Home Nasional Kudeta 1965, Penculik Pulang Kesiangan, Kesaksian dari Lubang Buaya

Kudeta 1965, Penculik Pulang Kesiangan, Kesaksian dari Lubang Buaya

Jakarta, Gatra.com- Tidak banyak yang tahu apa yang terjadi di Lubang Buaya, Jakarta Selatan, 57 tahun yang lalu. Para pelaku yang mengalami tidak banyak bicara. Seperti Serma Boengkoes, anak buah Letkol Untung di Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa, yang enggan bercerita tentang subuh petaka itu. "Yang saya tahu jenderal masuk sumur," katanya kepada GATRA saat bebas dari LP Cipinang, 25 Maret 1999.

Mestinya Boengkoes tahu lebih banyak. Karena dia aktif dalam penculikan para jenderal. Sebagai Komandan Peleton Kompi C Batalyon Kawal Kehormatan Cakrabirawa dia bertugas menculik Mayjen Mas Tirtodarmo (MT) Haryono. Dan saat itu, Boengkoes dan kawan-kawan menembak mati MT Haryono.

Kesaksian yang hampir lengkap justru datang dari Tuba bin Abdurrahim, seorang anggota Pemuda Rakyat yang malam itu piket di Lubang Buaya. Dalam bukunya Mendaki Bukit Usia, Tuba memaparkan kesaksiannya pada Bab Operasi Subuh. Dia memaparkan bahwa pada subuh datang tiga truk di Lubang Buaya. Rupanya mereka adalah para penculik para jenderal. Hari hampir terang, jadi bisa dipastikan para penculik pulang kesiangan.

Pada pukul 07.00 pagi, dia melongok isi truk itu. Dia melihat para korban penculikan yang ditutup matanya. Ada juga yang sudah tewas. Ada juga yang masih bergerak-gerak kakinya. Saat itu, salah satu jenazah yang dia lihat adalah Letnan Jenderal Ahmad Yani. Jenazah Ahmad Yani ditutup tikar rombeng. Ada cipratan darah di wajah, yang mengundang lalat berdatangan. Jenderal Yani mengenakan piyama biru.

"Saya terkejut setelah melihat sosok tubuh yang tergeletak itu, karena perasaan pernah melihat di koran-koran yang saya baca. Setelah melihat bersama teman-teman, ternyata memang mayat tersebut adalah Letnan Jenderal Ahmad Yani," tulisnya.

Kemudian dia menyaksikan juga interogasi seorang jenderal. Jadi interogasi dipastikan sudah pagi hari. Sudah terang. Juga eksekusi di sumur tua. Jenderal itu ditembak dari jarak 20 cm. Juga penembakan terhadap Piere Tendean, pengawal pribadi Jenderal Abdul Haris Nasution.

1956