Home Olahraga Tragedi Kanjuruhan dan Algoritma Semesta

Tragedi Kanjuruhan dan Algoritma Semesta

Oleh: Bachtiar Djanan *)

Sontak perhatian dunia berpaling pada sebuah klub Sepak Bola Indonesia, Arema FC dan Stadion Kanjuruhan di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Satu Oktober 2022, tragedi kerusuhan di Stadion Kanjuruhan terjadi saat berakhirnya laga Arema FC vs Persebaya, yang menelan korban nyawa 131 orang, dan ratusan lainnya terluka. Aremania berduka. Dunia sepak bola terluka. Panjatan doa mengalir deras dari seluruh penjuru dunia. 

Tragedi kelam di Malang memakan korban nyawa terbanyak kedua di dalam sejarah sepak bola dunia, setelah kejadian serupa di Stadion Estadio Nacional, Lima, Peru, yang menewaskan 328 orang, pada tahun 1964.

Ucapan duka cita dan keprihatinan berdatangan dari berbagai klub, federasi, maupun pegiat bola dari segala penjuru dunia. Termasuk dari Presiden FIFA Gianni Infantino, Presiden AFC (Konfederasi Sepak Bola Asia) Shaikh Salman bin Ebrahim Al Khalifa, Pelatih Manchester City Pep Guardiola, Manajer Manchester United Erik Ten Hag, dan lain-lain. Bahkan Paus Fransiskus juga mengucap bela sungkawa dan mendoakan para korban dari Basilika Santo Petrus, Vatikan, Roma.

Presiden RI Joko Widodo memerintahkan Kapolri mengusut tuntas kejadian ini. Pesiden juga menginstruksikan Ketua Umum PSSI dan Menpora untuk menghentikan Liga 1 sampai selesainya evaluasi menyeluruh tentang pelaksanaan pertandingan sepak bola dan prosedur pengamanan penyelenggaraannya. Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) yang diketuai Menkopolhukam dibentuk untuk mengusut tragedi di Stadion Kanjuruhan ini.

Peristiwa ini menorehkan duka mendalam bagi ratusan warga Malang dan sekitarnya, yang kehilangan anak, ayah, ibu, kakak, adik, saudara, kawan dan sahabatnya. Tahlil, shalat ghoib, dan doa-doa dipanjatkan oleh warga kota dan kabupaten Malang, mengiringi isak tangis mereka yang ditinggal pergi oleh orang-orang terkasih.

Akar Aremania

Aremania adalah sebuah fenomena sosio kultural yang memiliki catatan sejarah panjang. Aremania lahir dari didirikannya klub sepak bola Arema, 11 Agustus 1987, setahun kemudian berdirilah Arema Fans Club yang dimotori oleh Ir. Lucky Acub Zaenal, anak mantan Gubernur Papua periode 1973-1975, Brigjen TNI (Purn.) Acub Zainal. Keduanya merupakan pendiri klub Arema berlogo singa ini.

Arema merupakan akronim dari Arek Malang. Secara kebetulan berabad-abad silam telah tercatat nama "Kebo Arema" dalam Kidung Harsawijaya dan Kidung Panji Wijayakrama. Kebo Arema adalah nama patih dari Raja Kertanegara yang memerintah di Kerajaan Singosari pada tahun 1268-1292. Nama Kebo Arema terukir di prasasti Sarwadharma (1269) serta Piagam Kampilan (1269).

Nama Arema sendiri pada tahun 70-an sudah digunakan oleh para diaspora perantauan asal Malang di Jakarta, yang semula merupakan singkatan dari "Arek Rantau aslinE Malang". Tahun 80-an Arema juga dipakai sebagai nama sasana tinju di Malang dan nama grup musik Arema Band 85.

Singa yang menjadi logo Arema juga "secara kebetulan" identik dengan kerajaan Singhasari atau Singosari. Singhasari sebenarnya adalah nama ibukota kerajaan Tumapel, namun di kemudian hari justru nama Singhasari sebagai nama kerajaan lebih dikenal luas. Selain itu, lambang singa juga pernah menjadi lambang kota Malang di era kolonial, yang resmi dipergunakan dari tahun 1937 sampai 1951.

