Home Ekonomi SNI Pupuk Tingkatkan Daya Saing Produk Pupuk, dan Mendongkrak Produksi Pangan

SNI Pupuk Tingkatkan Daya Saing Produk Pupuk, dan Mendongkrak Produksi Pangan

BSN Terus mendorong pengembangan SNI Pupuk. Produk pupuk yang sudah memenuhi SNI tentu terjamin kualitasnya, sehingga mampu meningkatkan produksi pangan dan menaikkan daya saingnya di pasar global. 

Jakarta, Gatra.com - Pandemi COVID-19 yang hampir tiga tahun mencekam dunia kini berangsur mereda. Selama pandemi merebak, berbagai sektor kehidupan terdampak. Kegiatan usaha terganggu, bahkan produksi pangan dan distribusinya ikut terimbas, yang sempat mengkhawatirkan bakal memicu krisis pangan dan mengakibatkan kelaparan. 

Persoalan pangan memang rentan terpengaruh ketika terjadi gangguan pada kehidupan manusia, seperti terjadinya pandemi, bencana alam, atau peperangan yang berkepanjangan. Syukurlah, pandemi COVID-19 bisa segera diatasi sebelum berefek lebih parah terhadap ketersediaan pangan. 

Masalah pangan sebenarnya memang merupakan persoalan klasik yang terus dihadapi manusia dari generasi ke generasi. Teori Malthus menggambarkan bahwa pertambahan penduduk mengikuti deret ukur, sedangkan pertambahan pangan mengikuti deret hitung. 

Maknanya, pertambahan penduduk jauh lebih cepat dari pertambahan bahan makanan. Akibatnya, secara alami, kelak produksi pangan tak akan lagi bisa memenuhi kebutuhan makan manusia, yang pertambahannya jauh lebih tinggi. 

Jumlah penduduk Indonesia sendiri terus naik dengan pesat. Tahun 1900 jumlahnya masih sekitar 40 juta. Tujuh puluh tahun kemudian, pada 1970, angkanya melonjak tiga kali lipat menjadi 120 juta jiwa. Pada tahun 2009, jumlahnya sudah mencapai 206 juta. Dan, pada 2021 lalu, menurut Data Kependudukan di Kementerian Dalam Negeri, jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai 273,88 juta.  

Kondisi ini bukan hanya terjadi di Indonesia tapi juga di seluruh dunia, bahkan banyak negara memiliki angka pertumbuhan penduduk yang lebih besar dari Indonesia. Di pihak lain, banyak lahan pertanian produktif telah dikonversi menjadi tempat hunian, fasilitas umum dan tempat kegiatan usaha, seiring dengan bertambahnya manusia.

Upaya Menaikkan Produksi Pangan

Untuk mengatasi terjadinya krisis pangan tentu harus ada upaya rekayasa pada proses produksi pangan. Pada akhir 1960an, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), mulai  gencar menjalankan program peningkatan produksi pangan, yang dikenal dengan Revolusi Hijau. 

Dalam program ini, para ahli pertanian giat melakukan riset intensifikasi pertanian. Hasilnya, selain sukses membuat varietas-varietas tanaman unggul, juga berhasil menciptakan pupuk buatan. Pupuk buatan, yang kemudian dikenal sebagai pupuk anorganik atau pupuk kimia, seperti Urea, TSP, KCl, NPK dan lain-lain, diciptakan untuk memperkaya kembali hara tanah seperti fosfat, kalium, nitrogen, dan yang lainnya, yang secara alami terus diserap tanaman. 

Dosen Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, Dr. Rija Sudirja, S.P., M.T.,  menjelaskan, penggunaan pupuk buatan, atau pupuk kimia (anorganik) pada prinsipnya bertujuan menyuburkan tanah sekaligus menyediakan kebutuhan hara (makanan) baru bagi tanaman, setelah pemanenan. 

"Pupuk kimia juga penting karena komposisinya bisa disesuaikan dengan kebutuhan setiap jenis tanaman. Tiap tanaman membutuhkan hara berbeda-beda sesuai jenisnya dan fase pertumbuhannya, yang tidak selalu tersedia di tanah secara alami," kata pengajar mata kuliah Kesuburan Tanah dan Nutrisi Tanaman itu, kepada Gatra.com di Bandung, Rabu (24/08). 

