Home Nasional Cerita ‘Mentimun Bungkuk’ Petani Sawit Swadaya, Tekor Rp100 Miliar Sehari

Cerita ‘Mentimun Bungkuk’ Petani Sawit Swadaya, Tekor Rp100 Miliar Sehari

Jakarta, Gatra.com - Sudah lebih dari empat generasi kelapa sawit ada di Indonesia. Kalau dibikin satu generasi itu 25 tahun, berarti sudah lebih dari 100 tahun tanaman asal Mauritius Afrika itu beranak pinak di seantoro Nusantara.

Semula, tanaman ini hanya dikelola oleh perusahaan. Seiring waktu, rakyat kemudian dilibatkan pemerintah menjadi petani plasma; petani --- umumnya warga transmigrasi yang dikasi dua hektar lahan kelapa sawit per kepala keluarga plus seperempat hektar pekarangan rumah --- yang dari awal dibina oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit.

Menengok aktifitas warga transmigrasi ini, perlahan masyarakat mulai ikut bertanam kelapa sawit. Ada yang modal sendiri --- swadaya murni --- ada pula yang bekerjasama dengan perusahaan melalui program Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA).

Tak ada yang menyangka kalau kemudian aktifitas perkebunan kelapa sawit ini menjelma menjadi industri raksasa. Dibilang raksasa lantaran tahun lalu saja, industri ini mampu menggelontorkan devisa ke kocek negara sekitar USD35,53 miliar.

Nah, lantaran sudah menjadi industri, pemerintah pun membikin aturan main tata niaganya. Yang terbaru, lahir pada 2 Januari empat tahun lalu. Namanya Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 1 tahun 2018 Tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Produksi Pekebun.

Meski sedari lahir sudah memicu kontroversi, petani swadaya belum terlalu merecoki isi aturan main yang diteken oleh Menteri Pertanian di masa Amran Sulaiman itu. Tapi delapan bulan belakangan, petani swadaya semakin sadar kalau aturan main itu justru membikin mereka kayak ‘mentimun bungkuk’; ada tapi tak dianggap.

Dibilang begitu lantaran aturan ini rupanya hanya berlaku bagi petani plasma. Buktinya, di masing-masing provinsi yang ada Tim Penetapan Harga Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa sawit, harga yang dihasilkan selalu dibilang; cuma berlaku untuk petani plasma.

Di lapangan, omongan itu memang betul. Harga penetapan hanya bisa dinikmati oleh petani plasma, atau petani yang sejak awal jadi binaan perusahaan. Lantas petani swadaya? Cuma bisa menikmati harga Rp500 di bawah harga penetapan.

Kenyataan inilah yang membikin para petani swadaya yang paham soal Permentan tadi, menjadi pitam. Mereka tersadar bahwa Permentan itu ternyata hanya untuk melindungi “anak-anak” korporasi yang notabene luas kebunnya hanya sekitar 7% dari total 6,8 juta hektar kebun kelapa sawit petani di Indonesia.

“Di daerah kami sangat kental perbedaan harga TBS Kelapa Sawit petani mitra dan swadaya. Bisa mencapai 30-50% di bawah harga penetapan yang dibikin setiap bulan. Nah, yang membikin kami bertanya-tanya itu, kalau se-Indonesia luas kebun petani bermitra hanya sekitar 7% dari total luas kebun petani, di daerah kami, luas kebun petani bermitra itu cuma 1-2%. Pertanyaannya, kok negara cuma mikirkan mereka, kami yang 98-99% ini dianggap apa?” Albert Yoku, salah seorang petani kelapa sawit di Papua ini mengaku ngenes.

“Apakah kebun sawit petani swadaya ini dianggap kebun liar yang tumbuh sendiri dan tak diurus makanya dibedakan dengan kebun petani bermitra? Kami ini mengeluarkan modal lho, perjuangan kami untuk membikin kebun kami seperti sekarang, sangat panjang,” tambahnya.

Yang membikin Yoku semakin miris, ada kesan kalau Kementan sudah berubah jadi juru bicara PKS lewat dalil-dalil Permentan 1 tahun 2018 itu. “Kalau PKS yang membedakan antara petani bermitra dengan petani swadaya itu urusan PKS lah,” suara Yoku benar-benar terdengar jengkel.

Memang kata lelaki 57 tahun ini, ada juga nya disuruh petani swadaya bermitra dengan Pabrik Kelapa Sawit (PKS). Tapi PKS tak mau. Dalilnya, tak ada kewajiban PKS untuk bermitra dengan petani swadaya.

Andi Kasruddin Rajamuda, petani kelapa sawit asal Sulawesi Barat ini malah mengaku sempat adu jotos di forum penetapan harga di daerahnya lantaran harga yang dihasilkan tim dibilang cuma berlaku untuk petani bermitra. "Emosi saya mendengar itu,” katanya.

Jengkel Andi makin naik ke ubun-ubun setelah di sejumlah media dia membaca, ada seorang profesor di Medan Sumatera Utara (Sumut) bilang kalau Permentan itu sudah sempurna, tak perlu direvisi.

“Mestinya guru besar itu benar-benar menengok dan memahami dinamika petani kelapa sawit 10 tahun belakangan. Saya menghormati guru besar ini. Tapi tidak dengan caranya ngotot bilang Permentan itu tak boleh dirubah. Cuma Kitab Suci yang tak boleh di revisi. Untuk itu, dia musti berbesar hati kalau Permentan karangannya itu harus di revisi,” tegasnya.

Cerita Akhmad Indradi, petani asal Kalimantan Timur tak kalah kecut. "Sebetulnya kami sudah muak dengan ketidakadilan selama ini, lantaran itu, saya minta jangan ada yang merasa paling benar," katanya.

Indradi kemudian mengajak semua pihak untuk mengamati situasi di lapangan. “Betapa kejamnya Permentan itu. Kami petani diwajibkan bermitra, tapi korporasi tidak wajib. Maka tak aneh kalau korporasi (PKS) selalu mengelak dan menolak bermitra dengan kami petani swadaya meski TBS petani saat ini sudah bagus-bagus lantaran sudah pakai bibit hybrid,” ujarnya.

Sudah bisa ditebak kata Indradi kenapa PKS menolak bermitra. Sebab kalau bermitra, untung PKS berkurang lantaran PKS sudah wajib membeli TBS petani dengan harga Disbun, katakanlah harga Disbun itu Rp1.950/kg. Tapi kalau tak bermitra, PKS cukup membeli dengan harga Rp1.200-1.600/kg.

“Lantas apa sanksi yang didapat PKS kalau tak mau bermitra? Jawabnya tak ada. Dampaknya bagi petani kalau tak bermitra? Banyaaak. Harga TBS sudah pasti dibeli dengan harga suka-suka. Potongan timbangan akan sangat tinggi, antara 10-30%. Maka patut saya bilang, ini sudah merampok dan sangat tidak manusiawi,” ujarnya.

Lagi-lagi lelaki ini menceritakan pengalamannya bermitra salah satu PKS perusaan nasional, sudah ISPO dan RSPO, tapi sampai sekarang PKS tersebut tidak mengakui kemitraan tersebut, harga yang kami terima tetap 25-35% dibawah harga Disbun. PKS dengan leluasanya mengangkangi hak konstitusi petani sawit swadaya, kata Indradi.

"Asal tahu saja, saya melihat hampir tidak ada PKS yang patuh dengan harga Disbun, tak terkecuali untuk petani bermitra. Jadi apa hebatnya Permentan ini?” alumnus Magister Agribisnis Universitas Gajah Mada mencibir.

Indradi tidak mempersoalkan apakah penguatan atau revisi atas permentan itu, yang dia butuhkan adalah, kedepanjangan lagi ada upaya membeda-bedakan petani bermitra dan tidak bermitra, “Itu lah roh permasalahannya,” ujar Indradi.

Bagi Amir Arifin Harahap, munculnya sinyal untuk merevisi Permentan tadi justru menjadi bukti keberhasilan Kementan. “Itu pertanda Kementan berhasil membangun SDM petani sawit,” kata Ketua Umum Forum Mahasiswa Sawit (FORMASI) Indonesia ini.

Kalau kemudian Kementan ngotot dan selalu memakai dalil seorang guru besar, “Maka kami Formasi Indonesia patut menduga bahwa antara Kementan dan guru besar itu ada apa-apanya dengan korporasi PKS,” tegasnya.

Kalau petani swadaya tetap “dirantai" dengan Permentan itu kata Amir, ratusan miliar rupiah petani swadaya merugi saban hari. "Sederhana saja menghitungnya. Kalau di Indonesia ada 1.118 PKS, selisih harga petani swadaya dan yang bermitra Rp500/kg, maka kerugian petani swadaya Rp100 miliar sehari. Untuk itu, mari kita buka mata dan telinga, jangan kaca mata kuda,” anak petani sawit ini meminta.

Besok pagi, Kementerian Pertanian bakal menggelar rapat dengan stakeholder dan organisasi sawit, baik petani maupun korporasi dan juga tenaga ahli. Rapat itu rencananya bakal digelar di Gedung C Direktorat Jenderal Perkebunan.

Adapun topik utama rapat itu adalah soal poin-poin yang akan direvisi demi memperkuat Permentan 01 tahun 2018 itu. Apakah hasilnya kelak akan berpihak pada petani swadaya? Kita tunggu hasilnya…


Abdul Aziz

566