Home Nasional Penjabat Kepala Daerah Ditunjuk Langsung Presiden, Priyo: Tanda Demokrasi Tidak Baik-baik Saja

Penjabat Kepala Daerah Ditunjuk Langsung Presiden, Priyo: Tanda Demokrasi Tidak Baik-baik Saja

Jakarta, Gatra.com - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Periode 2009-2014, Priyo Budi Santoso mengatakan bahwa pemilihan penjabat pengganti gubernur/walikota/bupati dengan sistem penunjukkan langsung atau political appointee oleh presiden merupakan penggambaran situasi demokrasi yang tidak baik-baik saja.

"Kita berada pada suatu masa di mana terjadi masyarakat demokratis, tapi kali ini kita mengalami masa yang nyesek rasanya. Bagi sebagian kalangan penganut mahzab demokrasi, kita berpandangan bahwa demokrasi dalam posisi tidak baik-baik saja," ujarnya dalam acara yang digelar Pusat Data Bersatu (PDB) di Jakarta, Kamis (29/9).

Priyo menerangkan bahwa sebagai orang yang pernah aktif terlibat dalam perumusan undang-undang, situasi saat ini sebenarnya memang sah karena undang-undang sudah disahkan. Namun, ia mengatakan bahwa perlu ada pengawalan dalam penerapannya.

Pada 16 Oktober mendatang, masa jabatan Gubernur/Wakil Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan/Ahmad Riza Patria akan berakhir. Jabatan yang ditinggalkan Anies/Riza akan diisi oleh penjabat pengganti gubernur.

Jika pemilihan umum (pemilu) kepala daerah (kada) serentak dilakukan pada pertengahan November 2024 nanti, maka penjabat pengganti gubernur akan memanggul kewenangan sebagai gubernur selama 2 tahun lebih.

Ini harus menjadi catatan bagaimana penyelesaian kerja dilakukan, terutama karena masa jabatan ini merupakan masa jabatan terpanjang bagi pejabat pengganti kepala daerah (Kada).

Lebih lanjut, Priyo menjabarkan bahwa pada tahun ini, akan ada 101 kada yang selesai periode jabatannya dan akan ditunjuk penjabat pengganti lewat political appointee. Pada 2023, jumlahnya lebih banyak yaitu sejumlah 170 kada.

"Total mulai hari ini sampai pemilukada serentak di November 2024, Pemerintah Pusat berwenang untuk menunjuk 24 gubernur di Indonesia, alias 70,1% dari total. Sementara untuk bupati atau walikota, jumlahnya 247 dari 514, atau sebesar 48%," jelasnya.

Padahal, selama ini proses pemilihan gubernur secara langsung dilihat Priyo sebagai proses yang sulit. Ada biaya, waktu, dan tenaga yang tidak sedikit yang dikeluarkan dalam masa kampanye. Maka, Priyo menilai bahwa penjabat kada seharusnya memili kewenangan terbatas.

"Berwenang tapi ada rem. Beda dengan kalau terpilih lewat pemilukada," ucapnya.

Hal ini berkaitan dengan ucapan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, yang menyampaikan bahwa penjabat gubernur punya wewenang besar untuk memecat atau menggeser Aparatur Sipil Negara (ASN) sesuai kehendaknya.

Priyo mengingatkan bahwa bila penjabat memiliki kewenangan yang sama, maka rasanya tidak adil karena proses pemilihannya pun berbeda.

"Jika ini terjadi, ini akan menjadi pintu masuk berbagai kesimpangsiuran atau ketidakpuasan. Saya menyampaikan warning, apakah benar pusat memberi kewenangan sebesar itu kepada penjabat pengganti kada di seluruh Indonesia?" katanya.

Atas dasar itu, Priyo menilai bahwa penjabat kada harus punya jam terbang birokrasi cukup tinggi. Sosoknya harus merupakan figur birokrat murni atau tidak ada nuansa politik dan harus netral.

"Saya mewanti-wanti betul agar penjabat pengganti tidak punya hidden agenda. Begitu tampak, maka akan hancur," tambahnya.

Selain itu, Priyo juga menekankan bahwa penjabat pengganti harus memahami situasi ekonomi. Koordinasi dengan pemerintah pusat harus dilakukan agar situasi krisis tidak terjadi. Dari berbagai kondisi geo-politik, harus mengikuti situasi global sehingga bisa mengatasi permasalahan yang ada.

129