Home Kebencanaan Dosen UMY: Penetapan Desa dan Sekolah Siaga Bencana Seremonial Belaka

Dosen UMY: Penetapan Desa dan Sekolah Siaga Bencana Seremonial Belaka

Bantul, Gatra.com – Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Sakir Ridho Wijaya menilai pemahaman dan pengenalan perspektif kebencanaan pada sektor pendidikan di Indonesia sangat kurang.

“Bisa diteliti di lapangan, berapa banyak kampus atau perguruan tinggi yang telah menyediakan jalur evakuasi ketika terjadi bencana alam,” kata Sakir, Kamis (14/7).

Menurutnya, Indonesia negara yang memiliki tingkat kerawanan bencana alam yang besar. Untuk itu, Sakir yang menjabat sebagai Direktur International Program of Government Affairs and Administration (IGOV) UMY menilai pemangku pendidikan masih memandang perspektif kesiapsiagaan belum dianggap penting diajarkan sejak dini.

Baginya, berbagai peluncuran program Desa Tanggap Bencana (Destana) maupun Sekolah Siaga Bencana masih bersifat seremonial saja. Belum dibarengi dengan kesiapan program, lembaga, maupun sumber daya manusianya.

“Kenapa ini penting, karena bencana itu bukan hanya urusan geofisika atau geologi saja. Namun lebih mengarah pada pembentukan kelembagaan kesiapsiagaan bencana oleh masyarakat, bukan lagi pada peran pemerintah atau swasta,” kata dosen mata kuliah Tata Kelola Bencana di Prodi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UMY.

Sebagai upaya menanamkan perspektif kebencanaan, Sakir hari ini mengajak 46 mahasiswa mata kuliah Tata Kelola Bencana belajar lapangan mengenai bencana gempa dan tsunami di Pantai Cemara Sewu, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dalam praktiknya, mahasiswa diajak memahami bagaimana melakukan antisipasi, penanganan hingga evaluasi terhadap kebencanaan dari lima peran yaitu pemerintah, akademisi, media, dunia industri dan masyarakat sendiri.

Sakir menegaskan pembelajaran lapangan tentang kebencanaan alam pada mahasiswa akan melahirkan kesadartahuan dan perilaku yang nantinya akan disebarluaskan dalam membangun budaya keselamatan (safety) dan ketangguhan (resillience).

199