Home Kesehatan Kartini dan Kematian Maternal

Kartini dan Kematian Maternal

Karya ilmiahnya The Indonesian Women: Struggles and Achievement yang terbit pada tahun 1960 dari Cora Vreede-De Stuers dianggap sebagai studi pertama tentang perempuan Indonesia. Karya yang ditulis Core Vreede dengan data di lokasi mulai tahun 1937 dan 1938, kemudian tahun 1947 sampai 1949, terakhir pada tahun 1950 hingga 1955 tidak luput menyebut nama Kartini serta peran hebatnya. Pada bab “Para Pelopor Gerakan Feminis” Core Vreede mengupas surat-surat Kartini yang secara langsung maupun tidak langsung mampu mengubah sejarah pergerakan nasional kala itu khususnya dalam ranah gerakan perempuan.

Core Vreede mencontohkan dengan apik, bahwa buku berisi surat-surat Kartini mempengaruhi seseorang perempuan hebat kelahiran 1885 bernama Nyonya Abdoerachman. Nyonya Abdoerachman adalah pendiri organisasi untuk perempuan pada tahun 1913 yang bernama “Poeteri Mardika”, di tahun 1916 mendirikan organisasi “Oesaha Isteri” dan membangun “Sekolah Kartini” pada tahun 1919 di Bogor. Selanjutnya, pada tahun 1926 Nyonya Abdoerachman mendirikan organisasi Kemadjoean Istri yang bergerak di bidang pengasuhan dan tumbuh kembang anak. Pada tahun 1929, ia mendirikan pusat konsultasi gizi anak. Nyonya Abdoerachman juga menjadi satu-satunya perempuan di era Kartini yang memberikan pidato saat pembukaan Gedung Wanita pada tanggal 21 April 1956. Kartini adalah inspirasi bagi Nyonya Abdoerachman untuk bergerak dan peduli di bidang kesehatan ibu dan anak.

Spirit dan pemikiran R.A Kartini menjadi semacam pemantik gerakan perempuan Indonesia dan perubahan posisi perempuan Indonesia dalam pembangunan. Sayangnya Kartini meninggal dunia terlalu muda pada 17 September 1904 saat ia berumur 25 tahun. R. A Kartini meninggalkan 4 hari pasca melahirkan dengan rekam medis diduga disebabkan oleh “pre-eklamsia” (ing: pre-eclampsia). Pengalaman R.A Kartini adalah salah satu contoh pengalaman kematian ibu maternal.

Apa itu pre-eklamsia?

Pre-eklamsia masuk dalam kategori penyakit penyebab “Kematian Maternal” yang merupakan kematian perempuan sewaktu hamil, melahirkan atau dalam 42 hari sesudah berakhirnya kehamilan. Pre-eklamsia sudah muncul dalam catatan Hipokrates pada abad ke-5 SM. World Health Organization (WHO) sendiri secara resmi mengeluarkan informasi pamflet WHO tentang pre-eklamsia pada tahun 2011 silam. Menurut data WHO, satu dari sepuluh kematian ibu dan bayi di Asia-Afrika disebabkan oleh pre-eklamsia dan eklamsia. Pamflet WHO tersebut juga berisi gejala-gejala dan pengobatan serta tindakan yang perlu diambil jika ada ibu yang terkena pre-eklamsia. Seperti yang dikutip pada tulisan di situs Halodoc yang terbit pada tanggal 21 April 2019, pre-eklamsia menyerang ibu hamil pada usia kandungan 20 minggu hingga sebelum kelahiran.

Gejala-gejala utama dari pre-eklamsia menurut WHO adalah hipertensi, dan kandungan protein pada urine yang meningkat. Gejala-gejala lain yang perlu diwaspadai menurut Halodoc adalah berkurangnya volume urine, rasa nyeri di perut bagian atas, biasanya di bawah tulang rusuk sebelah kanan. Gejala selanjutnya terjadi gangguan fungsi hati, nyeri kepala, mual dan muntah, kemudian pembengkakan pada telapak kaki, pergelangan kaki, wajah, dan tangan. Disusul dengan gangguan fungsi penglihatan (pandangan hilang sementara, sensitif terhadap cahaya, atau penglihatan menjadi kabur), hingga turunnya jumlah trombosit dalam darah, dan sesak napas akibat cairan di paru-paru. Ibu maternal disebut eklamsia sendiri jika sudah mengalami kejang-kejang.

Lebih lanjut, situs Halodoc menyebutkan cara mencegah pre-eklamsia dengan mengkonsumsi obat aspirin dosis rendah dan suplemen kalsium. Namun, sebelum memulai untuk mengkonsumsi obat dan suplemen, ibu hamil harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter, karena konsumsi kedua racikan kimia tersebut tidak dapat diberikan pada sembarang orang. Cara lain dengan mengontrol gula darah, dan berat badan saat merencanakan kehamilan. WHO sendiri sudah mengeluarkan rekomendasi obat-obatan yang dapat dikonsumsi oleh ibu hamil jika terkena pre-eklamsia. WHO secara tegas merekomendasikan peran semua pihak untuk “memerangi” pre-eklamsia ini.

Peran Serta Masyarakat dan Negara

Dari sisi medis, meninggalnya Kartini akibat pre-eklamsia dapat dijadikan bagian pengingat akan pentingnya kesehatan maternal selama hamil, melahirkan dan nifas. Saat ini, kepedulian masyarakat umum akan Kematian Maternal pada umumnya dan pre-eklamsia pada khusunya terlihat masih kurang ditandai dengan Angka Kematian Ibu di Indonesia yang masih tinggi. Minimnya pengetahuan akan pre-eklamsia yang kurang mumpuni turut menjadi faktor utama rendahnya kesadaran dan kewaspadaan mengenai pre eklamsia, WHO sendiri baru mengeluarkan informasi pamflet mengenai pre-eklamsia di tahun 2011.

Dengan pelekatan asosiasi pre-eklamsia pada sosok R.A Kartini akan menumbuhkan sikap peduli masyarakat dan negara terhadap penyakit tersebut betapa bahayanya pre-eklamsia. Kondisi zaman Kartini dengan sekarang tentu sudah jauh berbeda. Kemajuan teknologi sudah mampu menemukan cara untuk menangani kondisi pre eklamsia. Kampanye tetap harus dilakukan agar masyarakat tak mudah lupa. Di tingkatan akar rumput, masyarakat dan seluruh stakeholders kesehatan harus dibekali dengan pengetahuan yang mumpuni tentang pre-eklamsia, eklamsia, dan kesehatan maternal untuk dapat mengantisipasi dan mengetahui kondisi kegawatdaruratan kesehatan maternal. Kita tidak bisa menyelamatkan Kartini di masa lampau, namun kita bisa menyelamatkan jutaan perempuan masa kini dan masa depan, dengan peduli terhadap bahaya pre-eklamsia dan eklamsia.

Tiyas Nur Haryani

Dosen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Peer Group Pusat Penelitian Kependudukan dan Gender Universitas Sebelas Maret