Home Ekonomi Pakar Ulas Dampak Krisis Ekonomi Dunia Bagi Indonesia

Pakar Ulas Dampak Krisis Ekonomi Dunia Bagi Indonesia

Jakarta, Gatra.com – Dunia saat ini tengah menghadapi suatu tekanan yang disebut dengan “Double Hits of Crisis”. Kondisi tersebut disebabkan oleh adanya pandemi Covid-19 yang kemudian menjebak ekonomi global ke dalam jerat resesi, serta situasi yang tidak terprediksi akibat perang Rusia-Ukraina.

Fenomena tersebut menyebabkan angka pertumbuhan ekonomi dunia pada Q2-2022 terkoreksi secara signifikan. Bahkan, beberapa negara di dunia pun harus terseret masuk ke dalam jurang resesi.

“Situasi ini menciptakan suatu fenomena yang justru semakin memperdalam ‘impact’ dari ketidakpastian ekonomi global, sekaligus semakin menciptakan social disparities (kesenjangan sosial) di level global,” jelas Managing Director of Paramadina Public Policy Institute Ahmad Khoirul Umam mengenai fenomena tersebut, dalam “Paramadina Democracy Forum Seri ke-4”, Selasa (16/8).

Umam menjelaskan, dalam kondisi tersebut, negara-negara yang tidak memiliki kapasitas fiskal yang memadai akan cenderung tidak memiliki kekuatan secara praktis. Sementara itu, negara-negara maju cenderung memiliki kapasitas fiskal yang memadai untuk dapat bertahan.

Hal tersebut pada akhirnya memicu kesenjangan sosial yang lebih lebar lagi dibanding sebelumnya. Terlebih, kata Umam, kondisi tersebut terjadi akibat adanya ketidakpastian. Umam pun mengatakan, kondisi tersebut juga berdampak pada Indonesia.

“Indonesia relatif, kalau misal dari segi angka, relatif tidak separah, memang, negara-negara yang lain ya. Tetapi, kalau misal kita lihat lebih detail, tentu kita melihat dari kapasitas ekonomi negara kita,” ujar Umam.

Pasalnya, lanjut Umam, apabila ketidakpastian akibat instabilitas keamanan global masih terus berlanjut, maka dampaknya juga akan tidak produktif bagi Indonesia. Terlebih, Umam memaparkan bahwa angka inflasi Indonesia sudah mulai merangkak naik per hari ini. Umam pun memprediksi inflasi Indonesia di tahun ini akan bertengger pada kisaran 4%.

Umam pun menjelaskan bahwa utang ekonomi Indonesia saat ini telah menembus ambang batas angka psikologis 40% dari Produk Domestik Bruto (Gross domestic product/GDP). Meski belum melampaui batas toleransi utang sebesar 60% dari GDP dalam UU Keuangan Negara, ia tak memandang bahwa kondisi tersebut baik-baik saja.

“Penentunya bukan angka besaran itu, tapi bagaimana kapasitas ekonomi Indonesia untuk mengembalikan. Jadi, kemampuan untuk membayar, ‘to buy back’,” ujar Umam. Ia pun menggarisbawahi bagaimana kondisi perekonomian di Indonesia saat ini sedang berada dalam ketidakpastian, sehingga perlu diperhatikan oleh pemerintah.

Lebih lanjut, Umam menguraikan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 dan 2023 mendatang masih akan berada pada angka 4.7, atau di bawah 5. Itu artinya, kemampuan Indonesia untuk membangkitkan kelas menengah serta mengakselerasi pertumbuhan ekonomi yang lebih progresif akan menjadi jauh lebih panjang dan berat.

“Itulah yang kemudian harus kita lakukan rasionalisasi di dalam langkah-langkah ekonomi politik kita,” tukas Umam.

Sebagaimana Umam jelaskan, kondisi tersebut mendatangkan sejumlah dampak sosial politik yang saat ini mulai dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Beberapa di antaranya adalah penundaan anggaran Pemilu 2024, stagflasi, keterbatasan kapasitas fiskal, serta keterbatasan bagi presiden selanjutnya untuk berkembang.

“Oleh karena itu, yang bisa dilakukan, saya menyarankan pemerintah sebaiknya, dengan konteks situasi seperti ini, maka bersikaplah konservatif lebih dulu. Maka lakukan rasionalisasi terhadap langkah-langkah yang sekiranya tidak ‘urgent’ dan tidak mendesak, dan mungkin sesuai kebutuhan kita, tetapi bukan saat ini,” papar Umam dalam forum tersebut.

578