Pupuk buatan penting untuk program intensifikasi pertanian yang meningkatkan frekuensi penanaman tanaman pangan per tahunnya. "Program intensifikasi pertanian sebenarmya mempercepat pemiskinan tanah karena unsur haranya terus diambil tanaman. Karena itu penggunaan pupuk buatan, membantu mengembalikan kesuburan tanah, setelah pamanenan," papar Rija Sudirja.
 
Maraknya Pemalsuan Pupuk

Revolusi Hijau yang diikuti program intensifikasi pertanian membuat pupuk buatan semakin populer. Para petani bisa bercocok tanam sepanjang tahun dengan produksi yang tetap tinggi. Kebutuhan petani akan pupuk buatan pun terus meningkat. 

Akibatnya, pupuk buatan menjadi komoditas yang menggiurkan di pasaran. Banyak pabrik pupuk dibangun, termasuk di Indonesia, dan celakanya banyak terjadi pemalsuan pupuk --dengan kualitas yang tentu saja rendah. Pupuk palsu ini tidak hanya merugikan petani, tapi juga merusak lingkungan.

Kementerian Pertanian pun bertindak tegas, dengan mengusut ratusan perusahaan pupuk yang melakukan pemalsuan. Pada awal tahun 2019, Menteri Pertanian kala itu, Andi Amran Sulaiman, menyatakan lebih dari 700 perusahaan telah diproses secara hukum, dan sekitar 400 perusahaan lainnya telah dihukum akibat pemalsuan pupuk.  "Tata niaga pupuk dipengaruhi oleh banyaknya mafia yang mengambil keuntungan, termasuk sindikasi pupuk palsu yang merugikan petani dan merusak lahan pertanian," ujar Andi Amran Nasution.

Dr. Rija Sudirja mengatakan, pupuk palsu memang berbahaya bagi kesehatan tanah. "Pupuk kimia yang baik bagi tanaman tentunya harus memperhatikan unsur-unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Dalam pupuk kimia palsu tidak diketahui apa saja kandungannya, dan mungkin berbahaya bagi kesehatan tanah," papar Rija.

Menurut Rija, pupuk kimia yang salah bisa menimbulkan masalah lingkungan, misalnya emisi gas rumah kaca yang tinggi, terjadinya eutrofikasi atau penyuburan tanah yang berlebihan akibat bahan kimia yang tak diserap tanaman, bahkan bisa menimbulkan pencemaran logam berat," jelas Rija. Karena itu Rija mendukung program standardisasi pupuk melalui penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk pupuk.

Peraturan Standardisasi Pupuk

Pemerintah sedang terus menjalankan program ketahanan pangan nasional untuk menjamin ketersediaan pangan yang memenuhi kebutuhan seluruh penduduk. Karena itu, pemerintah terus melakukan pengembangan, penerapan dan pengawasan SNI di bidang pertanian, termasuk untuk produk pupuk.

Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian. Pemerintah juga mewajibkan SNI untuk pupuk kimia buatan industri dengan membuat Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 19/2009 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) pupuk secara wajib. Beleid ini berlaku terhadap beberapa produk pupuk buatan, antara lain urea, amonium sulfat (ZA), NPK padat, pupuk Super Fospat (SP-36), dan pupuk Kalium Klorida (KCI).

Pemerintah tidak menoleransi penjualan pupuk buatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu SNI. Pupuk yang memenuhi SNI diharapkan akan meningkatkan produksi dan kualitas pangan Indonesia. Pupuk SNI juga akan meningkatkan daya saing produk pupuk itu sendiri baik di pasar domestik maupun pasar ekspor. 

Sesuai dengan aturan dan perundangan-undangan, pemerintah memberikan tugas kepada Badan Standardisasi Nasional (BSN), untuk menerapkan SNI pada produk pupuk. 

Peran BSN Mengembangkan SNI

Sesuai dengan tugas yang diembannya, Badan Standardisasi Nasional (BSN) --bersama para stake holder, terus melakukan pengembangan penerapan SNI Pupuk. Kepala BSN, Kukuh S. Achmad, mengatakan bahwa SNI Pupuk diberlakukan secara wajib dengan tujuan melindungi konsumen dari pupuk yang tidak berkualitas, dan tentu mendorong daya saing produk pupuk itu sendiri. “Penerapan SNI pupuk akan menjamin kualitas dari produk pupuk yang harapannya dapat memenuhi harapan petani atau pengguna,” Kukuh menjelaskan, seperti dikutip siaran pers bsn.go.id, Selasa (2/8/2022).