Uniknya, sebetulnya hewan singa itu tidak pernah hidup di nusantara. Mereka adalah satwa yang memiliki habitat asli di Afrika dan gurun-gurun di Timur Tengah. Namun entah kenapa semenjak dulu singa seringkali menjadi simbol di negeri ini, khususnya di Malang.

Sementara bagi Klub Arema sendiri, semula mereka menggunakan logo singa karena klub ini didirikan pada bulan Agustus, dalam naungan rasi bintang Leo yang berlambang singa.

Klub sepak bola Arema dan Arema Fans Club lahir di saat maraknya persaingan antar kelompok gank di kota Malang era tahun 80-90-an. Saat itu tumbuh berbagai gank di kota Malang, antara lain Arek Polehan, Arek Sama'an, Gas (Gabungan Anak Setan), RAC (Remaja Anti Cina), Anchor, Arek Kasin, dll. Tawuran antar kampung, antar gank, menjadi hal lumrah pada masa itu.

Gerakan Kultural

Klub Arema menjadi pemersatu antar kelompok gank yang hobi "adu power" dan adu otot ini. Pertandingan Arema menjadi katalis antar kelompok, untuk bertemu di stadion mendukung klub yang sama. Namun walaupun sesama pendukung Arema, perseteruan antar gank ini tidak jarang masih tetap dibawa ke arena laga klub kesayangan mereka.

Hari pertandingan sepak bola Arema FC berlaga di Stadion Gajayana, kerap kali mengubah suasana kota Malang menjadi mencekam. Ketika Arema menang tak jarang kericuhan terjadi. Apalagi ketika Arema kalah. Bagi warga kota Malang saat itu, laga pertandingan Arema sangat dinanti (oleh penggila bola), sekaligus tidak diharapkan (oleh mereka yang tidak suka sepak bola).

Tapi seiring dengan prestasi klub Arema FC yang kian membaik, hal ini menjadi magnet kuat. Lambat laun energi anak-anak muda kota Malang mulai terfokus membela klub yang berlaga di lapangan rumput dengan segala keterbatasan yang ada (terutama dalam hal pendanaan klub). Tawuran antar gank mulai luntur dan makin jarang terdengar di kota ini.

Secara kultural, transformasi energi dari perseteruan antar gank menjadi gelombang fanatisme membela klub tercinta ini tak lepas dari peran para tokoh seperti Ovan Tobing, Lucky Acub Zaenal, Iwan Kurniawan, Iwan Budianto, Eko Subekti, Leo Kailolo, dll, yang tak kenal lelah mendorong bersatunya suporter Malang. Simbol klub Arema melebur menjadi simbol suporter juga.

Kota Malang terbebas dari pertarungan antar gank. Gank yang berseteru telah melepas baju, dan mengenakan kostum yang sama, kaos biru berlogo singo edan. Arema Fans Club yang di kemudian hari bertransformasi menjadi Aremania makin dikenal sebagai suporter fanatik. Tetap ada atmosfer mencekam di setiap pertandingan Arema, namun keangkeran lebih ditujukan pada klub lawan Arema. Tidak lagi bagi sesama warga kota Malang.

Edukasi Suporter

Bertanding di Malang seringkali membuat ciut nyali lawan-lawan Arema. Jika menang dalam pertandingan, mereka harus siap dengan teror para suporter, mulai lemparan batu, lemparan botol plastik berisi air kencing, dan lain-lain, minimal mendapatkan hadiah berupa cacian dan sumpah serapah dari suporter.

Pengrusakan, lemparan, amukan, cacian, makian, sudah menjadi resiko yang hampir pasti terjadi jika Arema kalah. Ini yang menjadi PR besar bagi tokoh-tokoh penggerak Arema untuk membangun iklim sepak bola dan suporter yang sehat di kota Malang.

Di permukaan, Ovan Tobing, tokoh Arema yang berlatar belakang penyiar Radio Senaputra banyak mengambil peran dalam mengedukasi Aremania. Dalam setiap event pertandingan Arema, Ovan Tobing biasanya mengawali dengan orasi menggelegar. Dengan suara berat dan garang, serta kemampuannya mengendalikan psikologis massa, Ovan Tobing membakar suporter untuk menyemangati Arema, sambil "menginjeksikan" muatan-muatan bagaimana Aremania menjadi suporter yang baik.

