Home Hukum Chandra Hamzah: Negara Kita Dilihat Orang sebagai Negara Korup

Chandra Hamzah: Negara Kita Dilihat Orang sebagai Negara Korup

Jakarta, Gatra.com - Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Chandra Hamzah menilai situasi sosial, politik, dan hukum di Indonesia saat ini, masih banyak yang perlu dibenahi dari kondisi yang sedang terjadi.

Dia mencatat pada 2021, Indonesia meraih skor Corruption Perception Index (CPI) sebesar 38. Angka ini meningkat tipis dibandingkan pada 2020 lalu yang meraih skor 37. Skor ini menunjukkan bahwa Indonesia termasuk ke dalam negara ke-98 dari 180 negara yang memiliki tingkat korupsi tertinggi.

"Negara kita dilihat orang lain sebagai negara korup. Mungkin seperti Libya, seperti Zimbabwe, dan kita merasa tidak ada yang tahu. Yang salah siapa? Ya kita," ujar Chandra dalam diskusi yang digelar Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Senin (19/9).

Chandra juga menjelaskan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi efektivitas hukum adalah hukum itu sendiri. Di Indonesia, produk hukumnya berupa undang-undang.

"Kita punya hukum pidana, memberikan perlindungan kepada korban. Namun, hanya ada 4 kata korban dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Nggak ada perlindungan untuk korban. Jadi, kebutuhan untuk merivisi KUHAP sangat tinggi. Karena minim sekali perlindungan terhadap korban," katanya.

Chandra menyoroti adanya perbedaan penerapan hukuman antara undang-undang yang berlaku dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), salah satunya dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal 45 ayat (3) UU ITE menuliskan bahwa hukuman atas pencemaran nama baik dijatuhi hukuman 4 tahun penjara, sementara dalam KUHP yang menjadi rujukan, hukuman atas pencemaran nama baik hanya dijatuhi hukuman selama 9 bulan atau 1 tahun 4 bulan.

"Berarti 4 tahun itu dapat angka dari mana? Kenapa 4 tahun? Datang dari langit? Saya hampir yakin si pembuat undang-undang juga tidak tahu dapat angka dari mana. Kita harus mencermati bahwa ada mis-pengetahuan bagaimana cara atau berapa besar orang mesti dihukum," katanya.

Selain itu, masih terdapat inkonsistensi hukuman dalam undang-undang yang sama, salah satunya pada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). 

Pasal 5 UU Tipikor memberi hukuman paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000 dan paling banyak Rp 250.000.000, pada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji. 

Sementara, lanjut Chandara pada pasal 12 UU Tipikor, hukumannya adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000, dan paling banyak Rp 1.000.000.000, bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji. 

“Ini menunjukkan adanya perbedaan hukuman dan bisa menimbulkan kebingungan mana hukuman yang harus dijatuhkan,” ujarnya.

Chandra juga menjelaskan mengenai penegakkan hukum di Indonesia. Peran para penegak hukum seperti hakim, jaksa, serta polisi harus berjalan sesuai dengan fungsinya masing-masing. Namun, ia juga menekankan bahwa penegak hukum harus memiliki pengetahuan yang mendukung penegak hukum menjalankan fungsinya.

"Tugas pokok Polri salah satunya adalah memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Pertanyaannya adalah, apakah pendidikan Polri ada mata kuliah pelayanan masyarakat atau tidak? Ada pelajaran melindungi masyarakat atau tidak? Kurikulumnya tidak cocok dengan fungsi dan tugas pokoknya," ujarnya.

Bagi Chandra, situasi sosial, politik, dan hukum yang ada perlu segera dilakukan perubahan. Menurutnya, selain perubahan struktural, hal yang paling penting dilakukan adalah adanya perubahan dalam segi kultural.

192