Home Hukum Farhat Abbas Mengaku Dizalimi KPU dan Bawaslu karena Tidak Lolos ke Pemilu 2024

Farhat Abbas Mengaku Dizalimi KPU dan Bawaslu karena Tidak Lolos ke Pemilu 2024

Jakarta, Gatra.com – Sejumlah petinggi partai politik (parpol) gabungan dari 16 parpol yang tidak lolos sebagai calon peserta Pemilu 2024 menemui Ketua DPD RI, La Nyalla Mattalitti di DPD RI, Jakarta, Jumat (16/9), untuk mengadukan persoalan tersebut.

Ketua Umum (Ketum) Partai Pandai, Farhat Abbas; dan Ketua Partai Pemersatu Bangsa, Eggy Sudjana, menyampaikan, pertemuan dengan La Nyalla membahas soal putusan Bawaslu, di antaranya menggugurkan 9 dari 16 partai yang mendaftar sengketa pelanggaran KPU.

Adapun yang sempat Farhat dan Eggy tempuh soal ketidaklolosan partainya, antara lain melapor ke DKPP dan melakukan uji materi. Bahkan, sebagian dari parpol tersebut akan melaporkan persoalan itu kepada kepolisian.

Pada 114 Agustus lalu, kata Farhat, KPU hanya memberikan surat pernyataan bahwa pendaftaran parpolnya tidak diterima, bukan berita acara penolakan. Farhat pun berkonsultasi kepada Bawaslu dan kemudian sepakat bahwa KPU melakukan pelanggaran administrasi dengan tidak memberikan berita acara.

Setelah menerima surat pernyataan tidak diterima, Farhat merasa ada yang tidak sesuai dengan langkah KPU. Menurutnya, pihaknya diberi format pendaftaran, namun Bawaslu ternyata bukan memeriksa pelanggaran KPU.

Menurutnya, Bawaslu justru melindungi dan melegalkan pelanggaran yang dilakukan KPU dengan cara memulai memeriksa aduan dan menyatakan bahwa administrasi partainya tidak lengkap.

"Sepemahaman kita, terima dulu pendaftaran baru periksa adminstrasi. Nyatanya tanggal 15 kemarin dari 23 parpol hanya satu yang dinyatakan lengkap admistrasi. Sedangkan 23 partai masih diberikan kesempatan sampai 14 Oktober nanti,” ujarnya.

Farhat beserta partainya meminta kepada semua lembaga tinggi negara dan Mahkamah Konstitusi (MK) agar mendengarkan keluhan pihaknya maupun parpol yang dinyatakan tidak bisa menjadi kontestan dalam Pemilu 2924.

"Berharap keluhannya didengar oleh MK, agar 16 partai politik yang mendaftar dan tidak mendaftar di Sipol itu dapat menjadi peserta Pemilu 2024 atau mereka menyatakan, KPU tidak mampu melaksanakan pemilu dikarenakan hampir sebagian besar anggota kami terdaftar dengan nama partai," ujarnya.

Farhat menyayangkan sikap KPU yang awalnya menjanjikan berita acara atau memeriksa kelengkapan adminstrasi partainya dengan 24 partai lainnya. Ternyata, KPU dari awal mencegah 16 partai politik ini untuk menjadi peserta pemilu.

“Bagi kami, kan sebenarnya bisa dinyatakan sebagai peserta pemilu tidak masalah karena kita sudah memenuhi SK Menkumham dan 100 provinsi DPD sudah kita jalani 30-50 persen daripada DPD sudah," katanya.

Kalau memang ada kekurangan atau masalah KTA dengan Sipolnya itu, lanjt Farhat, masing-masing ada gangguan di daerah berbeda. Harusnya diloloskan saja karena tidak memengaruhi electoral nanti.

"Kan tujuan demokrasi bukan mempertahankan partai lama untuk menjadi peserta tetap, kemudian menghalangi partai baru untuk jadi pilihan atau favorit masyarakat saat ini,” ujarnya.

Farhat mengungkapkan bahwa membuat partai politik biayanya tidak murah dan caranya tidak mudah karena melibatkan sekelompok orang dan golongan yang bebas menyampaikan pendapat itu membutuhkan biaya.

“Membina kader itu tidak gampang, lebih gampang menjadi anggota KPU dibanding membuat parpol," ujarnya.

Pihaknya menilai bahwa KPU gampang menggugurkan partai ini. Menurut Farhat, ini merupakan satu hal sabotase demokrasi. Kondisi ini memengaruhi tolerir karena tidak memengaruhi PAC.

"Walau tidak ada PAC, tidak ada DPC, itu selama KPU yang mendapatkan anggaran APBN pemilu bisa,” jelasnya.

Selain masalah administrasi, Sipol dan lainnya, menurut Farhat, ini merupakan kezaliman Bawaslu dan KPU soal penentuan saksi yang harus hadir selama sidang.

“Karena proses persidangan di Bawaslu tidak memandang atau tidak melihat kepentingan2-kepentingan pertimbangan terjadi, misalnya Covid yang dianggap bencana nasional. Tidak ada. Kenapa? Kita minta saksi virtual enggak mau. Jadi harus datang. Jadi bahkan ada kayak Partai Reformasi karena mungkin dari kendala ada saksinya kena Covid atau tidak bisa mengajukan saksi,” katanya.

Farhat juga menyinggung betapa sulitnya mengungkapkan data penting berupa softcopy karena data tersebut penting baginya. “Nah, kekurangannya di KTA dan PAC. Datanya ada di flash disc. Ini yang tidak dibuka sama KPU. Karena apa? Kata Bawaslu, KPU melarang orang masuk pake HP. Jadi kita enggak boleh mendokumentasikan, termasuk KPU. Apa Bawaslu tidak boleh mengeluarkan surat atau handphone gitu? Alasan untuk rekaman atau sifatnya rahasia,” katanya.

“Bagaimana Bawaslu bisa melakukan, saya pikir Bawaslu sakit hati terhadap KPU. Karena itu, KPU seperti orang-orang biasa di karpet merahnya KPU," katanya.

Farhat menyampaikan, ternyata emang biasa banget. Artinya, dia tetap melakukan hal-hal yang membiasakan dia sebagai orang-orang biasa, padahal dengan anggaran Rp90 triliun, itu nggak boleh membawa HP, enggak boleh mendokumentasikan proses apabila terjadinya kecurangan-kecurangan itu hanya 15 menit,” katanya.

115