Ovan Tobing menjadi "imam" bagi suporter Arema untuk kompak meneriakkan yel-yel, bertepuk tangan dengan irama tertentu, membuat "gelombang penonton", secara bargantian dan berurutan seluruh penonton di stadion berdiri dan duduk lagi di tempatnya sesuai aba-abanya. Ia mampu menghipnotis massa agar tertib, tidak melakukan aksi lempar-lempar apapun ke lapangan, sampai-sampai jika ada yang melempar akan ditegur sendiri oleh sesama suporter yang lain.

Penyiar radio yang kerap menjadi MC untuk berbagai pagelaran musik rock ini juga tak kenal lelah mengedukasi suporter agar menyadari bahwa membeli tiket untuk menonton pertadingan akan sangat membantu klub.

Namun yang paling fenomenal adalah jika Arema kalah, saat pertandingan berakhir Ovan Tobing akan segera mengambil mic dan berorasi untuk "mendinginkan" suporter, agar tidak melakukan aksi-aksi pengrusakan dan menjaga ketertiban. Dan ini terbukti cukup berhasil…!

Tema besar pesan Ovan Tobing adalah tentang suporter itu bisa disebut sukses apabila: senang jika timnya menang, besar hati kalau timnya kalah tapi para pemain telah bertarung mati-matian, dan selesai pertandingan tidak ada keributan, dan tidak terdengar berita Arema dihukum denda sekian juta rupiah oleh Komdis PSSI.

Musik dan Suporter

Tokoh lain yang mewarnai dinamika atmosfer kultural Aremania adalah Wahyoe GV (Gank Voice) atau juga dikenal sebagai Wahyoe Arema Voice. Gank Voice adalah nama band yang didirikannya semasa bersekolah di SMAN 3 Malang yang tenar di Malang pada era akhir 80-an. Sementara Arema Voice adalah band yang diinsiasi Wahyoe dengan project rekaman untuk mendukung Arema.

Arema Voice merilis album pertama berjudul "Singa Bola" pada Januari 1989, yang didukung musisi-musisi terkemuka asal Malang, seperti Toto Tewel, Yuni Shara, Shadana Devi, Noldi, Anto Baret, dll. Nampaknya inilah band pertama di negeri ini yang menjadi pendukung klub dan suporter bola. Album yang di-recording dan didistribusikan secara indie (mandiri) ini terjual 10 ribu kaset dalam tempo 5 bulan saja.

Lagu-lagu di album ini segera menjadi "anthem" atau lagu kebangsaan bagi Aremania, khususnya Singa Bola dan Tegar. Lagu Singa Bola dengan irama musik rock bertempo cepat kerap menjadi lagu pembuka dalam laga Arema untuk membakar semangat, sedangkan lagu Tegar dengan irama slow melankonlis diputar sebagai lagu "penenang massa", di saat Arema menderita kekalahan dalam pertandingan.

Arema Voice produktif melahirkan album-albumnya: Kami Tetap Ada (2000, terjual 10 ribu kaset), Tiga Plus (2005, terjual 10 ribu kaset), Salam Satu Jiwa (2006, VCD, terjual lebih dari 20 ribu copy), Spirit Of Arema (2008, VCD, terjual lebih dari 15 ribu copy), Masih Ada Terang (2009), dan Cahaya Kehidupan (2011).

Selain Arema Voice, selanjutnya lahir band-band lain pendukung Arema, seperti D'Kross yang diinisiasi oleh Ade Herawanto pada tahun 2007, dan telah melahirkan setidaknya 6 album rekaman: Bhumi Arema, Indonesia Damai, d’Krossari, Sholawat d'Kross, Hitam Putih, dan Kembali Berpesta. Lagu-lagu D'Kross banyak mewarnai atmosfer suporter Arema, seperti lagu Bhumi Arema, Cambuk Malaikat, Malang ke Bulan, Singo Edan, Satu Jiwa, dll.

Ada lagi band Can A Rock, yang mengangkat lagu-lagu bertema suporter. Band yang berdiri sejak tahun 1992 ini mengusung genre rock progresif, dan telah menelorkan 4 album, dimotori oleh Hadias, sang vokalis dan pencipta mayoritas lagu-lagu mereka. Beberapa lagu yang cukup populer di telinga para suporter Arema antara lain Api Arema, Mars Aremania, Ada Untuk Arema, dan Singo Edan.

