Home Nasional Tren Kekerasan dan Pelanggaran HAM Papua Meningkat, Ini Saran Pakar Konflik

Tren Kekerasan dan Pelanggaran HAM Papua Meningkat, Ini Saran Pakar Konflik

Jakarta, Gatra.com – Persoalan konflik Papua menjadi sengkarut yang belum terselesaikan selama lebih dari setengah abad. Selain belum terlihat upaya penyelesaian yang komprehensif, angka kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua terus meningkat. Bahkan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sempat merilis daftar sejarah kekerasan di Papua dan pelanggaran HAM dari 1962-2010.

Peneliti Jaringan Damai Papua, Adriana Elisabeth menyatakan, kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua menjadi pengamatan banyak pihak beberapa tahun terakhir. Karena itu, ia mengusulkan dialog dengan melibatkan semua pihak untuk mengetahui akar persoalan dan upaya penyelesaiannya.

“Kita lihat sejarah kekerasannya sangat panjang, jadi automatically jumlah kekerasan dan pelanggaran HAM-nya juga meningkat,” ujar Adriana dalam keterangannya kepada Gatra.com belum lama ini. Diketahui, catatan penting tentang pelanggaran HAM di Papua juga disigi dalam laporan Amnesty International Indonesia yang melaporkan terdapat 30 korban jiwa dari kasus pembunuhan di luar hukum (unlawful killing) di Papua dan Papua Barat sepanjang 2020.

Adriana menyebut, kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua tidak bisa dilihat dari pergulatan militer dengan pemberontak separatis Papua. Lebih jauh, sinyalemen kekerasan dan pelanggaran HAM itu melibatkan ekosistem dari tiga unsur, yakni, pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat Papua.

Pemerintah, Adriana melanjutkan, berperan menerbitkan regulasi dan memberlakukan kebijakan. Sementara, pelaku usaha berperan sebagai investor dan “lokomotif” bisnis. Keduanya dihadapkan pada konflik dan penentangan dari masyarakat asli Papua. “Jadi, kita tidak hanya melihat kasus pelanggaran HAM-nya. Tapi yang menyebabkan [kekerasan] itu terjadi, juga mesti diungkap,” papar Analis Politik Internasional dan Resolusi Konflik Universitas Pelita Harapan (UPH) itu.

Adriana meyakini konflik yang terjadi di Papua saat ini tidak sebatas persoalan politik, tetapi juga persoalan sosial dan ekonomi. “Kita itu selalu terjebak dengan persoalan politik, dan persoalan separatisme Papua. Padahal, ini sudah meluas ke konflik sumber daya alam,” ucapnya.

Wanita yang pernah menjabat Koordinator Tim Kajian Papua LIPI (2004-2006) berpandangan, rencana penambangan Blok Wabu berisiko memperparah situasi kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua. Adriana menjelaskan, Blok Wabu merupakan kawasan dari Suku Moni—suku yang tinggal di sekitar Pegunungan Cartensz, Papua. Bagi, masyarakat Papua, kawasan itu menjadi wilayah keramat suku Moni di Intan Jaya dan tidak boleh “dibongkar” sepihak.

“Masyarakat Papua punya kepentingan mempertahankan tanah adatnya, karena ada filosofinya. Kalau nanti terjadi operasi tambang di sana, mereka akan kehilangan tempat tinggal,” ujar Adriana.

Karena itu, ia menyarankan agar pemerintah tidak melakukan kesalahan dengan mengoperasionalisasikan Blok Wabu, tanpa meminta respon dari masyarakat setempat. Pemerintah, menurut Adriana, perlu meniru keberhasilan pembukaan proyek LNG Tangguh di Teluk Bintuni, Papua Barat.

“Seingat saya di Teluk Bintuni, mereka [pengelola] belajar dari kasus Freeport. Mereka melakukan komunikasi intens dengan masyarakat di lokasi yang akan dilakukan penambangan,” katanya. Pendekatan dialogis itu menurutnya tidak terlihat di saat pemerintah akan membuka rencana penambangan di wilayah pusat konflik Papua.

Terkait penyelesaian kasus HAM di Papua, dirinya mengusulkan agar pemerintah membuka jalur dialog. Adriana menyatakan, “Forum Dialog HAM” menjadi sebuah usulan yang direkomendasikan Jaringan Damai Papua. “Artinya, harus ada ruang mendengarkan perspektif korban, mereka bertanya kenapa terjadi pelanggaran HAM, dan itu harus dijelaskan,” katanya.

Selain itu, forum dapat digunakan untuk mengklarifikasi sejarah Papua yang selama ini diperdebatkan, serta menjadi tempat digagasnya langkah-langkah rekonsiliasi. Forum Dialog HAM yang dilegitimasi pemerintah bisa menjadi kanal untuk menjawab kepentingan banyak pihak terkait isu HAM Papua, terutama dari Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan komunitas internasional.

“Ini penting supaya pemerintah bisa menjawab pertanyaan dari pihak luar. Kita kesulitan membuat narasi berbasis fakta karena tidak pernah duduk bersama,” ujar Adriana. Dialog menurutnya menjawab kebuntuan strategi keamanan negara terhadap Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua.

Adriana menyebut, pendekatan militeristik lebih mudah, dibanding merancang dialog yang butuh kepiawaian diplomasi dan intelegensi. “Merancang sebuah dialog itu jauh membutuhkan kecerdasan dan ketekunan. Karena untuk mengubah mindset, we need to sit together and talk,” Adriana menjelaskan.

Untuk mencapai dialog tersebut, pemerintah harus menyetop kasus dan risiko pelanggaran HAM di Papua. “Yang terjadi malah sebaliknya, pelanggaran HAM tidak selesai, kekerasan atau eskalasinya meningkat,” pungkas Adriana.

559