Home Hukum KRA Duga Proses Hukum Jon soal Terorisme, Serampangan

KRA Duga Proses Hukum Jon soal Terorisme, Serampangan

Jakarta, Gatra.com – Koalisi Reformasi Antiteror (KRA) menduga proses hukum terhadap Jon Sondang Saito Pakpahan oleh Densus 88 Antiteror Polri serampangan sehingga melanggar hak asasi manusia (HAM).

“Tindakan Densus 88 Antiteror Polri yang menggunakan UU Terorisme dengan dalih penegakan hukum tindak pidana terorisme terhadap Jon beserta berbagai pelanggaran HAM dalam prosesnya,” kata Fadhil Alfathan perwakilan KRA dari LBH Jakarta, dalam siaran pers yang diterima pada Minggu (10/4).

KRA menilai penerapan UU Terorisme oleh Densus 88 Antiror itu serampangan karena pertama, tidak ada suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, atau korban yang bersifat massal yang ditimbulkan akibat perbuatan Jon sebagaimana unsur dalam Pasal 6 dan 9 UU Terorisme.

Terbih, lanjut Fadhil, perbuatan Jon hingga saat ini masih simpang siur. Kuat dugaan bahwa dilakukan oleh Densus 88 Anti Teror ini merupakan kriminalisasi, juga karena sebelumnya Jon ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana pembakaran oleh Polres Metro Bekasi Kota. Namun, tiba-tiba dia diserahkan kepada Densus 88 Antiteror.

Kedua, Penggunaan UU Terorisme akan menjadi tren buruk penegakan hukum tindak pidana terorisme yang menyasar aksi-aksi protes terhadap kebijakan dan tindak tanduk Pemerintah.

“Ancamannya tak main-main, pidana mati. Hal ini kian menunjukkan ekses pemberlakuan UU Terorisme yang sejak awal telah dikritik oleh masyarakat sipil,” ujarnya.

Sejak pembahasannya, masyarakat sipil khawatir bahwa UU Terorisme berpotensi memberangus orang atau kelompok yang kritis terhadap kekuasaan ketimbang menyasar organisasi teroris.

“Ketiga, terjadi pelanggaran hak Jon sebagai tersangka untuk dikunjungi oleh keluarganya sebagaimana dijamin oleh Pasal 61 KUHAP,” katanya.

Pelanggaran tersebut merupakan bentuk penahanan tanpa akses terhadapdunia luar (incommunicado detention) yang membuka ruang bagi penyiksaan dan bahkan penghilangan orang secara paksa. Praktik-praktik kuno macam ini seharusnya sudah tidak mendapat ruang dalam penegakan hukum di Indonesia.

Keempat, dalam hal bantuan hukum, Jon tidak mendapatkan bantuan hukum yang laik. Padahal, Pasal 14 Ayat (3) Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik yang diratifikasi Republik Indonesia melalui UU Nomor 12 Nomor 2005 menetapkan jaminan minimal bagi setiap orang yang sedang dalam proses hukum, salah satunya adalah akses terhadap bantuan hukum.

Lebih lanjut, menurut KRA?, Pasal 54 KUHAP memberikan jaminan pemenuhan hak bagi setiap tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum di setiap tingkatan proses peradilan pidana. Pelanggaran hak atas bantuan hukum ini justru merupakan pintu masuk ke dalam praktik-praktik peradilan sesat.

“Kelima, kasus ini menambah daftar panjang pelanggaran prosedur dalam penegakan hukum tindak pidana terorisme yang diduga dilakukan Densus 88 AT Polri,” katanya.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, kata Nixon Randy Sinaga perwakilan KRA dari LBH Masyarakat, pihaknya menilai bahwa tindakan-tindakan tersebut bukan merupakan penegakan hukum, melainkan tak lebih dari aksi mempertontonkan kekuasaan.

“Untuk itu kami mendesak agar pertama, Kapolri memerintahkan Kadensus 88 AT Polri untuk memerintahkan jajarannya yang melakukan penyidikan dalam kasus ini untuk segera membuka akses keluarga untuk berkunjung serta memenuhi hak Jon untuk mendapatkan bantuan hukum dari penasihat hukum yang ia tunjuk sendiri,” katanya.

Kedua, Kapolri segera melakukan evaluasi terhadap tugas, fungsi, dan kerja-kerja Densus 88 Antiteror Polri secara objektif dan menyeluruh, serta melibatkan seluas-luasnya partisipasi masyarakat sipil dalam prosesnya.

Ketiga, mendesak Presiden dan DPR segera melakukan revisi terhadap UU Terorisme yang masih memuat ketentuan-ketentuan pidana dengan ancaman pidana mati yang berpotensi menyasar orang atau kelompok yang melakukan aksi-aksi protes terhadap Pemerintah serta melakukan revisi terhadap 'Pasal-Pasal Guantanamo' dalam UU Terorisme yang memungkinkan adanya penahanan tanpa akses terhadap dunia luar dan penghalang-halangan akses bantuan hukum.

Keempat, Komnas HAM, Ombudsman RI, dan Kompolnas secara aktif melakukan pemantauan dan pemeriksaan terhadap dugaan-dugaan pelanggaran HAM, mal administrasi, dan berbagai pelanggaran prosedur lainnya pada kasus ini.

KRA menyampaikan pernyataan tersebut karena sebelumnya, pada 16 Februari 2022, Jon Sondang Saito Pakpahan ditangkap karena dituduh melakukan pelemparan molotov terhadap Pos Polisi di sekitar kolong Tol Jatiwarna, Bekasi, Jawa Barat. Warga yang melihat aksi Jon kemudian menangkapnya.

Setelahnya, ia diserahkan kepada petugas kepolisian yang kebetulan sedang berpatroli untuk dibawa ke Polres Metro Bekasi Kota. Awalnya, oleh Polres Metro Bekasi Kota, Jon ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana pembakaran. Namun tiba-tiba, Polres Metro Bekasi menyerahkan Jon ke Densus 88.

Tindakan Jon dianggap sebagai terorisme yang kemudian membuatnya mendekam dalam sel Rutan Cabang Mako Brimob Cikeas atas dugaan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan atau Pasal 9 UU Terorisme dengan ancaman pidana mati.

Untuk memastikan keadaan Jon dan mengonfirmasi apa yang ?dilakukannya, keluarga telah berulang kali datang ke Rutan Cabang Mako Brimob Cikeas, namun tidak diizinkan bertemu.

Tak sampai di situ, keluarga telah menghubungi penyidik hingga menyurati Kepala Densus 88 AT Polri agar dapat bertemu dengan Jon. Namun, tidak mendapat respons apa pun. Keluarga juga tidak mendapatkan kepastian apakah Jon telah mendapatkan bantuan hukum dan berkualitas dalam proses hukum tersebut.

382