Home Nasional Imparsial Desak Kemendagri Tinjau Ulang Penunjukan Anggota TNI-Polri jadi PJ Kepala Daerah

Imparsial Desak Kemendagri Tinjau Ulang Penunjukan Anggota TNI-Polri jadi PJ Kepala Daerah

Jakarta, Gatra.com – Imparsial mendesak pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk meninjau ulang penunjukan anggota TNI dan Polri aktif menjadi pejabat (Pj) kepala daerah, baik itu gubernur, bupati, dan wali kota.

“Imparsial mendesak Kemendagri harus meninjau ulang penunjukan prajurit TNI/Personel Polri aktif sebagai Pj kepala daerah,” kata Gufron Mabruri, Direktur Imparsial pada Jumat (27/5).

Kemendagri juga harus meninjau ulang penunjukan Pj Bupati Seram Bagian Barat, Maluku, yang saat ini ditengarai masih berstatus sebagai anggota prajurit TNI aktif.

Imparsial juga mendesak Kemendagri segera membuat aturan tentang tata cara pelaksanaan pengisian kekosongan jabatan kepala daerah, sebagaimana diamanatkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 67 Tahun 2021 agar penunjukan Pj kepala daerah dilakukan secara demokratis.

Selanjutnya, Imparsial mendesak agar Kemendagri menjamin transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik, khususnya aspirasi yang berkembang di daerah, dalam proses penunjukan Pj kepala daerah, termasuk membuka nama-nama yang diusulkan sehingga publik dapat memberikan masukan kepada pemerintah terkait nama-nama yang diusulkan menjadi Pj kepala daerah.

Wakil Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, mengatakan, Kemendagri saat ini tengah mempersiapkan Penjabat (Pj) kepala daerah, baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota yang akan mengakhiri masa jabatannya pada tahun 2022 dan 2023.

Penunjukan Pj kepala daerah ini dilakukan akibat berakhirnya masa kerja kepala daerah tersebut yang telah menjabat selama lima tahun, sementara pemilihan kepala daerah (pilkada) baru akan dilakukan secara serentak pada tahun 2024.

“Berdasarkan catatan Kemendagri, terdapat 271 kepala daerah yang akan mengakhiri masa jabatannya dengan rincian 101 kepala daerah pada 2022 dan 170 kepala daerah pada 2023,” ujarnya.

Dalam konteks penunjukan Pj kepala daerah tersebut, pemerintah membuka kemungkinan berasal dari prajurit TNI dan personel Polri aktif. Wacana tersebut benar-benar telah direalisasikan pada gelombang kedua, dari 49 Pj kepala daerah yang ditunjuk oleh Kemendagri setidaknya terdapat salah satunya masih berstatus TNI aktif.

Imparsial memandang, pemerintah dalam hal ini Kemendagri perlu mengkaji ulang rencana penunjukan Pj kepala daerah dari unsur TNI/Polri aktif, mengingat hal tersebut bertentangan dengan regulasi induknya, yaitu UU TNI dan UU Polri. Meski penunjukan Pj dari yang berlatar belakang TNI/Polri dimungkinkan dalam UU Pilkada dan UU ASN, namun regulasi induk tersebut tetap harus menjadi kerangka acuan utama.

Sebagai anggota TNI/Polri aktif mereka tentunya tetap harus tunduk pada regulasi induk yang mengaturnya, termasuk ketika mereka mendapatkan penugasan di luar instansi induknya (TNI/Polri). Dengan demikian, menjadi sebuah keharusan bagi pemerintah untuk menjadikan regulasi induknya sebagai rujukan dalam penunjukan Pj dari TNI/Polri.

“Jika pemerintah tetap memaksakan rencananya, hal tersebut dapat menimbulkan berbagai persoalan, baik secara hukum maupun implikasinya terhadap dinamika politik dan pemerintahan di daerah,” ujarnya.

Secara aturan hukum, jika mengacu pada UU induknya, prajurit TNI dan personel Polri yang ditugaskan ke jabatan sipil, atau dalam hal ini menjadi Pj kepala daerah, harus mengundurkan diri atau pensiun terlebih dahulu dari dinas kemiliteran.

“Pasal 47 Ayat (1) UU TNI menyatakan 'Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan',” ujarnya.

Menurut Ardi, begitupun juga bagi personel Polri. Pasal 28 Ayat (3) UU Polri menegaskan “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.”

Berdasarkan dua ketentuan tersebut, sekiranya jelas jika statusnya masih prajurit/personel aktif, maka tidak diperbolehkan mengemban jabatan tersebut. Dengan demikian, sesuai argumen di atas, penunjukan Pj Bupati Seram Barat, Provinsi Maluku, yang ditengarai statusnya masih perwira TNI aktif, bertentangan dengan UU TNI Penunjukan prajurit TNI aktif sebagai Pj kepala daerah berisiko menimbulkan konflik hukum bagi prajurit TNI tersebut.

“Pertanyaannya kemudian adalah, jika terdapat dugaan pelanggaran tindak pidana, apakah Pj kepala daerah tersebut tunduk pada mekanisme peradilan militer atau peradilan umum?” katanya.

Mengacu pada Pasal 9 Ayat (1) tentang peradilan militer disebutkan bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI diproses melalui peradilan militer. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa dengan statusnya yang masih prajurit TNI aktif, maka Pj kepala daerah tunduk pada sistem peradilan militer, bukan melalui mekanisme peradilan umum.

Selama ini, sistem peradilan militer telah mengundang banyak kritik, bukan hanya karena bertentangan dengan prinsip equality before the law, tapi juga praktiknya yang sering tidak transparan dan akuntabel.

Lebih jauh, Imparsial juga memandang bahwa dalam penunjukan Pj kepala daerah tidak cukup dengan hanya mengacu pada syarat-syarat formal sebagaimana diatur di dalam berbagai perundang-undangan yang ada. Adalah penting bagi pemerintah untuk juga perlu mempertimbangkan aspek kompetensi nama-nama calon yang diajukan.

“Dalam konteks ini, menjadi penting proses penunjukan Pj kepala daerah dijalankan secara transparan, akuntabel, dan menyerap aspirasi publik terutama di daerah,” ujarnya.

Proses penunjukan yang sifatnya tertutup dan tidak partisipatif adalah sesuatu yang harus dihindari. Sayangnya, pemerintah melalui Kemendagri belum membuat aturan pelaksana tentang tata cara pengisian kekosongan jabatan kepala daerah sebagaimana yang diamanatkan oleh Putusan MK No. 67 Tahun 2021, sehingga proses penunjukan Pj kepala daerah saat ini menimbulkan kegaduhan publik.

67