Home Pendidikan Sekarang Eranya Guru Terus Belajar

Sekarang Eranya Guru Terus Belajar

Jakarta, Gatra.com - Bagi Trias Agata Roni (32) menjadi seorang guru tak berarti menutup diri untuk terus belajar. Wanita yang kesehariannya mengajar kelas bahasa Inggris di SMA YPK Diaspora, Kotaraja, Jayapura ini menjadi contoh bahwa perjalanan seorang guru untuk menambah kapasitas diri sejatinya tidak memiliki batasan.

Sejak pertama kali mengajar di tahun 2015, Trias cenderung galak dalam menerapkan metode belajar untuk siswanya di kelas. Beri tugas, beri materi, selesai. Namun rutinitas itu yang nyatanya menggugah nuraninya sebagai pengajar.

“Saya kok merasa tiap kelas saya datar. Tidak ada sesuatu yang bisa membuat siswa tertarik belajar,” ujar Trias Kepada GATRA, Selasa (14/6).

Keresahan ini yang kemudian memupuk niat Trias untuk teguh mencari cara menambah kapasitas pengajarannya sebagai guru. Hal ini juga yang membuatnya penasaran untuk mengikuti seleksi sebagai Guru Penggerak.

Tak muluk-muluk, ia hanya ingin mendapatkan tips dan inspirasi bagaimana ia bisa mengajar dengan pola yang menarik. 9 bulan pelatihan dan pendampingan sebagai Guru Penggerak nyatanya membuka cakrawala baru bagi Trias tentang paradigma pembelajar.

Intinya, Ia sadar bahwa menjadi seorang guru harus memiliki pemahaman lebih dalam memetakan minat dan kebutuhan siswa. “Diferensiasi pembelajaran menuntut guru untuk memahami bahwa cara belajar siswa beragam. Ada yang suka nyanyi, berpuisi dan segala macamnya. Kita sebagai gurulah yang punya peran sebagai fasilitator dari beragamnya siswa itu,” jelasnya.

Tak jauh berbeda dengan Trias, Dua Guru Penggerak lainnya di Sekolah SMA Gabungan, Jayapura, Dolvina Lea Ansanay dan Santi Julianti Senduk, pun berpandangan paradigma pembelajaran yang baru mengharuskan guru untuk bisa meningkatkan keaktifan siswa dalam belajar.

Salah satunya, pengedepanan pembelajaran berbasis proyek (Project Based Learning) di dalam kelas. Lea menyebut, cara belajar berbasis proyek yang diterapkan ada pada pembuatan Es Krim berbahan dasar sagu.

Melalui model belajar itu, Siswa justru terangsang untuk ingin lebih tahu banyak tentang ilmu-ilmu yang selama ini hanya disampaikan secara teori. “Misal, siswa lebih punya daya kritis tentang apakan Es Krim Sagu ini bisa jadi, Lalu apakah bisa dijual, dan lain sebagainya. Pertanyan ini merupakan bentuk penumbuhan rasa kritis mereka terhadap suatu hal,” papar Lea.

“Dari sini pun ada penyampaian materi ilmu pembelajaran yang mengalir tanpa buat bosan siswa,”imbuhnya.

Sementara dari Santi, pembelajaran diferensiasi pun membuat siswa dapat dengan bahagia memilih pembelajaran yang sesuai dengan minat dan keahlian siswa itu sendiri.

“Yang paling penting adalah bagaimana siswa lebih aktif dan bahagia dalam belajar. Karena sekarang ini fokus belajar yang paling penting adalah membuat siswa senang sekolah,” ujarnya.

453