Home Pendidikan Terapkan Nilai Pancasila, Indonesia Model Terwujudnya Future Society

Terapkan Nilai Pancasila, Indonesia Model Terwujudnya Future Society

Yogyakarta, Gatra.com - Nilai-nilai Pancasila menjadi karakter manusia Indonesia sekaligus menggambarkan model masyarakat masa depan (future society). Untuk itu, nilai-nilai Pancasila harus disosialisasikan dan dibumikan ke semua kalangan secara formal dan informal.

Hal itu mengemuka dalam diskusi ‘Ngabuburit Kebangsaan’ gelaran Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta, Kamis (28/4), di Hotel Eastparc, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dalam bincang-bincang jelang buka puasa tersebut, Rektor UNU Yogyakarta Widya Priyahita menjelaskan, dalam kajian tentang masa depan, dua topik menjadi fokus pembahasan, yakni masyarakat dan teknologi.

“Teknologi kita boleh tertinggal. Tapi kita tidak perlu kecil hati karena kita bisa menjadi model future society yang menggambarkan masyarakat masa depan,” kata dia.

Menurutnya, masyarakat masa depan punya dua kemungkinan yakni terpecah karena konflik atau perang atau, sebaliknya, masyarakat dunia hidup damai, sejahtera, dan harmonis.

“Nah, untuk future society, Indonesia bisa jadi model di kemungkinan kedua, bahwa kita bisa hidup damai dan harmonis salah satunya karena Pancasila,” ujarnya.

Untuk mewujudkan itu, Pancasila harus dibumikan ke generasi muda. Selain itu, anak muda juga mesti terus menimba ilmu yang relevan dan berkontribusi dalam pembangunan.

“Kita mesti merancang strategi baru supaya ilmu mahasiswa tetap relevan. Anak muda juga harus mau terus mengupdate skill-nya, learn dan re-learn dan menjadi pembelajar yang tangguh,” ujar rektor muda ini.

Deputi Bidang Hubungan Antar Lembaga, Sosialisasi, Komunikasi, dan Jaringan BPIP, Prakoso, menyebut nilai-nilai Pancasila harus terus disampaikan ke generasi muda, terutama melalui pendidikan.

Saat ini Pancasila direncanakan menjadi mata pelajaran wajib di PAUD hingga perguruan tinggi. Dalam mata ajar ini, 30 persen berupa teori dan 70 persen praktik. “Berketuhanan itu apa, harus dipraktikkan. Berkemanusiaan misalnya, berbagi ayunan dan kelerang untuk anak PAUD dan TK,atau peduli orang sakit di sekitar sekolah,” paparnya.

Ketua PW Fatayat DIY Maryam Fithriati juga menyoroti lamanya pelajaran Pancasila vakum dalam Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) kita. Kondisi ini menyebabkan ketidaktahuan bahkan penolakan pelajar terhadap Pancasila.

“Ini berat sekali. Untuk mengejar 18-20 tahun kevakuman itu jadi tantangan BPIP. Apalagi selama ini ruang-ruang informal tidak tersentuh (sosialisasi) Pancasila, misalnya di sektor perempuan pekerja dan ibu rumah tangga,” tuturnya.

Ihwal generasi muda yang menolak Pancasila itu diamini KH Irwan Masduqi, pengasuh Pondok Pesantren Assalafiyah, Mlangi, Sleman. Mengacu sebuah riset, jumlah generasi muda yang tak setuju pada Pancasila mencapai sembilan persen.

Kondisi itu seiring keinginan sejumlah pihak mengganti Pancasila sebagai ideologi bangsa. “Sila-sila Pancasila itu sesuai dengan nilai-nilai Islam. Jadi jangan benturkan Pancasila dengan Islam,” katanya.

Adapun pakar teknologi, Dedy Haryadi, mengingatkan teknologi bersifat netral. Ibarat pisau, teknologi tergantung pada kendali manusia. “Apalagi sejak pandemi penggunaan teknologi amat masif. Sebelum terjadi loss generation, nilai-nilai Pancasila harus ditanamkan di lingkungan kita sejak dini,” kata dia.

Dalam sambutan pembuka acara, Kepala BPIP Yudian Wahyudi menjelaskan nilai-nilai Pancasila sesuai dengan ajaran dan hikmah suatu agama. Dalam Islam misalnya, seorang muslim diajarkan untuk mencintai tanah airnya.

Menurut Yudian, hikmah cinta tanah air bagi umat Islam itu tergambar dalam wudhu dan sujud saat shalat. Wudhu memerintah muslim untuk dekat ke sumber-sumber air, sedangkan sujud mengajak untuk menghormati tanah.

“Secara fisik, tanah dan air adalah aset dunia dan ekonomi. Tapi dalam arti ketatanegaraan, kecintaan pada Tanah Air menjadikan kita pribumi yang nasionalis religius,” katanya.

119