Selain itu, pupuk buatan yang sudah memenuhi SNI tentu terjamin kualitasnya dan bisa bersaing di pasar global. Konsumen pupuk di manca negara pastilah melihat apakah produk pupuk yang akan dibelinya sudah memenuhi standardisasi terbaik di negara pembuatnya.

Pupuk Urea SNI. (Foto: agroindonesia.co.id)

Kukuh S. Achmad mengungkapkan,  sampai saat ini, BSN telah menetapkan 29 SNI Pupuk. “Dari 29 SNI Pupuk yang telah ditetapkan, 9 SNI diberlakukan secara wajib,” ungkap Kukuh. Untuk dua jenis pupuk bersubsidi, yakni Urea dan NPK, BSN telah menetapkan SNI 2801:2010 Pupuk urea, dan SNI 2803:2012 Pupuk NPK. Menurut SNI, yang dimaksud pupuk urea adalah pupuk buatan yang merupakan pupuk tunggal, mengandung unsur hara utama nitrogen, berbentuk butiran (prill) atau gelintiran (granular) dengan rumus kimia CO(NH2).

Standar Nasional Indonesia (SNI) telah menetapkan standar mutu pupuk urea berdasarkan kadar nitrogen, kadar air, kadar biuret dan ukuran. Kadar nitrogen, baik butiran maupun gelintiran, minimal harus mencapai 46,0%. Kadar airnya, baik butiran maupun gelintiran maksimal 0,5%. Sedangkan kadar biuret, untuk butiran maksimal 1,2% dan gelintiran maksimal 1,5%

Untuk pupuk NPK sudah ditetapkan SNI 2803:2012 Pupuk NPK padat. Yang dimaksud dengan pupuk NPK padat adalah pupuk anorganik majemuk buatan berbentuk padat yang mengandung unsur hara makro utama nitrogen, fosfor dan kalium serta dapat diperkaya dengan unsur hara mikro lainnya.

SNI menetapkan persyaratan mutu pupuk NPK padat di antaranya kadar nitrogen total minimal 6%, kadar fosfor total minimal 6%, serta kadar kalium minimal 6%. Sedangkan jumlah kadar N minimal 30% dan kadar air maksimal 3%. Cemaran logam berat merkuri maksimal 10 mg/kg, cadmium 100 mg/kg, timbal 500 mg/kg dan kandungan arsen maksimal 100 mg/kg.

Untuk jenis pupuk lainnya, BSN juga sudah menetapkan SNI lengkap dengan persyaratan-persyaratan komposisi yang harus dipenuhinya. Dengan SNI, produk-produk pupuk itu tentu diharapkan akan meningkatkan produksi pangan, dan  tentu saja memiliki dayang saing yang lebih baik di pasar.

Mencegah Kerugian Petani

Direktur Pengembangan Standar Agro, Kimia, Kesehatan dan Halal BSN, Wahyu Purbowasito menegaskan bahwa pemberlakuan SNI pupuk secara wajib bertujuan mencegah petani dari kerugian akibat membeli pupuk yang tak berkualitas. 

"Pupuk yang tidak sesuai spesifikasi (SNI) berpotensi merusak unsur tanah, dan juga tanaman sehingga akan mempengaruhi keberhasilan panen dan fungsi kelestarian lingkungan hidup," papar Wahyu, dikutip dari.bsn.go.id (27/8/2021). Menurut Wahyu, jika salah satu saja persyaratan mutu dalam SNI tidak terpenuhi, maka akan berpotensi merusak tanah dan keberhasilan tanaman. 

Banyak kalangan tentulah mengapresiasi upaya Badan Standardisasi Nasional (BSN) dalam meningkatkan kualitas pupuk, dengan mewajibkan semua jenis produksi pupuk memakai Standar Nasional Indonesia (SNI) Pupuk. 

Dr. Rija Sudirja meminta semua pemangku kepentingan terlibat aktif dalam penerapan SNI Pupuk dan bersama-sama mengawasi peredaran pupuk di pasaran. “BSN dan semua stakeholder yang terkait dengan ketersediaan pupuk, harus bersama-sama mengembangkan standardisasi pupuk sesuai persyaratan SNI untuk menjamin kualitas pupuk,” kata Dr. Rija.

