Home Hukum Peliknya Kasus Kekerasan Seksual di Jatim dan Pentingnya Penerapan UU TPKS di DRPPA

Peliknya Kasus Kekerasan Seksual di Jatim dan Pentingnya Penerapan UU TPKS di DRPPA

Jakarta, Gatra.com - Lili, nama samaran, mungkin tidak pernah menyangka bahwa dirinya harus menghadapi mimpi buruk yang nyata. Siswi kelas satu SMP di Kabupaten Blitar, Jawa Barat, itu kini harus menanggung kehamilan berusia delapan bulan setelah diperkosa oleh dua bapak-bapak bejat tetangganya, yakni SRY (63) dan BD (53), warga Dusun Pakel, Desa Banjasari, Kecamatan Selorejo, Kabupaten Blitar, Jawa Timur.

Kasus perkosaan Lili kini masuk dalam penyidikan Polres Blitar. Dari informasi yang dihimpun Gatra, pelaku SRY menyerahkan diri setelah mengetahui rekan cabulnya, BD gantung diri karena tertekan akibat kasus tersebut pada Jumat (3/6) lalu. SRY bakal dijerat dengan UU Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak.

Lili sendiri dipastikan langsung mendapat pendampingan psikologis dan hukum dari Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (PPKBPPPA) melalui Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).

Kondisi Lili dikabarkan mulai membaik dan tidak mengalami tekanan ataupun ketakutan. Ia juga tetap bisa melanjutkan kegiatan belajarnya di sekolah setelah melahirkan.

"Kami mendapatkan informasi, korban dapat melanjutkan sekolahnya di tempat yang sama setelah melahirkan anak yang dikandungnya," kata Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Nahar melalui keterangan tertulisnya, Kamis (9/6/2022).

Cerita soal Lili merupakan satu di antara gunungan es kasus kekerasan seksual di Indonesia. Data yang dicukil dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa ada 1.209 desa/kelurahan di Indonesia yang memiliki kasus perkosaan dan kejahatan kesusilaan selama 2021.

Dari jumlah tersebut, provinsi dengan jumlah desa atau kelurahan terbanyak yang memiliki kasus perkosaan adalah Jawa Timur, tempat Lili berada, dengan 'torehan' mencapai 99 desa/kelurahan.

Sumber terpisah, jika diungkap secara kasus, ada 688 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang terjadi di Jawa Timur selama 1 Januari hingga 10 Desember 2021. Temuan memprihatinkan itu dipaparkan oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Kependudukan (DP3AK) Provinsi Jawa Timur, Restu Novi Widiani.

Novi, sapaannya, mengatakan, ratusan kasus itu terjadi di 38 kabupaten/kota di Jawa Timur. Angka ini tercatat dalam aplikasi Simfoni yang dimiliki oleh Kementerian PPPA. 'Rekor' dipegang oleh Kabupaten Sidoarjo, dengan jumlah 89 kasus.

"Ini kasus (kekerasan seksual) fisik yang paling banyak," kata Novi pada (12/12/2021) lalu, dikutip dari RRI Surabaya.

Apa yang sudah dilakukan Pemprov Jawa Timur?

Tingginya kasus di Jawa Timur menunjukkan bahwa daerah tersebut darurat kekerasan seksual. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur didesak untuk menangani kasus kekerasan seksual yang banyak menimpa anak-anak dan perempuan ini.

Pemprov Jawa Timur menancapkan komitmen untuk mengembangkan Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA). Program tersebut bagian perwujudan dari Peraturan Daerah Jawa Timur Nomor 09 tahun 2019 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan.

Novi mengaku pihaknya telah melakukan pertemuan intensif untuk membahas program tersebut. Hasilnya, ada empat kabupaten di Jawa Timur yang secara tegas membangun DRPPA. Salah satunya adalah Kabupaten Nganjuk.

"Telah terpilih enam desa yang akan menjadi daerah uji coba di Nganjuk, yaitu Desa Loceret dan Desa Candirejo di Kecamatan Loceret; Desa Bareng dan Desa Margo Patut di Kecamatan Sawahan; Desa Rejoso dan desa Klagen di Kecamnatan Rejoso," kata Novi dikutip dari laman resmi DP3AK Jatim, Rabu (8/6/2022).

Desa-desa itu harus memenuhi sedikitnya 10 indikator DRPPA. Di antaranya, adanya pengorganisasian perempuan dan anak di desa, tersedianya data desa yang memuat data pilah tentang perempuan dan anak, tersedianya Perdes/SK Kades tentang DRPPA.

Kemudian, tersedianya pembiayaan dari keuangan desa dan asset desa yang digunakan untuk pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, persentase keterwakilan perempuan di pemerintah desa, badan permusyawaratan desa, lembaga kemasyarakatan desa dan lembaga adat desa, adanya perempuan wirausaha atau pelaku usaha di desa.

