Home Sumbagsel Dampak Larangan Ekspor CPO, Disbun Sumsel: Penghasilan Petani Sawit Kena Imbas

Dampak Larangan Ekspor CPO, Disbun Sumsel: Penghasilan Petani Sawit Kena Imbas

Palembang, Gatra.com - Dinas Perkebunan (Disbun) Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel), mengungkapkan bahwa kebijakan pemerintah terkait larangan ekspor bahan baku minyak goreng dan turunannya, termasuk Crude Palm Oil (CPO). Hal ini berdampak terhadap perekonomian petani.

“Sejak pemerintah resmi melarang ekspor itu (minyak goreng dan CPO), sangat berimbas pada penghasilan petani di Sumsel, khususnya petani non mitra/swadaya,” ujar Analisis PSP Madya Disbun Provinsi Sumsel, Rudi Arpian di Palembang, Selasa (17/5).

Sebagaimana diketahui produksi CPO Indonesia pada 2021 sebesar 49,71 juta ton, kemudian ekspor 23,69 juta ton dan konsumsi dalam negeri 16,76 juta ton atau surplus 9,25 juta ton.

“Sementara industri di Tanah Air belum bisa menampung seluruh produksi CPO, sehingga terjadi penumpukan. Surplus yang sangat besar dan berakibat tangki timbun atau penampung di PKS rata-rata hampir penuh,” katanya.

Dikatakannya, hampir di seluruh kabupaten dan kota penghasil sawit se-Indonesia termasuk di Provinsi Sumsel, ada sekitar 104.779 Kepala Keluarga (KK) petani non mitra/swadaya yang terimbas langsung dari pelarangan ekspor CPO dan turunannya hingga terjadi penurunan harga Tandan Buah Segar (TBS).

“Mata rantai pemasaran TBS non mitra melewati dua sampai tiga agen pengumpul sampai ke PKS, sehingga harga beli anjlok antara 40 persen sampai 70 persen,” ujarnya.

Menurutnya, pada kondisi normal petani non mitra akan menjual kepada PKS yang membeli dengan harga lebih tinggi. Namun, sejak pelarangan ekspor agen menghentikan pembelian harga TBS lantaran risiko kerugian cukup tinggi.

“Inilah awal petaka petani non mitra/swadaya yang terdampak langsung dari penghentian ekspor CPO dan turunannya, sementara petani plasma masih terlindungi harga TBS-nya. Namun, bila kondisi ini berlanjut terus maka pekebun mitra juga akan terdampak karena kapasitas tangki timbun PKS akan penuh sehinga PKS tak membeli TBS pekebun lagi,” katanya.

Diketahui pula CPO di tangki timbun tidak bisa disimpan terlalu lama karena akan menurunkan mutu terjadi peningkatan Asam Lemak bebas (ALB) sehingga harus diolah lebih lanjut. Dengan begitu pelarangan ekspor juga berdampak langsung kepada PKS terutama di sentra sawit yang belum ada industri hilirnya.

Selain itu, lanjutnya, imbas lainnya adalah apabila PKS menghentikan pembelian TBS maka petani tidak melakukan panen sawitnya lagi dan membiarkan TBS-nya busuk dan dapat merusak tanaman sawit dan berpengaruh ke produksi berikutnya.

“Akibat jangka panjang dibutuhkan biaya dan waktu untuk perawatan tanaman sawit bila kondisi sudah normal. Terlebih, saat ini harga pupuk sangat tinggi sehingga makin membuat petani sawit tambah terpuruk,” ujarnya.

Karena itu, sambungnya, saat ini solusi yang terbaik adalah perlunya komitmen semua pemangku kepentingan dan pencabutan larangan ekspor, serta segera membenahi tata niaga minyak goreng sehingga tercapai harga yang diinginkan pemerintah.

“Bukan itu saja, untuk hilirisasi di seluruh provinsi penghasil sawit dengan menggunakan dana BPDPKS. Tentu, ini agar kejadian seperti ini tidak berulang lagi,” katanya.

1248