Home Regional Meninggal di Usia 77 Tahun, Berikut Biografi KH Dimyati Rois Kaliwungu

Meninggal di Usia 77 Tahun, Berikut Biografi KH Dimyati Rois Kaliwungu

Kendal, Gatra.com - Kabar meninggalnya pengasuh Ponpes Al Fadlu Kaliwungu, KH Dimyati Rois, menjadi duka mendalam bagi keluarga dan masyarakat Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah. Kiai sepuh yang juga menjabat sebagai Mustasyar PBNU ini meninggal dunia pada Jumat dinihari, (10/6) sekitar pukul 12.30 WIB.

Berikut biografi KH Dimyati Rois yang meninggal dunia tepat di usia 77 tahun dirangkum dari berbagai sumber. KH Dimyati Rois atau yang lebih dikenal dengan panggilan Abah Dim lahir pada 5 juni 1945 di Tegal Glagah Bulakamba, Brebes, Jawa Tengah. Beliau merupakan putra kelima dari sepuluh bersaudara dari pasangan KH Rois dan Nyai Djusminah.

Saudara-saudara beliau di antaranya Ny Khanifah, KH Tohari Rois, KH Masduki Rois, H Murai Rois, KH Saidi Rois, Ny Khotijah, KH Syatori Rois, Ny Mukoyah, dan Ny Daroroh. KH Dimyati Rois,

Latar belakang KH Dimyati Rois adalah asli turunan petani dan santri, baik dari pihak ayah maupun ibu. Selain itu, kedua orang tuanya selalu mengajarkan dan melatih kepada putra-putrinya untuk senantiasa taat dalam beribadah.

Keluarga

Pada 1 Januari 1978, KH Dimyati Rois melepas masa lajangnya dengan menikahi Hj. Toah, putri tunggal dari pasangan KH. Ibadullah dan Hj. Fatimah. Buah dari pernikahannya, beliau dikaruniai sepuluh putra-putri, yaitu H. Gus Fadlullah, H. Gus Alamudin BA., Hj. Ning Lailatul Arofah, H. Gus Qomaruzzaman, Hj. Ning Lamaatus Sobah, H.Gus Hilmi, H.Gus Thoha Mubarok, H.Gus Husni Mubarok, H.Gus M. Iqbal, dan Gus Abu Khafsin Almuktafa.

KH. Dimyati Rois membekali putra-putrinya dengan nilai-nilai agama Islam, mengajari putra-putrinya untuk menuntut ilmu dan terus belajar, karena menurut beliau bahwa seseorang tidak akan menjadi pandai tanpa adanya suatu proses pembelajaran.

Pendidikan

KH. Dimyati Rois sejak kecil memang sudah terlihat berbeda jika dibandingkan dengan para saudaranya yang lain. Beliau begitu pendiam tetapi rajin, disiplin, dan ulet.
Dengan sikap rajinnya tersebut, beliau memulai pendidikannya dengan belajar di SR (Sekolah Rakyat). Di sekolah formal tersebut KH. Dimyati Rois menyelesaikannya dan mendapatkan sertifikat sebagai tanda kelulusan.

Setelah selesai pendidikan formal, kemudian pada sekitar tahun 1956, beliau melanjutkan pendidikannya dengan belajar di Pondok Pesantren APIK, Kauman, Kaliwungu, Kendal, yang diasuh oleh KH. Ahmad Ruyat. Beliau mondok di Pondok Pesantren APIK selama kurang lebih 14-15 tahun.

Setelah selesai di Pondok Pesantren APIK, kemudian beliau melanjutkan pendidikannya dengan berguru kepada KH. Mahrus Aly di Ponpes Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, akan tetapi itu hanya sebentar dan setelah itu kemudian beliau melanjutkan berguru pada Mbah Imam, pengasuh Pondok Pesantren Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Di sana, beliau hanya belajar kurang lebih sekitar 5 tahun.

Namun, setelah beberapa tahun berkelana menuntut ilmu di daerah Rembang, Tuban, dan Kediri, pada akhirnya beliau kembali lagi ke Pondok Pesantren APIK, Kauman, Kaliwungu, Kendal. Tak berapa lama kemudian, beliau diangkat menjadi Lurah Pondok oleh Pengasuh Pondok Pesantren APIK, KH. Humaidullah Irfan (kakak KH. Ibadullah Irfan).

Ilmu-ilmu yang beliau pelajari selama di pondok, antara lain nahwu, sorof, ushul fiqh, kitabnya Imam Al-Ghazali, dan masih banyak lagi kitab-kitab lainnya.

Kecerdasan KH. Dimyati Rois telah nampak di waktu masih belajar di pondok yang beliau singgahi. Selama beliau di pondok, tidak ada waktu yang terlewati dengan sia-sia. Melainkan digunakan untuk belajar, maka tidak aneh jika KH. Dimyati Rois memiliki wawasan yang luas tentang keislaman.

