Home Milenial Bahaya Bahan Plastik BPA pada Fungsi Otak

Bahaya Bahan Plastik BPA pada Fungsi Otak

Jakarta, Gatra.com - Tahukah anda ada bahaya yang mengintai dari air minum berwadah plastik yang anda konsumsi setiap hari? Bahaya itu berasal dari Bisfenol-A (BPA), bahan kimia yang digunakan dalam kemasan plastik polikarbonat.

BPA berfungsi menjadikan plastik tak mudah hancur, sehingga bisa digunakan dengan baik sebagai wadah. Galon air mineral adalah salah satu yang menggunakan bahan kimia ini. Selain kemasan air berbahan plastik, BPA sebetulnya juga dijumpai pada kemasan berbagai makanan kalengan, perlengkapan rumah seperti pipa air, yang berupa lapisan plastik tipis.

Bahayanya, BPA dapat mengontaminasi produk yang tersimpan di dalam kemasannya. Jika seseorang terpapar BPA yang merupakan senyawa endocrine disruptor (gangguan sistem endokrin) dalam jangka panjang, maka bisa berisiko buruk pada kesehatannya.

Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM) mengkaji kembali pengaturan pelabelan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK). Badan POM melakukan kajian scientific based (policy brief), yang meliputi kajian keamanan BPA, kajian dampak ekonomi kesehatan, kajian dampak lingkungan hidup, dan kajian dampak sosial.

Bahaya BPA juga ditunjukkan oleh Kajian Otoritas Keamanan Pangan Eropa atau The European Food Safety Authority (EFSA) yang melakukan evaluasi ulang risiko BPA pada 2021 lalu. EFSA Panel on Contact Materials, Enzymes, and Processing Aids (CEP) mengusulkan (tolerable daily intake atau TDI) baru BPA adalah 0,04 nanogram/kgBB/hari.

BPA juga berdampak pada perkembangan otak dan gangguan perkembangan mental. Hal itu ditunjukkan oleh hasil penelitian Dekan Fakultas Farmasi Universitas Airlanggan (Unair) Surabaya, Prof. Junaidi Khotib, berjudul “Dampak Paparan Bishpenol-A pada Brain Development dan Gangguan Perkembangan Mental”. Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi dampak BPA terhadap gangguan pembentukan dan maturasi sel syaraf pada otak berdasarkan data invitro, invivo dan epidemiologi.

Prof. Junaedi Khotib mengatakan, paparan BPA dapat menyebabkan perkembangan dan fisiologi hipotalamus neuroendokrin dan pengendalian keseimbangan energi mengalami gangguan, dan proses learning memori pada hipokampus pun mengalami penurunan.

"Meskipun sampai saat ini kuantitas gangguan pada model tikus secara invivo belum dapat ditranslasikan ke dalam model dosis-response yang sangat jelas pada manusia," kata dalam keterangan tertulisnya, Jumat lalu.

Hasil kajian Prof. Junaidi menunjukkan bahwa BPA menimbulkan kerusakan yang kompleks dengan melibatkan jalur hormonal dan epigenetik. "Perkembangan dan fisiologi hipotalamus neuroendokrin dan pengendalian keseimbangan energi mengalami gangguan, dan proses learning memori pada hipokampus mengalami penurunan," kata Prof Junaedi Khotib,

Junaidi mengungkapkan beberapa poin kesimpulan penting terkait penelitiannya. Pertama, paparan BPA pada kultur sel syaraf dan penyangga menghasilkan perubahan dalam aktivitas, proliferasi, deferensiasi serta fisiologi sel syaraf dan penyangga dalam mengekspresikan protein spesifik.

Kedua, paparan BPA secara invivo pada hewan coba pada fase prenatal dan neonatal menimbulkan perubahan diferensiasi, maturasi dan perkembangan sistem persyarafan dalam otak, yang berdampak pada perubahan perilaku dan learning memory hewan coba.

Ketiga, paparan BPA berhubungan erat dengan kandungan BPA dalam urin dan marker kerusakan DNA. Hal itu berpeluang menimbulkan gangguan tumbuh kembang terutama pada ADHD (Attention Deficit/Hyperactivity Disorder), ASD (Autism Spectrum Disorder) dan gangguan kesehatan mental pada anak-anak.

Berdasarkan kajian itu, Prof. Junaidi Khotib merekomendasikan beberapa langkah untuk mencegah paparan dan dampak merugikan pada manusia. Pertama, edukasi dan peningkatan kesadaran kepada masyarakat terkait dengan kemampuan secara bijak dalam memilih produk makanan atau minuman yang menggunakan kemasan primer yang bebas BPA.

Kedua, pendampingan pada produsen dalam meningkatkan costumer awareness melalui upaya menjaga keamanan produk dari paparan senyawa berbahaya bagi Kesehatan seperti BPA. Pengendalian dan monitoring penggunaan kemasan dapat dilakukan dengan baik.

Ketiga, komitmen dan tanggung jawab produsen dalam menjamin keamanan produk melalui studi pharmacovigilance yang intensif terkait dengan migrasi/pelepasan BPA dari kemasan dan dampak bagi kesehatan.

Dan keempat, upaya Lembaga Autorisasi dalam perijinan produk makanan dan minuman dengan tidak melakukan pembiaran peluang pemaparan bahan berbahaya BPA melalui pemberian label pada kemasan primer pada makanan dan minuman.

Prof. Junaidi mengingatkan bahaya BPA ini harus menjadi pemikiran dan peringatan akan adanya gangguan kesehatan yang akan terjadi ketika pemaparan BPA terjadi terus menerus. Dia menambahkan bahwa potensi efek BPA pada fungsi otak sangat besar dan kompleks, karena perubahan yang dihasilkan kemudian dapat menyebabkan perubahan organik maupun perilaku organisme.

Karena itu, dia mendorong edukasi masyarakat dalam memilih produk makanan atau minuman yang menggunakan kemasan primer yang bebas BPA. Selain itu, perlu juga pendampingan pada produsen dalam meningkatkan "costumer awareness" melalui upaya menjaga keamanan produk dari paparan senyawa BPA, sehingga pengendalian dan monitoring penggunaan kemasan dapat dilakukan dengan baik.

Lembaga Autorisasi dalam perizinan produk makanan dan minuman juga diimbangi untuk tidak melakukan pembiaran peluang pemaparan bahan berbahaya BPA melalui pemberian label pada kemasan primer pada makanan dan minuman. kata dia.

KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR