Home Hukum Polri Sita Aset Rp2 Triliun Indosurya, Pakar Hukum: Tepat!

Polri Sita Aset Rp2 Triliun Indosurya, Pakar Hukum: Tepat!

Jakarta, Gatra.com – Penyidik Bareskrim Polri menyita sejumlah aset yang nilainya mencapai sekitar Rp2 triliun terkait kasus dugaan penipuan, penggelapan, dan pencucian uang para petinggi Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya Inti.

Terakhir penyitaan adalah pada Kamis, 21 April 2022, Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri menyita aset tersangka berupa 2 lantai di Sudirman Suites Apartment senilai Rp160 miliar.

Bareskrim sedang mengajukan penetapan penyitaan terhadap dua lantai apartemen mewah itu. Penetapan penyitaan diajukan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus).

Terkait penyitaan tersebut, pakar hukum pidana dari Universitas Brawijaya (Unbraw), Aan Eko Widiarto, dilansir Antara, Senin (25/4), menyampaikan, itu merupakan langkah tepat.

“Menurut saya, tindakan polisi telah tepat. Urgensitas sita tersebut adalah untuk kepentingan pembuktian oleh penyidik,” ujarnya.

Aan melanjutkan, penyidik Bareskrim membutuhkan aset para tersangka tersebut untuk kepentingan pembuktian. Setelah penyidikan selesai, aset-aset itu bisa dikembalikan kepada para nasabah. Penyitaan ini juga untuk mencegah tiga petinggi Indosurya yang menjadi tersangka menyamarkan aset-asetnya.

“Menurut saya begitu, penegak hukum cepat menuntaskan sehingga barang bukti bisa segera dikembalikan kepada yang berhak atau nasabah,” ujarnya.

Senada dengan Aan, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti (Usakti) Jakarta, Abdul Fickar Hadjar, menyampaikan, langkah Bareskrim menyita aset tersebut merupakan upaya mencegah para tersangka menyamarkan aset-asetnya. Selain itu, penyitaan tersebut juga merupakan upaya untuk menyelamatkan barang bukti.

Ia meminta Polri mengusut tuntas kasus yang merugikan para nasabah KSP Indosurya. “Totalitas menjalani tugas dan kewenangan itu dengan konsekuen dan konsisten,” ujarnya.

Dalam kasus dugaan penipuan, penggelapan, dan pencucian uang ini, Bareskrim Polri telah menetapkan 3 petinggi KSP Indosurya Cita sebagai tersangka, yakni Direktur Operasional Suwito Ayub (SA), Ketua Henry Surya (HS), dan Direktur Keuangan June Indria (JI). Tersangka Ayub diduga telah melarikan diri ke luar negeri menggunakan paspor palsu.

Direktur Tipideksus (Dirtipideksus) Bareskrim Polri, Brigjen Pol. Wishnu Hermawan, dikutip dari Antara, Jumat (4/3), menyampaikan, Suwito Ayub melarikan diri setelah penyidik mengecek keberadaan yang bersangkutan di rumahnya.

Penyidik mengecek langsung keberadaan Suwito Ayub karena dia tidak memenuhi panggilan. Dia menyampaikan surat bahwa tidak bisa memenuhi panggilan karena sakit. Penyidik akan membuktikan kondisi yang bersangkutan.

“Ternyata saudara Suwito Ayub tidak berada di tempat tinggalnya, dalam arti telah melarikan diri,” ujarnya.

Pihak kepolisian pun lantas menelusuri yang bersangkutan dan didapat informasi melintas ke Singapura pada akhir November tahun lalu. Dia diduga menggunakan identitas berbeda dengan data di Bareskrim Polri. “Diduga menggunakan paspor palsu,” ujarnya kepada wartawan.

Kasus ini berawal dari penghimpunan dana diduga secara ilegal menggunakan badan hukum Koperasi Simpan Pinjam Indosurya Inti/Cipta yang dilakukan sejak November 2012 sampai dengan Februari 2020.

Tersangka Henry Surya diduga menghimpun dana dalam bentuk simpanan berjangka dengan memberikan bunga 8–11%, kegiatan tersebut dilakukan di seluruh wilayah Indonesia dengan tanpa dilandasi izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Kegiatan itu berakibat gagal bayar. Henry Surya yang menjabat sebagai ketua Koperasi Simpan Pinjam Indosurya Inti/Cipta memerintahkan tersangka lainnya JI dan tersangka Suwito Ayub untuk menghimpun dana masyarakat menggunakan badan hukum Kospin Indosurya Inti/ Cipta.

Atas perbuatan tersebut Polri menyangka Suwito Ayub, Henry Surya, dan June Indria diduga melakukan tindak pidana Perbankan dan atau tindak pidana penggelapan dan atau tindak pidana penipuan atau perbuatan curang dan tindak pidana pencucian uang.

Atas perbuatan tersebut, mereka disangka melanggar Pasal 46 Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan atau Pasal 372 KUHP dan atau Pasal 378 KUHP dan Pasal 3 dan atau Pasal 4. Kemudian, Pasal 5 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

122