Home Hukum Akar Kekerasan Seksual di Pesantren dan Bagaimana Harusnya Kemenag Bersikap

Akar Kekerasan Seksual di Pesantren dan Bagaimana Harusnya Kemenag Bersikap

Jakarta, Gatra.com - Fenomena kasus kekerasan seksual, utamanya di sekolah berbasis keagamaan seperti pesantren, seperti gunung es. Komisioner Komisi Nasional Anti-kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Maria Ulfah Anshori meyakini masih banyak korban yang belum melapor, meskipun Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sudah disahkan dan korban bisa mendapat perlindungan dari polisi jika sudah membuat pelaporan.

Maria menjelaskan, ada dua faktor yang mendasari tingginya kasus kekerasan seksual. Pertama, adanya relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban. Di beberapa lembaga pendidikan berbasis agama atau berasrama, pelakunya memiliki power lebih tinggi yang merendahkan posisi orang di bawahnya. Merendahkan dalam konteks kasus kekerasan seksual adalah tidak menganggap korban berdaya.

"Misalnya, pendidik-orang yang dididik, motivator-siswa, kiai-santri. Itu relasi kuasa sangat mendominasi," kata Maria melalui sambungan telepon kepada Gatra.com, Kamis, (21/7).

Maria mengungkapkan, tidak mudah bagi korban untuk melapor. Sebab mereka para pelaku punya posisi yang dihormati, disegani, dan secara sosial korban bergantung kepada mereka. Kondisi ini yang membuat korban tidak berdaya, apalagi sebagian besar dari mereka merupakan anak-anak di bawah 18 tahun.

Faktor kedua, yakni masih kuatnya budaya masyarakat yang cenderung menyalahkan korban. Maria mengatakan, ketika menyampaikan kasus kekerasan seksual kepada orang terdekatnya, misalnya orang tua, mereka lantas tidak percaya karena pelaku pun sosok yang disegani. Walhasil, korbanlah yang disalahkan; disebut sebagai sosok pemicu atau pengundang reaksi seksual terhadap lawan jenis.

"Alih-alih ingin dapat sousi malah dapat kriminalisasi. Di sejumlah sekolah ada yang dikeluarkan, termasuk pesantren, korban malah dipulangkan pihak pesantren," kata Maria.

Dari kejadian itu, tak heran jika korban cenderung diam dan takut. Mereka khawatir distigma sebagai sosok yang centil, atau mengatakan bahwa kekerasan seksual yang dialaminya adalah aib, atau dianggap pengganggu.

"Kalau sampai hamil itu juga dianggap aib, makanya disiksa, diusir keluarga. Korban menjadi seperti mendapatkan kekerasan seksual dan diskriminasi berlapis," ujar Maria.

Memang, lanjut Maria, pesantren sangat kuat dengan kulturnya. Para santri harus menghormati guru, senior, bahkan di lingkungan pesantren pun digencarkan "sami'na wa atho'na" yang artinya "kami mendengar dan kami taat".

Sebagai murid tentu mereka berlaku taat kepada ajaran guru atau petinggi sekolah. Itulah yang menjadi celah dan modus dari pelaku kekerasan seksual. Para pelaku kerap memastikan 'ajaran'--yang tidak lain justru merupakan tindakan pelecehan seksual--itu harus ditaati murid.

Modus ini sering menyasar santri yang baru masuk ke pondok pesantren dan minim pengetahuan. Celakanya, mereka menaruh kepercayaan penuh kepada guru sesat tersebut.

"(Ajarannya) 'kita bersentuhan, ini tidak apa-apa, ini transfer ilmu'. Ini adalah bagian dari penipuan, kebohongan yang ditanamkan kepada anak didik," kata Maria.

Maria meyakini sekolah-sekolah, dalam konteks ini pondok pesantren, belum memiliki pedoman Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Padahal, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) sudah menerbitkan regulasinya yang tertuang Permendikbud No 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.

"Di tingkat implementasinya belum sebagaimana diharapkan. Buktinya banyak sekolah-sekolah yang punya kasus kekerasan seksual," kata Maria,

Oleh karena itu, Maria mengatakan pihaknya mendorong dua hal terhadap pemerintah, terutama Kementerian Agama. Pertama, memonitoring secara terstruktur terhadap lembaga pendidikan berbasis keagamaan mana pun. Menurutnya, indikasi kekerasan seksual harus masuk dalam rumusan monitoring dan evaluasi (monev).

Kedua, mengintegrasikan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi ke dalam mata pelajaran di sekolah berasrama, supaya para siswa mengetahui bagian yang berhubungan dengan organ reproduksi, paham akan proses tumbuh kembang, hingga mengetahui bagian vital yang tidak boleh disentuh dan harus melakukan perlawanan jika ada yang menyentuhnya.

"Pendidikan ini pasnya ke fiqih. Bagaimana cara bersuci dari hajat besar, hajat bersih. Bagaimana diintegrasikan ke pendidikan reproduksi, terutama pada saat usia mulai baligh untuk laki-laki dan perempuan," kata Maria.

Sejurus itu, Kementerian Agama juga dirasa perlu membuat beleid atau regulasi yang mensyaratkan ruang konseling bagi mereka siswa peralihan remaja ke dewasa. Menurut Maria, pemahaman itu penting untuk dibangun terlebih bagi laki-laki atau perempuan yang sudah bisa merasakan hasrat seksual.

"Diharapkan mereka punya kemampuan untuk mengendalikan, tetapi tidak diorientasikan ke arah seksual, namun ke aktivitas lain," katanya.

Soal sanksi terhadap pesantren yang 'menampung' pelaku kekerasan seksual, Maria memang mengakui individunyalah yang salah, bukan lembaganya. Namun, persoalan pentingnya justru di regulasi. Pemerintah harus memiliki regulasi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, baru menerbitkan sanksi.

"Kalau tidak ada regulasi tetapi diberikan sanksi tiba-tiba, ini memang bisa membuat mereka (pihak pesantren) berkelit karena tidak ada aturannya namun memberikan sanksi," ujarnya.

Penanganan kasus kekerasan seksual harus berjalan hati-hati dan sistematis. Maria melihat, pemerintah memang belum siap menghadapi kasus ini, sehingga banyak keputusan simpang siur antara pusat dan daerah untuk mencabut atau menertibkan pesantren yang memiliki kasus kekerasan seksual.

"Ini tidak terantisipasi. Karena di luar yang kita duga, lembaga yang selama ini dihormati, santrinya ribuan, kiainya dihormati, tiba-tiba jadi pelaku. Kaget semua," kata Maria.

1879

KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR