Home Politik Musra Indonesia: Penjaringan Capres-Cawapres Tak Nihilkan Parpol

Musra Indonesia: Penjaringan Capres-Cawapres Tak Nihilkan Parpol

Jakarta, Gatra.com – Belasan organiasi pendukung Joko Widodo (Jokowi) akan menggelar Musyawarah Nasional (Musra) Indonesia di Bandung, Jawa Barat (Jabar), pada Minggu (28/8).

Ketua Musra Indonesia, Panel Barus, dalam konferensi pers di Jakarta, Sabtu (20/8), menyampaikan, musra ini untuk menjaring calon presiden dan wakil presiden (Capres-Cawapres) untuk Pemilu 2024 yang dikehendaki rakyat.

Meski demikian, lanjut Panel, musra bukan upaya untuk menandingi apalagi menyaingi partai politik (Parpol), sebagaimana terus digaungkan dalam beberapa waktu terakhir.

“Partai politik merupakan peralatan yang paling sah untuk mengusulkan calon presiden sebagaimana tertuang di dalam konstitusi UUD 1945 Pasal 6A Ayat (2),” ujarnya.

Selain itu, musra bukan suatu upaya menihilkan parpol dan bukan ajang untuk mempromosikan salah satu calon presiden, sebagaimana kerap dituduhkan. Musra juga bukan membahas soal calon presiden semata, melainkan harapan-harapan dan keinginan-keinginan masyarakat terhadap apa yang terbaik buat mereka, buat bangsa, dan buat negara Indonesia.

Baca Juga: Musra Indonesia Lakukan e-Voting untuk Jaring Capres-Cawapres

“Dalam musra, kedaulatan rakyat menjadi imperatif dalam menentukan kepemimpinan nasional, seperti apa yang menjadi harapan warga. Bukan semata-mata kepemimpinan nasional yang disorong-sorong partai politik dan organisasi politik lainnya,” katanya.

Panel melanjutkan, musra justru dapat menjadi mata air bagi partai-partai politik untuk menjaring calon-calon pemimpin nasional yang memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk membawa Indonesia lebih maju dan lebih berkembang.

“Imperatif sebuah sistem politik demokrasi adalah bahwa setiap orang berkedudukan setara dalam memperjuangkan kepentingan politiknya,” ujarnya.

Menurutnya, imperatif ini berarti bahwa satu-satunya transaksi yang sah dalam pertandingan politik adalah transaksi argumen yang rasional. Politik memang dimaksudkan untuk melembagakan persaingan dengan cara menyediakan ruang transaksi argumen, salah satunya parlemen.

“Di dalam konstruksi ini, bekerja suatu prinsip penting dalam demokrasi, yaitu bahwa ruang publik adalah ruang yang harus dijaga secara imparsial,” ujarnya.

Menurutnya, tidak boleh ada hegemoni yang menutup peluang bagi berlangsungnya argumentasi publik yang rasional. Artinya, proses akumulasi kekuasaan melalui Pemilu misalnya dan proses distribusinya melalui kebijakan publik misalnya, hanya boleh berlangsung dengan memanfaatkan instalasi antropologis yang dimiliki bersama oleh warganegara, yaitu argumentasi publik yang rasional.

“Moral dari prinsip ini adalah bahwa urusan publik harus diselenggarakan oleh sebuah sistem yang menjamin integritas dan dignitas manusia. Karena rasio merupakan satu-satunya kualitas yang mendefinisikan manusia, maka demokrasi juga harus diselenggarakan melalui pendalaman kualitas itu,” ujarnya.

Atas dasar pemikiran tersebut, lanjut Panel, musra berpijak pada dalil bahwa pokok dari demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Salah satu wujud kedaulatan rakyat adalah suara rakyat. Suara rakyat yang bukan hanya ditafsirkan sebagai pemberian suara di dalam Pemilu, melainkan juga suara rakyat dalam memperbicangkan, mendiskusikan, menafsirkan, kehidupan sosial mereka dan kehidupan politik secara umum.

Musra merupakan wadah untuk diperbicangkannya wacana publik mengenai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk di dalamnya calon presiden yang diharapkan masyarakat untuk memimpin sekaligus mengelola kehidupan bersama seluruh rakyat Indonesia.

“Pada akhirnya, musra merupakan upaya untuk mewujudkan imperatif dalam sistem demokrasi, yakni wahana bagi suara rakyat yang berdaulat, agar suara rakyat terus bergema, bergaung, dan didengar oleh kita semua,” katanya.

Ia menjelaskan, Musra Indonesia melibatkan sebanyak mungkin partisipasi rakyat akan dilaksakan pada 28 Agustus 2022 sampai Maret 2023 di seluruh Indonesia. Pemikiran, usulan, dan aspirasi masyarakat itu akan dihimpun menggunakan teknologi e-voting yang telah disiapkan.

“Musra adalah alat ukur aspirasi rakyat yang paling jujur mengenai harapan terhadap Indonesia ke depan dan figur Capres-Cawapres pada 2024,” katanya.

Musra Indonesia akan dimulai pada tanggal 28 Agustus 2022 di Bandung. Menyusul kemudian penyelenggaraan berbagai Musra di provinsi-provinsi berikutnya. Musra bertujuan menyediakan ruang bagi masyarakat, tanpa tersekat-sekat oleh pagar-pagar partai politik, kepentingan politik kelompok, dan lainnya.

“Musyawarah Rakyat Indonesia dapat diperlakukan sebagai wahana suara kritis masyarakat dalam menyusun kerangka kriteria kepemimpinan yang diharapkan nmasyarakat,” ujarnya.

Musra merupakan ruang terbuka yang demokratis bagi masyarakat untuk mengekspresikan pandangan-pandangan mereka mengenai sosok kepemimpinan nasional yang diidamkan, tanpa harus dijejali nama-nama sebagaimana dilakukan oleh berbagai survei.

Dalam Musra, dalil utama demokrasi, yakni suara kritis rakyat, merupakan tempat yang paling sahih untuk menguji kepemimpinan seperti apa yang paling diinginkan rakyat. Bukan sekadar sosok yang disodorkan oleh partai politik, atau ditawarkan oleh eralatan survei.

“Bagi kami, satu hal yang dapat merusak dalil utama demokrasi adalah anggapan bahwa semua anggota masyarakat sebagai warga negara harus terbagi habis dalam partai politik. Ini adalah pandangan politik teknokratis yang menutup ruang manuver kritis warga negara,” ujarnya.

Baca Juga: Musra Bandung Cari Kandidat Capres-Cawapres 2024

Dalam demokrasi, lanjut Panel, kewarganegaraan adalah primer, sedangkan kepartaian adalah sekunder. Artinya, status warganegara adalah permanen, sedangkan status keanggotaan partai adalah temporer, karena partai dapat bubar, misalnya karena tidak lolos electoral threshold. Sementara, warganegara selalu hadir dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bahkan, di dalam praktiknya, demokrasi cenderung melahirkan praktik kartel, karena prosedur teknis elektoral (koalisi, electoral treshold) memungkinkan terjadinya transaksi politik status quo. Tetapi secara substansial, demokrasi juga tetap bertumpu pada prinsip “keutamaan warganegara”, yaitu jaminan filosofis bahwa politik tidak terbagi habis dalam politik elektoral.

Artinya, kewarganegaraan tidak boleh direduksi ke dalam sekadar mekanisme politik Pemilu, yaitu dengan membagi habis seluruh warganegara menjadi anggota partai politik. Dalam demokrasi, status ontologis warganegara lebih tinggi dari keanggotaan partai politik. Tidak ada demokrasi tanpa warga negara, tetapi politik dapat terus diselenggarakan tanpa partai politik.

“Politik perwakilan tidak boleh menghilangkan prinsip primer demokrasi, yaitu 'keutamaan warga negara'. Partai politik, dan juga parlemen, hanyalah salah satu alat warganegara untuk menjalankan politik,” ujarnya.

Karena itu, tandas Panel, “alat” tidak boleh membatasi “tuan”. Demokrasi tetaplah berdasarkan kedaulatan rakyat, bukan kedaulatan partai. “Jadi, demokrasi, di dalam dirinya, memiliki imperatif metapolitik untuk menjamin kedaulatan rakyat sebagai warga negara,” katanya.

121