Home Internasional Wujudkan Perlindungan PMI, Kemlu Susun Pedoman Standarisasi Shelter

Wujudkan Perlindungan PMI, Kemlu Susun Pedoman Standarisasi Shelter

Bogor, Gatra.com – Keberadaan Tempat Singgah Sementara (TSS) atau shelter pada Perwakilan RI di luar negeri merupakan pengejawantahan dari amanat Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 5 Tahun 2018 mengenai Pelindungan WNI di Luar Negeri. Dalam Permenlu ini disebutkan bahwa salah satu sarana dan prasarana pelindungan WNI di luar negeri pada Perwakilan Pelindungan Terpadu (PPT) adalah TSS.

Data Kemlu menunjukkan bahwa 93 persen WNI di LN merupakan Pekerja Migran Indonesia (PMI). Maka ketika bicara soal perlindungan WNI, tak bisa dilepaskan dari konteks perlindungan PMI. Terkait perlindungan PMI, rujukannya adalah UUD 1945 dan diturunkan dalam UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.

“Dalam konteks perlindungan PMI, shelter itu memainkan peran sangat kritikal,” ujar Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia (PWNI) dan Badan Hukum Indonesia (BHI) Kemlu, Judha Nugraha ketika membuka Focus Group Discussion “Uji Publik Rancangan Pedoman Pengelolaan TSS pada Perwakilan RI di Luar Negeri” di Hotel Swiss-Belinn Bogor, Rabu (13/7).

“Permenlu Nomor 5/2018 menyebut soal perlunya shelter. Tapi sampai sekarang belum ada standarisasi. Makanya disusun pedoman ini,” tambah Judha.

Pedoman TSS tersebut sudah mulai dirancang sejak 2018 lalu. Kemlu melakukan beberapa metode pengumpulan data, termasuk di antaranya menyebar kuesioner, diskusi, FGD, juga konsultasi dengan sejumlah stakeholder.

Buku pedoman setebal 90 halaman ini dibagi menjadi 13 bab. Pada bagian awal dijelaskan soal prinsip pengelolaan TSS beserta fungsinya. Ditekankan bahwa TSS bukanlah tempat PMI berlindung dari tuntutan perdata maupun pidana yang sedang dihadapi, misalnya.

TSS ini dibagi menjadi tiga kategori: Kategori I, Kategori II, dan Kategori Ad Hoc. Ketiganya dibedakan oleh parameter penyediaan SDM, kapasitas, hingga infrastruktur.

Selain itu, Kemlu juga menekankan frasa “sementara”. Mereka menetapkan bahwa setiap WNI dibatasi tinggal di TSS maksimal selama enam bulan atau juga 2x3 bulan, tapi tidak lebih dari satu tahun. Namun tetap mempertimbangkan untuk kasus-kasus khusus yang terjadi. Dengan demikian dibuat pula prosedur masuk, selama di shelter, juga pengakhiran.

Tak hanya soal standarisasi, pedoman ini dinilai penting untuk membantu menghadapi masalah keterbatasan sumber daya. Pasalnya, jumlah Perwakilan RI hanya ada di 180 wilayah. Data yang terdaftar di pemerintah mencatat sebaran WNI di LN sekitar 3 juta orang. Tapi diperkirakan jumlah aslinya sekitar tiga kali lipatnya, yaitu sekitar 9 juta orang. Jadi, rasio pelayanan staf Perwakilan dibandingkan dengan jumlah WNI jelas sangat jauh dari ideal.

Ambil contoh di Malaysia, yang merupakan salah satu tujuan favorit PMI. Jumlah WNI di sana mencapai 3,3 juta orang. Sedangkan jumlah staf hanya 300an orang. Dengan demikian, satu orang staf kedutaan menangani sekitar 8000 WNI.

Shelter yang optimal, pada satu sisi memenuhi tanggung jawab negara. Di sisi lain bisa me-manage ekspektasi publik. Karena negara punya keterbatasan, apalagi ini dilakukan di luar yurisdiksi hukum Indonesia,” imbuh Judha.

Jumlah kasus yang dihadapi PMI trennya selalu meningkat, tidak pernah menurun. Masalah paling besar adalah soal keimigrasian. Lalu disusul masalah ketenagakerjaan, dimana mayoritas gaji tidak dibayar. Selain itu ada kasus pidana, juga kasus lain yang lebih detil seperti tindak pidana perdagangan orang (TPPO), penyanderaan, maupun para anak buah kapal (ABK) yang memiliki masalah di kapal.

“Harapan kami, finalisasi dan legalisasi pedoman ini bisa terjadi di akhir 2022, dan bisa diimplementasikan di 2023,” ujar Direktur Politik Luar Negeri dan Kerjasama Pembangunan Internasional, Kementerian PPN/Bappenas, Wisnu Utomo di tempat yang sama.

105