Tak hanya itu, semua pihak juga harus terlibat aktif dalam pengawasan peredaran pupuk. Rija khawatir, kemasan pupuk berlabel SNI pun akan dipalsukan. 

Sambutan Industri Pupuk

Kewajiban menerapkan SNI disambut baik oleh kalangan industri pupuk. Dilansir dari situs bsn.go.id, hingga saat ini terdapat 129 Industri pupuk yang telah menerapkan SNI di Indonesia. Salah satunya adalah PT Pupuk Kujang, anggota holding dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu PT Pupuk Indonesia (Persero). 

Direktur Utama PT Pupuk Kujang, Maryadi, mengatakan, Pupuk Kujang terus berkomitmen untuk menyediakan pupuk yang memenuhi persyaratan SNI dan mendorong petani menggunakan pupuk ber-SNI. "Dengan menggunakan pupuk SNI yang sudah terjamin kualitasnya, kegiatan bertani bisa lebih menguntungkan. Dengan begitu, petani bisa lebih sejahtera,” ujar Maryadi, dikutip dari bsn.go.id (03/08/2021).

Maryadi mengimbau agar petani selalu menggunakan pupuk SNI dengan merek yang sudah terdaftar agar terjamin kualitasnya. “Pupuk ber-SNI terjamin kualitasnya sehingga memberikan kepastikan hasil bagi petani,” tegas Maryadi.

PT Pupuk Kujang saat ini sudah menerapkan 3 SNI Wajib dan 1 SNI sukarela. Tiga SNI yang diterapkan wajib yakni SNI 2801:2010 Pupuk Urea, SNI 2803-2012 Pupuk NPK Padat, serta SNI 02-0086-2005 Pupuk Tripel Super Fosfat. Sedangkan satu SNI yang diterapkan sukarela yaitu SNI 06-0045-2006 Amoniak Cair.

Berkat penerapan SNI, produk para pelaku usaha kecil binaan Pupuk Kujang pun mendapat jaminan kualitas. Misalnya, pengusaha beras yang produknya juga mendapatkan label SNI karena mutu berasnya yang tinggi.

Kepala BSN, Kukuh S. Achmad, menyerahkan penghargaan kepada pengusaha beras binaan Pupuk Kujang. (Foto: pupuk-kujang.co.id)

Selain memasok produknya di wilayah Provinsi Banten, Jawa Barat dan sebagian Jawa Tengah, Pupuk Kujang juga memenuhi pasokan pupuk dalam negeri, dan mengekspor produknya ke berbagai negara, seperti Swiss, Bangladesh, Vietnam, Laos, Filipina, Korea Selatan, dan beberapa negara Afrika. Berkat penerapan SNI, produk Pupuk Kujang diterima baik di pasar global.

Perusahaan lainnya yang sudah menerapkan SNI adalah Petrokimia Gresik. Dikutip dari laman resminya, petrokimia-gresik.com, Direktur Utama Petrokimia Gresik, Dwi Satriyo Annurogo, mengatakan, Petrokimia Gresik telah menerapkan berbagai sistem manajemen berbasis SNI guna meningkatkan daya saing perusahaan. 

“SNI adalah harga mati di era persaingan global dan derasnya arus perubahan saat ini, terlebih di tengah wabah Covid-19,” ujar Dwi Satriyo. Dwi mengungkapkan, saat ini Petrokimia Gresik memiliki 31 pabrik dengan total kapasitas produksi 8,9 juta ton per tahun. Sekitar separuh kapasitasnya digunakan untuk memproduksi pupuk bersubsidi. Sedangkan selebihnya digunakan memproduksi pupuk komersial yang sebagian diekspor.

“Dengan penerapan SNI, operasional perusahaan menjadi lebih sehat dan efisien. Bahan baku yang digunakan selalu terjaga kualitasnya dan produk-produk yang dihasilkan pun mempunyai daya saing tinggi,” ujar Dwi Satriyo.

Perusahaan-perusahaan pupuk lainnya memberikan testimoni yang relatif sama mengenai manfaat SNI. Bagi petani, SNI Pupuk jelas menjamin kualitas pupuk untuk peningkatan hasil pertanian. Dan, bagi produsen, SNI pupuk adalah jaminan kualitas, sehingga meningkatkan daya saing produk pupuknya di pasar global. ***

572

KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR