Home Ekonomi Perlu Kolaborasi Demi Atasi Kendala Akses Air Bersih di Jakarta

Perlu Kolaborasi Demi Atasi Kendala Akses Air Bersih di Jakarta

Jakarta, Gatra.com – Direktur Pelayanan PAM Jaya, Syahrul Hasan, mengatakan, perlu koloborasi banyak pihak, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah hingga swasta, agar 36% warga ibu kota yang belum terlayani bisa mendapatkan akses air bersih.

“Apakah swasta bisa terlibat, saya rasa dimungkinkan. Apakah nanti di pengelolaannya, atau didistribusinya,” kata Syahrul dalam keterangan pada Kamis (9/6).

Menurutnya, kolaborasi berbagai pihak merupakan keniscayaan. Terlebih, pascapandemi Covid-19 sehingga Pemprov DKI Jakarta dan pemerintah daerah lainnya mengalami permasalahan anggaran. PAM Jaya diproyeksikan baru bisa menerima penanaman modal dari pemprov paling cepat pada tahun 2026 mendatang.

Syahrul menyampaikan, sudah sekitar 64% warga Jakarta yang mendapatkan pelayanan dari PAM Jaya. Sisanya, sebanyak 36% belum terlayani, antara lain karena Jakarta masih kekurangan sumber air baku.

Kata dia dalam webinar bertajuk “Kapan Sumber Air Bersih Jakarta Dapat Diandalkan” tersebut, sumber-sumber air baku di Jakarta, seperti sungai, danau maupun embung, tidak bisa menjawab pasokan untuk 36% warga yang belum terlayani.

Menurut Syahrul, pihaknya mempunyai target bahwa semua warga Jakarta dapat mengakses air bersih paling lambat pada 2030 mendatang. Namun, upaya tersebut tidak bisa dilakukan tanpa bantuan pihak lain, alias memerlukan kolaborasi.

Direktur Perumahan dan Kawasan Permukiman, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Tri Dewi Virgiyanti, menyampaikan, sudah sekitar 90,21% masyarakat Indonesia memiliki akses air yang dapat dikategorikan layak.

Menurutnya, dari angka tersebut, baru sekitar 12% yang memiliki akses air yang dapat dikategorikan aman, yakni yang butuh sekali pengolahan untuk bisa langsung dikonsumsi.

Ia menjelaskan, persentase akses masyarakat terhadap air layak dapat dikatakan tinggi di Jakarta, yakni mencapai sekitar 99%, dan kurang dari 1% yang belum memiliki akses. Namun sayangnya, akses air layak belum bisa menjawab sepenuhnya kebutuhan masyarakat.

Menurutnya, karena keterbatasan akses air aman, maka masyarakat terpaksa mengonsumsi air isi ulang maupun air kemasan. Hal serupa kata dia, juga terjadi di kota-kota besar lainnya.

"Ada kecenderungan lain yang menguat di Indonesia, terutama di kota-kota besar. Karena air di sumur perlu di treatment satu kali, bergeserlah mengandalkan air minum dalam kemasan atau isi ulang,” ujarnya.

Berdasarkan studi, lanjut dia, kualitas isi ulang jauh lebih rendah dari perpipaan. Sementara air kemasan harganya tidak terjangkau dan tidak selalu tersedia setiap saat. Artinya, air minum kemasan dan isi ulang ini bukan akses.

Tri menyampaikan, untuk menghadirkan air aman bagi seluruh warga DKI Jakarta bukankah perkara mudah. Pasalnya, untuk urusan air layak, Jakarta masih harus mendatangkannya dari luar kota. Menurutnya, sumber-sumber air aman layak di Jakarta hanya bisa mengakomodir sekitar 6% dari kebutuhan warga.

Sementara itu, Dirjen Pembiayaan Infrastruktur Kementerian Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Herry Trisaputra Zuna, menjelaskan bahwa sesuai undang-undang, air diatur oleh negara. Namun untuk membantu sejumlah hal, termasuk pendistribusian, pemerintah bisa menggandeng pihak swasta.

“Kalau berhubungan dengan masyarakat harus [dikelola] PDAM [atau] BUMD daerah. Tapi percepatan sambungan rumah, bisa dikerjasamakan, lingkupnya membangun,” katanya.

Menurut Herry, penanganan permasalahan akses air di Jakarta, sudah diatur sejak lama. Penanganan tersebut melibatkan banyak pihak, termasuk pemerintah pusat. Adapun yang perlu dilakukan sekarang, adalah semua pihak konsisten dan mulai segera melakukan segala upaya agar target 2030 dapat tercapai.

65