Selain itu, semua anak harus mendapat pengasuhan berbasis hak anak, tidak ada kekerasan terhadap perempuan dan anak serta korban tindak pidana perdagangan orang, dan jumlah anak yang bekerja serta jumlah anak yang kawin/pernah kawin di bawah usia 18 tahun (pekawinan usia anak).

Kepala Daerah Harus Komitmen Bangun DRPPA dan Mengimplementasikan UU TPKS

Pengembangan DRPPA di Jawa Timur sejatinya masih dalam perjalanan. Belum banyak desa yang ter-cover, termasuk tempat Lili berada. Ini menunjukkan pekerjaan rumah baik pemprov hingga tingkat kementerian masih banyak.

Menteri PPPA, Bintang Puspayoga mengatakan, pada 2022 ini pihaknya membuat 132 model desa dan 66 kelurahan di seluruh Indonesia. Strategi ini diambil karena melihat populasi perempuan dan anak yang mengisi hampir setengah populasi di Indonesia yakni sebanyak 49,42% adalah perempuan sedangkan anak-anak sebesar 31,8%.

Ia juga mengatakan bahwa pihaknya diberi mandat oleh Presiden Joko Widodo untuk mengatasi berbagai permasalahan perempuan dan anak ini sampai 2024 mendatang.

"Ada 5 arahan Presiden yaitu peningkatan pemberdayaan perempuan dalam kewirausahaan, peningkatan peran ibu dan keluarga dalam pendidikan atau pengasuhan anak, penurunan kekerasan pada perempuan dan anak, penurunan pekerja anak dan pencegahan perkawinan anak," kata Bintang di Desa Penyamun, Kecamatan Pemali, Kabupaten Bangka dalam rangka launching desa DRPPA di Kabupaten Bangka Provinsi Bangka Belitung, Kamis (17/03/2022), dikutip dari laman resmi pemkab Bangka Tengah.

Sebelumnya program ini berjalan parsial. Artinya, program khusus anak dan perempuan berbeda. Namun kali ini dijadikan satu, karena melihat cara kerja dan tata kelola yang sama.

"Kami mulai dengan komitmen. Bukan sekadar peluncuran, tapi tertuang dalam kebijakan di daerah. Ada perda, aturan teknis. Komitmen ke pemimpinnya. Tetapi, masyarakat juga kita sentuh, ada pengorganisasian supaya bisa ada pendampingan. Ini sekaligus pembuktian ke pemimpin perempuan apakah daerahnya bisa jadi ramah ke perempuan dan anak," kata SAM Bidang Penanggulangan Kemiskinan, Titi Eko Rahayu dalam webinar 'Mengawal UU TPKS di DRPPA', Sabtu (23/4/2022).

Titi mengungkapkan, DRPPA diharapkan mampu menjawab dan mengimplementasikan lima arahan Presiden tersebut, juga sebagai episentrum baru bagi pembangunan yang berbasis kesetaraan gender, serta perlindungan hak perempuan dan anak.

Pembangunan DRPPA selaras dengan momentum disahkannya Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada 12 April 2022 lalu. Ini tentu menjadi kabar baik. DRPPA diharapkan bisa menjadi wadah pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual yang sudah menggunung di Indonesia.

"UU TPKS menunjukkan kehadiran negara dalam memenuhi kewajibannya memberi pelindungan bagi korban sebagaimana diamanatkan di dalam UUD 1945 maupun peraturan lainnya," ujar Wakil Ketua Komnas Perempuan, Olivia Chadidjah Salampessy dalam webinar yang sama.

DRPPA diharapkan mampu mensosialisasikan peraturan tentang TPKS, sehingga bisa menciptakan kondisi lingkungan yang dapat mencegah terjadinya TPKS.

Partisipasi masyarakat begitu dibutuhkan. Misalnya, untuk memantau penyelenggaraan dan memantau penyelenggaraan pencegahan dan pemulihan korban, memberikan dukungan untuk penyelenggaraan pemulihan korban, berperan aktif dalam penyelenggaraan pemulihan korban.

Selain itu, masyarakat bisa memberikan pertolongan darurat kepada korban dan membantu pengajuan permohonan penetapan pelindungan.

Dalam regulasi itu, Olivia mengatakan ada ketentuan pidana yang menjerat pelaku kekerasan seksual. Pertama, ketentuan pidana pokok. Ketentuan ini meliputi pidana penjara dan kerja sosial.

Sementara kedua, ada pidana tambahan. Ketentuan ini mengatur restitusi atau ganti rugi; kompensasi; perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; pencabutan hak asuh anak atau pengampuan; pencabutan jabatan atau profesi; pencabutan izin usaha; pencabutan hak menjalankan pekerjaan; dan pencabutan hak politik.

Olivia menegaskan, ketentuan pidana ini bertujuan untuk mencegah pola yang berulang, memperbaiki pola pikir dan perilaku pelaku, dan menjerakan pelaku.

"Ini juga mewujudkan kesejahteraan sosial bagi korban secara khusus dan Indonesia secara umum," kata Olivia.

563