Home Hukum Langkah Polri Usut Kasus ACT Dinilai Tepat

Langkah Polri Usut Kasus ACT Dinilai Tepat

Jakarta, Gatra.com – Bareskrim Polri telah menetapkan empat orang petingi Aksi Cepat Tanggap (ACT) sebagai tersangka. Polri kemudian menjebloskan mereka ke dalam kerangkeng jeruji besi pada Jumat (29/7).

Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipedksus Bareskrim Polri, Brigjen Pol. Wisnu Hermawan, mengatakan, mereka menjalani penahanan selama 20 hari ke depan dan masa penahanannya bisa diperpanjang.

Terkait pengusutan kasus penyelewengan dana yang di antaranya santunan untuk ahli waris korban kecelakaan pesawat Lion Air JT 610 dari Boeing tersebut, Sekretaris Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu'ti mengatakan, langkah Bareskrim Polri tepat.

“Aspek yang sekarang ditangani polisi terkait dengan penggunaan dana yang tidak sesuai dengan peruntukan dan pelaporan yang tidak sesuai dengan realisasi. Pada aspek ini, saya kira tindakan polisi bisa dibenarkan,” ujar Mu'ti dilansir Antara pada Minggu (31/7).

Selanjutnya, kata Mu'ti, nantinya pengadilan biar yang memutuskan apakah ke-4 petinggi ACT tersebut terbukti bersalah atau tidak. Karena itu, semua pihak harus menjunjung asas praduga tak bersalah.

“Pengadilan harus memutus perkara dengan independen, objektif, dan adil,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua Umum (Ketum) PP Pemuda Muhammadiyah, Sunanto, menyampaikan, penting bagi Bareskrim Polri mengusut kasus dugaan penyelewengan dana ACT secara objektif dan transparan.

Sedangkan soal ada dugaan aliran dana ke kelompok teroris, pria yang karib disapa Cak Nanto itu menyampaikan, polisi harus menelusurinya. Jika ada bukti soal itu, pemerintah harus bersikap tegas.

“Tidak hanya setop penggalangan dananya, tapi juga pembekuan kelembagaannya,” kata dia.

Menurutnya, jika proses hukum membuktikan bahwa para petinggi ACT tersebut menyelewengkan dana, maka mereka harus mengembalikannya ke negara untuk selanjutnya diserahkan ke lembaga yang kredibel.

“Agar dikembalikan kepada pemerintah atau dihibahkan ke LSM yang memiliki kredibilitas atau bisa dipertanggungjawabkan,” ujarnya.

Sebelumnya, Bareskrim Polri menetapkan 4 petinggi dan mantan petinggi Aksi Cepat Tanggap (ACT) sebagai tersangka kasus dugaan penyelewengan dana ACT, di antaranya uang santunan untuk ahli waris kecelakaan pesawat Lion Air JT 610 dari Boeing.

Wakil Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Wadir Tipideksus) Bareskrim Polri, Kombes Helfi Assegaf, dalam konferensi pers hybird pada Senin (25/7), menyampaikan, penyidik menetapkan empat tersangka pada pukul 15.50 WIB.

Adapun keempat tersangkanya, yakni Ketua Pembina Yayasan ACT, Ahyudin (A), Pengurus Yayasan ACT, Ibnu Khajar (IK), Anggota Pembina Yayasan ACT, Hariyana Hermain (HH), dan Anggota Pembina Yayasan ACT, N Imam Akbari (NIA).

“Terkait dengan 4 orang yang telah disebutkan tadi, pada pukul 15.50 WIB telah ditetapkan sebagai tersangka,” ujarnya.

Karo Penmas Polri, Brigjen Ahmad Ramadhan, mejelaskan peran para tersangka berdasarkan hasil dari penyidikan. Ahyudin memiliki peran sebagai pendiri juga sebagai ketua yayasan ACT dan ketua pembina pada 2019–2022 dan juga pengendali Yayasan ACT dan badan hukum terafiliasi dengan Yayasan ACT.

Niat perbuatan jahatnya, yakni mendirikan Yayasan ACT untuk menghimpun dana melalui berbagai bentuk donasi, kemudian bersama-sama dengan pendiri yayasan, pembina, dan pengurus telah mendirikan sekaligus duduk dalam direksi dan komisaris agar dapat memperoleh gaji dan fasilitas lainnya.

“Tahun 2015, bersama membuat SKB Pembina dan Pengawas Yayasan ACT perihal pemotongan donasi sebesar 20-30%. Tahun 2020 bersama membuat opini Dewan Syariah Yayasan ACT tentang pemotongan dana operasional 30% dari dana donasi,” katanya.

Selain itu, lanjut Ramadhan, yang bersangkutan menggerakkan Yayasan ACT untuk mengikuti program dana bantuan Boeing untuk ahli waris korban pesawat jatuh Lion Air JT 610 melalui Boeing Community Invesment Fund (BCIF).

Perbuat tersangka Ahyudin, yakni memperoleh gaji serta fasilitas lainnya bersama dengan pendiri yayasan, pembina, pengawas, dan pengurus dengan duduk dalam direksi dan komisaris di badan hukum yang terafiliasi dengan Yayasan ACT.

“Bahwa hasil usaha dengan badan hukum yang didirkan oleh yayasan, seharusnya juga digunakan untuk tujuan berdirinya yayasan. Akan tetapi dalam hal ini, A menggunakannya untuk kepentingan pribadi. Kemudian menggunakan dana donasi yang terkumpul, termasuk dana Boeing tidak sesuai dengan peruntukannya,” ujar dia.

Sedangkan tersangka Ibnu Khajar (IK), perannya selaku ketua pengurus ACT periode 2019–sekarang. Pada tahun 2020, bersama-sama membuat opini Dewan Syariah Yayasan ACT tentang pemotongan dana operasional sebesar 30% dari dana donasi. Kemudian, menjadi direksi di badan hukum yang terafiliasi dengan Yayasan ACT tahun 2015, secara bersama-sama membuat SKB pembina dan pengawas Yayasan ACT perihal pemotongan dana donasi sebesar 20–30%.

“Saudara IK juga membuat kerja sama dengan para vendor yang mengerjakan proyek CSR/BCIF Boeing terkait dana kemanusiaan Boeing Lion Air JT 610. Kemudian menjadi dewan presidum ACT,” katanya.

Dia memperoleh gaji dan fasilitas lainnya bersama dengan pendiri yayasan, pembina, dan pengurus dengan duduk dalam direksi dan komisaris di badan hukum yang terafilisiasi dengan ACT. Kemudian sebagai presidum yang juga menentukan kebijakan penggunaan dana dari donasi yang dipotong 30%.

Adapun tersangka Hariyana Hermain, yakni selaku ketua pengawas ACT pada tahun 2019, 2020, dan 2022. Hingga waktu tersebut, dia sebagai anggota pembina, ketua pembina ACT, dan anggota presidum Yayasan ACT pada periode Ibnu Khajar sebagai ketua pengurus.

Menurut Ramadhan, selain sebagai pembina, senior vice president Yaysan ACT yang memiliki tanggung jawab sebagai HRD, general afair, juga sebagai keuangan, dia menangani semua pembukuan keuangan Yayasan ACT. Pembukuan menjadi otoritas tersangka Hariyana.

“Pada saat A sebagai ketua pembina, HH sebagai anggota pembina bersama NIA yang menentukan penggunaan pemotongan dana donasi sebesar 20-30%. Sedangkan sesuai dengan ketentuan, pengurus, pembina, dan pengawas tidak boleh menerima gaji, tidak boleh menerima upah maupun honorarium,” katanya.

Ramadhan melanjutkan, pada periode IK selaku ketua pengurus periode 2019 sampai sekarang, dia menjadi anggota presidum yang menentukan pemakaian dana Yayasan ACT.

Sedangkan tersangka N Imam Akbari, dia selaku anggota pembina pada periode Ahyadi sebagai ketua Yayasan ACT. Imam menyusun program dan menjalankannya. Dia juga merupakan bagian dari Dewan Komite Yayasan ACT yang turut andil menyusun kebijakan Yayasan ACT.

“Saat A sebagai ketua pembina, tersangka IK sebagai anggota bersama HH juga ikut menentukan pemotongan dana 20–30%. Pada periode IK sebagai ketua pengurus 2019-2021, saudara NIA menjadi anggota presidium yang mentukan pemakaian dana yayasan tersebut,” katanya.

Dalam kasus ini, Polri menyangka keempat orang di atas melakukan tindak pidana penggelapan dan atau penggelapan dalam jabatan dan atau tindak pidana informasi dan transaksi elektronik dan atau tindak pidana yayasan dan atau Tindak Pidana Pemberatasan Pencucian Uang (TPPU).

Perbuatan tersebut melanggar:
1. Pasal 372 KUHP
2. Pasal 374 KUHP
3. Pasal 45 a Ayat (1) juncto Pasal 28 Ayat (1) UU 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU 11 Tahun 2008 tentang ITE.
4. Pasal 70 Ayat (1) dan 2 juncto Pasal 5 UU 16 Tahun 2021 sebagiaman telah diubah UU 28 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU 16 Tahun 2021 tentang Yayasan.
5. Pasal 3, 4, dan 6 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
6. Pasal 55 KUHP juncto Pasal 56 KUHP.

174