang menjadi garda terdepan dalam penanganan kesehatan bayi dan anak pun turun tangan mengatasi kondisi stunting itu. Apalagi dengan capaian program keluarga berencana (KB) di Kroco, pada 2018 padukuhan itu telah dinyatakan sebagai salah satu Kampung KB—dari 11 kampung KB di DIY. Selain berbagai edukasi dan sosialisasi, salah satu program posyandu adalah pemberian makanan tambahan (PMT) kepada para balita stunting.

Namun mengandalkan posyandu saja dirasa tak cukup dalam menekan angka stunting. Layanan posyandu tak khusus menyasar anak-anak dengan asupan gizi tak ideal tersebut. Program PMT pun dianggap kurang mencukupi karena hanya diberikan satu kali.

“Posyandu hanya diadakan sekali sebulan dan itu untuk semua anak. Alokasi dananya juga terbatas, Rp50 ribu untuk sekali pertemuan. Tanpa pemberdayaan masyarakat, ini juga tak akan cukup,” papar Kamituwo Sendangsari, Suwarna Utama.

Untuk itu, Pemerintah Kalurahan Sendangsari kemudian fokus dalam memerangi stunting. Melalui program dari pemerintah pusat, berbagai pihak dilibatkan, seperti puskesmas, ahli gizi, hingga sejumlah lembaga.

Dengan semangat pemberdayaan warga, desa juga membentuk kader kesehatan dan pengurangan stunting. Mereka turun ke ‘lapangan’ untuk mendata dan melakukan survei ke keluarga yang memiliki balita dengan kondisi stunting. Dari data itu, warga juga mendorong pemerintah untuk menerapkan program yang tepat untuk mengatasi stunting.

Dari riset itu pula, sebab utama stunting di Sendangsari terungkap. Faktor ekonomi jadi penyebabnya. “Kebanyakan balita yang stunting ayah-ibunya sibuk bekerja—biasanya sebagai buruh. Anak dimomong (diasuh) simbah. Jadi makanan asal masuk (mulut) dan tidak diperhatikan gizinya,” tutur Slamet.

Selain itu, faktor lingkungan juga berpengaruh. Keluarga dengan anak stunting umumnya tinggal di rumah dengan kondisi tak layak. Mulai dari kamar yang kurang cahaya matahari, sanitasi yang buruk, bahkan tak punya septic tank.

Atas temuan itu, sebanyak 15 rumah di Sendangsari mendapat bantuan untuk direnovasi, terutama guna perbaikan saluran pembuangan air limbah (SPAL).

Program makanan tambahan untuk anak stunting pun ditingkatkan. Bukan lagi hanya berupa bahan makanan mentah, melainkan kini paket makanan lengkap sarat gizi, meliputi nasi, lauk, sayur, dan buah. “Tidak hanya sekali, tapi diberikan seminggu sekali selama tiga bulan,” kata Slamet.

Untuk menopang kebutuhan bahan makanan tersebut, desa juga menyiapkan secara mandiri. Kelompok warga dan padukuhan membuat peternakan lele, sedangkan setiap rumah juga didorong memiliki kolam lele kecil. Ikan lele dari budidaya ini diharapkan dapat menjadi makanan dan memberi asupan gizi yang cukup bagi balita.

Ibu-ibu warga Kroco pun terlibat dalam menyiapkan makanan tambahan. Sekitar 20 perempuan yang terbagi dalam empat kelompok secara bergiliran merelakan rumahnya menjadi ‘dapur umum’ untuk memerangi stunting. Dapur Sehat Atasi Stunting (Dashat), nama inovasi itu, bahkan dijadikan percontohan oleh Badan Kependudukan dan keluarga Berencana Nasional (BKKBN).

Selain memenuhi unsur gizi seimbang, menu yang disajikan mudah dibuat, bahannya gampang didapat, tapi tak membosankan. Ikan lele dari hasil budidaya sendiri itu misalnya diolah menjadi nugget dan cilok atau dikombinasi dengan daun kelor.

“Harapannya, menu-menu ini juga bisa dicontoh, dimasak di rumah dan diberikan ke anak. Selain tidak bosan, anak juga terpenuhi asupan gizinya,” ujar Febriyanti, salah satu kader pengurangan stunting.

Tak hanya memasak, para kader ini juga menggalang dana tambahan. Bekerjasama dengan usaha lokal, ibu-ibu ini menjual makanan beku yang pendapatannya digunakan untuk membantu program desa melawan stunting. “Kami jadi kader tidak dibayar dan sekarang juga jualan demi penanganan stunting ini,” kata Febri.

Melalui program ini, jika dihitung-hitung, setiap anak stunting menerima alokasi Rp250 ribu setahun. Alhasil, dengan langkah itu, Sendangsari mampu menekan angka stunting. Sejak perang pada stunting digencarkan, pada 2019 jumlah anak stunting di desa itu turun hingga 50 persen, yakni menjadi 21 anak.

Pada 2020, jumlah balita stunting di desa tersebut sempat naik menjadi 29 anak. Namun langkah sigap desa mampu menekan peningkatan dan sanggup menurunkan penderita stunting pada tahun lalu hingga 26 anak—termasuk tujuh anak di Kroco.

Pihak desa kalurahan mengakui penanganan stunting sempat terkendala kondisi pandemi. “Waktu Covid-19, posyandu sempat berhenti. Tidak ada penimbangan berat anak-anak. Namun tahun ini kami sudah siap untuk melakukan intervensi lagi pada stunting,” kata Suwarna.

Ahmad Haedar, peneliti IDEA yang turut mendampingi penanganan stunting, menjelaskan, program ini berangkat dari upaya memanfaatkan sistem informasi kemiskinan desa. “Dari sistem ini, warga kami dorong untuk terlibat dalam perencanaan penganggaran dan pengawasan program penanggulangan kemiskinan, dalam hal ini kondisi stunting,” paparnya.

Melalui langkah ini, warga diberi pelatihan untuk mengenali persoalan dasar di kalurahandesanya, turut merencanakan program, hingga melakukan audit sosial. “Khusus penanganan stunting, Sendangsari menjadi satu dari empat kalurahan (desa) pilot project program ini dan jadi percontohan BKKBN,” kata Haedar.

 

439