Home Internasional Penangkapan Jurnalis Muslim di India Memicu Kemarahan

Penangkapan Jurnalis Muslim di India Memicu Kemarahan

New Delhi, Gatra.com - Polisi di ibu kota India, New Delhi, menangkap seorang jurnalis Muslim pada hari Senin malam. Sang Jurnalis dituduh melakukan sentimen agama, yang selama ini jadi kecaman publik, dan menyusutnya kebebasan pers di bawah pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi.

Associated Press, Selasa (28/6) melaporkan, Mohammed Zubair, salah satu pendiri situs berita fakta “Alt News”, ditangkap karena ciutannya yang menurut polisi sengaja menghina "dewa agama tertentu." 

Perwira polisi senior KPS Malhotra mengatakan kasus itu telah dilaporkan menyusul pengaduan dari pengguna Twitter dan Zubair yang ditahan selama satu hari.

Jurnalis di seluruh India saat ini menjadi sasaran pekerjaan mereka dalam beberapa tahun terakhir. Beberapa diantaranya telah ditangkap dan dijerat pasal tuntutan pidana yang ketat atas postingan di media sosial. Mereka menghadapi ancaman dan tekanan. Akun Twitter beberapa jurnalis dan situs berita juga telah ditangguhkan atas perintah pemerintah.

Insiden penangkapan itu memicu gelombang kemarahan aktivis, jurnalis, dan politisi oposisi yang berkomentar ke media sosial untuk mengecamnya. Tindakan polisi dinilai sebagai pelecehan terhadap pers, sambil menyerukan pembebasan terhadap Zubair.

“Dalam demokrasi, setiap individu memiliki hak untuk menggunakan kebebasan berbicara dan berekspresi, tidak dapat dibenarkan bahwa undang-undang yang ketat seperti itu digunakan sebagai alat untuk melawan jurnalis,” kata DIGIPUB, jaringan organisasi berita digital India, dalam sebuah pernyataan.

“Menangkap satu suara kebenaran hanya akan membangkitkan seribu suara lagi,” tulis pemimpin oposisi Kongres Rahul Gandhi di Twitter.

Pratik Sinha, salah satu pendiri Alt News, mengatakan bahwa Zubair ditangkap tanpa pemberitahuan dari polisi, padahal itu merupakan kewajiban menurut hukum apalagi dia juga langsung ditahan.

Didirikan tahun 2017 sebagai organisasi nirlaba, Alt News adalah situs web ‘berita konfirmasi fakta’ paling terkemuka di India dan telah mendapatkan reputasi baik karena melaporkan ujaran kebencian dan menyanggah informasi yang salah, terutama oleh nasionalis Hindu. 

Pendirinya sering menghadapi trolling online dan ancaman oleh kelompok sayap kanan, beberapa dari mereka terkait dengan Partai Bharatiya Janata dari pemerintahan Modi.

Beberapa kasus serupa telah diproses hukum trmasuk salah satunya Zubair.

Awal bulan ini, polisi mendakwanya karena menyebut beberapa biksu Hindu sebagai “pembenci”, dalam laporan situs berita The Wire. Para biksu Hindu telah membuat pernyataan yang menghasut Muslim atau setidaknya salah satu dari mereka telah menyerukan “genosida” terhadap komunitas minoritas. Para biarawan ditangkap dan kemudian dibebaskan dengan jaminan.

Zubair juga termasuk di antara jurnalis pertama yang menyoroti komentar kontroversial yang dibuat oleh juru bicara BJP yang sekarang ditangguhkan mengenai Nabi Muhammad dan dinilai menciptakan pertikaian diplomatik dalam pemerintahan Modi. 

Pemerintah India telah menjauhkan sanksi atas komentar juru bicara tersebut, setelah memicu reaksi besar-besaran dari banyak negara Muslim lainnya.

Dalam Kebebasan Pers tahun ini. India turun delapan peringkat menjadi 150 di antara 180 negara, yang diterbitkan kelompok pengawas Reporters Without Borders.

“Wartawan India yang terlalu kritis terhadap pemerintah menjadi sasaran pelecehan dan kampanye serangan habis-habisan,” katanya dalam edisi 2022. Ditambahkan bahwa wartawan secara teratur dihadapkan pada kekerasan polisi dan peningkatan pembalasan dari pejabat pendukung pemerintah.

Penangkapan Zubair terjadi dua hari setelah pengacara dan aktivis hak asasi manusia Teesta Setalvad ditangkap oleh sayap anti-terorisme polisi negara bagian Gujarat.

Setalvad telah lama berkampanye meminta keadilan bagi para korban kerusuhan di mana hampir 1.000 orang, kebanyakan dari mereka Muslim, tewas. Penangkapannya dikecam oleh kelompok hak asasi global seperti Human Rights Watch dan Amnesty International.

62