Home Hiburan Indie Jaya Rugi Selalu: Heartcorner di Skena Musik Kota Satria

Indie Jaya Rugi Selalu: Heartcorner di Skena Musik Kota Satria

Jakarta, Gatra.com - “Indie Jaya Rugi Selalu”, mungkin menjadi slogan ‘terbrutal’ yang diutarakan Kemal Fuad Ramadhan, selama 17 tahun bersama rekannya mendirikan ruang kolektif independen Heartcorner. Komunitas yang tumbuh di Purwokerto, Jawa Tengah ini bahkan hampir dilepas olehnya karena merasa sudah cukup meneguk pengalaman.

“Ya, dari skena (ruang musisi dengan penikmat musik) kembali ke skena. Beberapa kali mau stop, buktinya enggak bisa lepas. Ini toxic relationship,” kata Kemal berkelakar saat diwawancarai Gatra melalui Zoom, 20 Maret 2022 lalu.

Heartcorner berdiri pada 2004 lalu. Ruang yang awalnya dibangun untuk bermain musik dengan ragam genre, membuat gigs, kini sudah tumbuh dengan bermacam lini kegiatan. Heartcorner dibangun Kemal beserta beberapa rekan band-nya yang mayoritas mengenyam pendidikan di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed).

“Seiring waktu seni musik ‘kan butuh dukungan seni lain. Jadi, menjangkau beberapa disiplin kesenian lain, kayak seni rupa, gerak, dan sebagainya,” ucap pria berusia 33 tahun itu.

Heartcorner semakin serius digarap ketika Kemal dan kawan-kawan membangun portal atau situs web pada 2013 lalu. Portal itu diisi segala jenis berita, dari yang umum soal kondisi di Purwokerto, hingga yang khusus membahas skena atau kegiatan musik yang dilakoni ‘member’ Heartcorner.

Setahun kemudian, rilislah Heartcorner Records, yang spesifik membahas kegiatan musik. Kemal mengatakan, ruang itu semacam label untuk mendistribusikan karya-karya musisi lokal Kota Satria dan sekitarnya. Sedikitnya 26 album musisi lokal sudah dilabelinya. Sementara itu, portalnya baru saja diluncurkan pada 25 Maret 2022 lalu.

Di bawah Heartcorner Records, ada Saba, yang awalnya ditujukan untuk membantu band atau musisi untuk manggung ke luar kota. Ini selaras dengan kata saba dari bahasa Jawa yang artinya bertandang. Namun, karena pandemi Covid-19, Saba dialihkan menjadi rumah produksi kreatif, seperti membuat panggung virtual, hingga talkshow dengan musisi lokal.

Setelahnya, pada 2019, Heartcorner membangun Koperasi Kegelapan. Ide ini diakui Kemal sudah muncul sejak lama, sebagai pendukung kegiatan kreatif di Purwokerto. Latar belakangnya, ia melihat musisi sering kali menghadapi masalah produksi, utamanya soal pendanaan.

“Dengan adanya koperasi ini membantu menumbuhkan semangat teman-teman berkarya, enggak ada alasan enggak punya duit, karena ada koperasi bantu danai. Yang penting pitching saja dan pola bisnisnya masuk akal,” kata sarjana Sosiologi Unsoed ini.

Koperasi merupakan lini kegiatan Heartcorner yang bertujuan mendulang profit. Di dalamnya tentu ada sejumlah anggota yang berinvestasi atau memberikan iuran.

Kemal mengatakan, para musisi juga bisa berkonsultasi kepada Heartcorner untuk menentukan pola bisnis yang akan dijalankan bersama. Koperasi dengan Heartcorner punya kepengurusan yang berbeda. Sementara produk yang dijajakan koperasi biasanya merchandise band, dan yang akan diluncurkan dalam waktu dekat adalah sepatu custom.

