Home Mikro UU Ciptakerja Dukung Pemberdayaan UMKM

UU Ciptakerja Dukung Pemberdayaan UMKM

Jakarta, Gatra.com- Sekretaris Satgas Percepatan Sosialisasi UU Cipta Kerja, Arief Budimanta mengatakan, kehadiran Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) bertujuan memberikan kemudahan, perlindungan serta pemberdayaan bagi pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).

"Jadi setidaknya ada tiga muatan itu di dalam undang-undang cipta kerja. Pertama aspek kemudahan, kedua aspek pemberdayaan, dan ketiga adalah aspek perlindungan," kata Arif dalam diskusi online yang digelar Forum Merdeka Barat bertajuk "UU Cipta Kerja Tumbuhkan Pengusaha Muda dan UMKM" pada Senin (26/9).

Terkait aspek pemberdayaan, Arief menjelaskan, aturan turunan UU Cipta Kerja mengatur alokasi 40 persen bagi usaha mikro kecil dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. Hal ini berlaku baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. 

"Kemudian, ada kewajiban atau fasilitas yang diberikan oleh negara, dalam hal ini pemerintah, untuk pelatihan dan pendampingan serta penyediaan sistem sederhana yang terkait. Misalnya soal laporan keuangan bagi pelaku UMKM," ungkapnya.

Sementara terkait aspek perlindungan, Arif menyampaikan bahwa hal terkait dengan insentif, UU Cipta Kerja mengatur pemberlakuan pajak yang berbeda terhadap UMKM dibandingkan dengan kelas usaha yang lebih besar. Bagi usaha yang omzetnya kurang dari Rp5 miliar, akan mendapatkan pajak final serta tarif uang sangat rendah.

Selain itu, pada aspek pemberdayaan, pelaku UMKM dimudahkan dengan program kredit usaha rakyat yang bunganya sangat rendah yakni sekitar 6% pada saat ini. Tahun depan, lanjutnya, alokasi untuk kredit usaha akan menjadi Rp480 triliun sehingga bisa dimanfaatkan oleh seluruh golongan pelaku UMKM.

Nomor Induk Berusaha Meningkat

Lebih lanjut, Arif menyampaikan hingga saat ini total Nomor Induk Berusaha (NIB) yang sudah diterbitkan mencapai 2.086.019. Jumlah ini dihitung per 25 September 2022. Dari total tersebut, terangnya, ada kurang lebih sekitar 868.555 atau 41,6% NIB merupakan usaha mikro kecil perseorangan dengan usia pelaku usaha rata-rata kurang dari 40 tahun.

"Jadi mereka pertama adalah di golongan usia yang produktif. Kemudian yang kedua boleh dikatakan pengusaha muda. Ini menunjukkan bahwa semangat kewirausahaan itu terus berkembang. Dan itu difasilitasi dengan adanya Undang Undang Cipta Kerja ini," bebernya.

Masalah Literasi Digital

Sementara itu, Kepala UKM Center FEB UI, Zahra K.N. Murad menyampaikan beberapa catatan dalam penerapannya. Pertama adalah memperkuat kemitraan di sisi hulu dan hilir. Sebab menurutnya,
potensi keberlanjutan kontrak dan sustainability baik perusahaan besar maupun UMK akan lebih besar.

Selain itu, Zahra juga meminta agar ada peningkatan kapasitas bagi pelaku usaha mikro kecil dan menengah. Menurutnya, sejauh ini masih banyak UMK yang kesulitan memenuhi persyaratan kemitraan di sisi hulu.

Lebih lanjut, Zahra menyampaikan salah satu hal yang perlu mendapat perhatian dari pemerintah adalah terkait literasi digital bagi pelaku UMK, terutama dalam penerapan sistem online single submision oleh pemerintah.

"Kalau kita lihat dari sisi karakteristik pemilik UMKM waktu itu mengenai digitalisasi, ini adalah faktor-faktor yang sebenarnya sedikit menjadi hambatan
bagi mereka untuk mengambil bentuk-bentuk pengaplikasian digitalisasi dalam usaha mereka," terangnya.

Hal ini juga yang menjadi kendala dalam pengurusan izin usaha menggunakan NIB. "Karena tentu saja untuk mengakses OSS tersebut, para UMKM itu perlu adanya pengakuan digital literasi yang cukup baik," imbuhnya.

Bagi mereka pelaku UMKM di bawah 40 tahun, menurut Zahra, OSS tidakenjadi kendala karena mereka lebih digital literate. "Tapi buat yang di atas 40 tahun atau pendidikan masih relatif rendah, ini menjadi suatu tantangan. Mungkin ini tantangan yang patut dijadikan perhatian pemerintah dan stakeholder lainnya," ujarnya.

Ketua Tim Kajian Bidang Keuangan dan Perbankan BPP HIPMI, Bhirawa Ananditya Wicaksana menyatakan ada tiga kelompok pengusaha yang tergabung di Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI). "Pertama dia yang sifatnya startup phase. Pengusaha muda. Jadi baru memulai usaha," jelasnya.

Sementara kategori kedua, lanjut Wicaksana, pengusaha growth phase. Dimana seorang pengusaha muda bergabung dengan HIPMI dalam rangka
meningkatkan pendapatan serta koneksi dan lain sebagainya.

"Kemudian, ada yang masuk ke growth phase. Jadi masuk ke HIPMI untuk meningkatkan pendapatan, serta untuk mengembangkan koneksi dan lain-lain. Ketiga adalah maturity phase," pungkasnya.

161