Peranan di Nahdlatul Ulama (NU)

Pada waktu Muktamar NU di Jombang, KH. Dimyati Rois terpilih menjadi salah satu ulama yang tergabung dalam tim Ahlul Hal Wal Aqdi (AHWA) yang berjumlah 9 ulama khos se-Indonesia.

Dalam ormas NU, kiprah beliau tidak diragukan lagi. Beliau pernah menduduki kepengurusan dari mulai tingkat PCNU Kendal, PWNU Jawa Tengah, hingga PBNU. Beliau pernah menjadi pengurus Tanfidziyah, Syuriyah hingga Mustasyar PBNU.

Di samping sebagai ulama yang alim, beliau juga dikenal sebagai mubaligh yang ulung. Maka tidaklah mengherankan jika beliau banyak dikenal di kalangan santri dan kaum nahdliyin.

Selain itu, dalam dunia politik, beliau juga pernah menjadi pengurus DPW PPP Jawa Tengah, DPP PKB, dan DPP PKD. Pada masa Orde Baru, beliau pernah menjadi anggota MPR RI melalui jalur Utusan Golongan yang diajukan PPP (Partai Persatuan Pembangunan).

Setelah Orde Baru tumbang dan muncullah era Reformasi, para politisi dan pengurus PBNU bergerak membentuk partai baru sebagai usulan kaum nahdliyin yang ingin aspirasinya tertampung.

Beliau masuk dalam jajaran pengurus PBNU yang ikut mendeklarasikan lahirnya PKB. Beliau bersama KH. Cholil Bisri, KH. Mustofa Bisri, KH. Abdurrahman Wahid, KH. Munasir Ali, KH. Muchit Muzadi, KH. Maruf Amin, KH. Ilyas Ruchiyat, dan ulama lainnya menjadi Deklarator PKB.

Setelah Gus Dur dilengserkan dalam Sidang Istimewa (SI MPR RI) dan memasuki pemilu kedua di era Reformasi, mulai muncullah riak-riak dalam dunia perpolitikan Indonesia, termasuk menimpa PKB. PKB terpecah belah menjadi beberapa partai, di antaranya PNU, PKNU, dan Partai Kejayaan Demokrasi (PKD).

Dalam kubu Pondok Pesantren Langitan, Pondok Pesantren Lirboyo dan Pondok Pesantren Tegalrejo melahirkan PKNU. Sedangkan kubu Matori Abdul Jalil melahirkan PKD dan Ketua Dewan Syuranya dipegang oleh beliau. Namun, PKD tidak masuk dalam parpol yang lolos verifikasi KPU sehingga dengan sendirinya bubar.

Setelah vakum dalam dunia politik beberapa tahun, beliau kembali didapuk oleh Ketua Umum DPP PKB, Muhaimin Iskandar, untuk menjadi pengurus Dewan Syura DPP PKB. Di kemudian hari, Ketua Dewan Syura DPP PKB kosong sepeninggal KH. Aziz Manshur. Tidak butuh waktu lama, Muhaimin Iskandar selaku Ketua Umum DPP PKB memohon agar beliau berkenan menjadi Ketua Dewan Syura DPP PKB menggantikan KH. Aziz Manshur. Dengan berat hati, beliau pun menyanggupinya demi kebesaran PKB.

Teladan

Sebagai seorang ulama, KH. Dimyati Rois memiliki kepribadian yang sangat baik dan penuh kesederhanaan, baik dengan para pengikut (santrinya) maupun dengan masyarakat yang lain. Kesederhanaan beliau ditunjukan dengan berpakaian yang sederhana dan juga tidak akan makan apabila tidak benar-benar lapar.

Selain itu, beliau juga suka bergaul dengan siapapun, baik dengan pedagang, pejabat, orang kaya, orang miskin, buruh bahkan anak-anak. Beliau terkenal sebagai seorang yang sabar, pemurah dan ramah. Beliau juga tidak mengajarkan sesuatu yang tidak beliau kerjakan, dengan kata lain, segala sesuatu yang beliau ajarkan atau berikan pada muridnya sudah atau sedang ia kerjakan sendiri.

Hal ini merupakan salah satu faktor yang membuat para santri maupun jemaahnya simpatik terhadap kepribadian beliau, sehingga petuah dan ajaran-ajarannya dapat diterima dan sangat diperhatikan oleh para jemaah pada umumnya dan oleh para santri pada khususnya.

Salah satu kelebihan yang tidak banyak dimiliki kiai lain adalah kemampuannya dalam kewirausahaan. Tak hanya mengajar mengaji, beliau memiliki berbagai usaha yang menghasilkan uang sekaligus melatih para santrinya untuk bisa berwirausaha, terutama dalam bidang pertanian dan perikanan. Beliau juga dikenal sebagai kiai yang banyak memiliki ilmu hikmah atau ilmu kesaktian. Hal ini menambah kewibawaannya di kalangan masyarakat.

3926