“Kalau gandeng koperasi, kegiatan itu berarti harus memiliki unsur bisnis, karena ini kaitannya menaungi anggota yang iuran. Acara harus bersifat menguntungkan. Kalau kompensasi atau royalti kesepakatan, harusnya (Heartcorner) dapat, tapi belum pernah ada pola bisnis yang menggandeng koperasi. Heartcorner hanya bantu,” dia menjelaskan.

Hampir seluruh lini kegiatan Heartcorner, kecuali koperasi, sebenarnya bersifat sukarela. Kemal blak-blakan mengungkap pengoperasian ruang kolektif itu memang banyak dari patungan anggota komunitas. Tak heran mereka menyebut slogan—atau bisa disebut kutukan—Indie Jaya Rugi Selalu.

Kendati demikian, ia menegaskan tak merasa direpotkan. Menurutnya, Heartcorner memang diciptakan sebagai ruang pelarian dari rutinitas sehari-hari.

Di beberapa daerah, sebut saja Jakarta, punya ruang kolektif serupa bernama Noisewhore. Di Bandung juga ada Teras Kolektif, Nutingret, Rumah Kultur, Ruang Tamblong, dan masih banyak lagi. Lantas, sebenarnya apa yang membedakan Heartcorner dengan ruang kolektif lainnya di beberapa daerah?

“Enggak ada, ha-ha-ha,” jawab Kemal sambil tertawa. Kemal menjelaskan, semangat ruang kolektif sebenarnya sama saja: penyalur kreativitas anak muda, ruang eksplorasi. Mungkin, warnanya saja yang berbeda.

“Mereka mungkin punya kegemaran spesifik tertentu, misal indie pop. Kalau Heartcorner, ya, dorong saja, apa pun bendera yang dibawa. Kalau testimoni dari teman-teman, yang disajikan dari Heartcorner ya variatif,” kata Kemal.

Heartcorner bisa mendukung musisi lokal dari segala corak musik, sebab kotanya yang begitu mungil. Kemal menyebutnya sebagai musisi “satu tongkrongan”. Beda dengan daerah yang besar, biasanya ruang kolektif satu dengan lainnya berbeda meski dalam satu wilayah. Mereka cenderung tersegmentasi, lebih detail.

Kemal mungkin tak menyangka bahwa ruang yang dibangun secara spontan itu membuat ia mengeksplorasi banyak hal. Lempar balik pada 2008 lalu, Heartcorner berhasil mendatangkan band hardcore dari Amerika Serikat, Conquest for Death. Ia menyebut, kegiatan itu menjadi titik awal terbukanya pintu jejaring luar kota hingga luar negeri.

Kemal mengingat jelas, acaranya begitu ramai. Ratusan orang hadir, baik orang lokal hingga mancanegara. Saat itu tiket dibanderol dengan harga Rp7 ribu saja. Tetapi, acara itu digelar secara tertutup atau underground.

Kerja sama lainnya yang cukup baik—juga mendatangkan cuan—adalah dengan Institut Français Indonesia (IFI), 2012 lalu. Saat itu, IFI dan Heartcorner menampilkan band indie, Milliana.

Empat tahun berselang, pada 2016, Heartcorner juga bekerja sama dengan komunitas musik indie terbesar di Indonesia, Ruru Radio, dalam Radio Of Rock Tour Serial 2. Sejumlah band indie kenamaan seperti Efek Rumah Kaca, White Shoes and The Couples Company, hingga Goodnight Electric membuat ramai seisi gedung Paschalis Hall, Purwokerto.

Cukup banyak kegiatan yang dilahirkan Heartcorner—tak melulu soal musik. Saat ditanya hal apa yang ingin dicapai bersama Heartcorner, Kemal menjawab: “kemandirian finansial”. Kemal memang begitu humoris. Sesungguhnya, tak ada target apa pun sebab ruang ini begitu cair dan tak punya struktur resmi. Yang penting, ruang ini bisa tumbuh dan menampung segala jenis kreativitas di kotanya.

541