Di samping itu, masih ada beberapa band dan musisi yang turut menyumbang spirit untuk Aremania melalui lagu-lagu dengan genre musiknya masing-masing, seperti Djanoer, The Klokid, Farel Haidir, Rainbow in Sunset, Shodiq OM Monata, Yoyo' Daker, DJ Kaltara, Mazel Band, Arema Venta, Terraces88 Band, dan A.P.A Rapper Of Aremania.

Sepak bola, musik, dan suporter, menjadi sebuah ekosistem yang membangun atmosfer spirit menggelorakan semangat dalam meraih kemenangan, dan menyatukan energi antar pemain bola, antar komunitas suporter, dan antar keduanya.

Satu Komando

Lain di dapur rekaman dan di lapangan. Dalam laga di lapangan rumput, sejak tahun 90-an suporter Arema dikenal selalu atraktif dan kreatif. Dalam pertandingan-pertandingannya, khususnya di kandang sendiri, Stadion Gajayana, yang merupakan stadion tertua di negeri ini, sepanjang pertandingan Aremania tak kenal lelah terus memompa semangat para pemain Arema yang berlaga di lapangan, dengan yel-yel, lagu, tepuk tangan, dan gerakan.

Kekompakan atraksi suporter ini tak lepas dari peran "sang konduktor". Ibaratnya orkestra, dirigen memandu suporter dalam mengekspresikan dukungannya melalui nyanyian dan gerakan. Itulah peran yang diambil seorang Yuli Sumpil, yang memiliki nama asli Yuli Sugianto. Selain Yuli Sumpil, tugas ini diemban pula oleh Yosep El Kepet, Sam Tuwek, dan didukung oleh almarhum Pak No Bass Drum (Soekarno, penabuh bass drum Aremania).

Dirigen memimpin lagu, yel, nyanyian, dan tarian suporter dari tribun. Ribuan suporter "patuh" pada komando sang dirigen. Bakat alam yang muncul karena kecintaannya pada Arema inilah yang mengantarkan Yuli Sumpil membintangi film besutan Andi Bachtiar Yusuf berjudul The Conductors (2007). Melalui film ini, kerennya Aremania makin dikenal luas, bukan hanya di kalangan pencinta sepak bola.

The Conductors adalah film dokumenter yang mengangkat sisi lain dari Addie MS (dirigen Twilite Orchestra), AG Sudibyo (dirigen Paduan Suara Mahasiswa UI), dan Yuli Sumpil (dirigen Aremania). Film ini sukses meraih Piala Citra untuk film dokumenter terbaik dalam Festival Film Indonesia 2008, ikut dalam ajang kompetisi Pusan Film Festival 2008 di Korea Selatan, Jakarta International Film Festival 2007, Festival Film Dokumenter Yogyakarta 2008, dan sempat pula diputar dalam Doc Aviv di Tel Aviv Israel pada tahun 2009.

Yuli Sumpil memang fenomenal. Pada tahun 2018 ia sempat dihukum oleh Komdis PSSI karena memprovokasi pemain Persebaya di lapangan saat laga Arema vs Persebaya. Ia mendapatkan sanksi dilarang masuk stadion seumur hidup.

Dengan sportif Yuli menerima dan tak pernah melakukan banding terhadap sanksi yang diberikan, bahkan ketika manajemen Arema FC berniat untuk memfasilitasinya banding. Untunglah setahun kemudian sanksi itu dicabut oleh PSSI, dan Yuli pun kembali "nribun" untuk memimpin koreografi gerak dan lagu Aremania di lapangan.

Darah Biru

Kehidupan suporter Arema menjadi inspirasi menarik bagi banyak orang. Tahun 2014 dirilis film pendek "Darah Biru Arema" yang mengangkat kisah tentang seorang anak kecil yang mencintai klub Arema kebanggaan kotanya dan bercita-cita menjadi pemain bola. Film ini diproduksi oleh manajemen Arema, Kelas Film, dan SMK Muhammadiah 5 Kepanjen, dengan sutradara Taufan Agustiyan.

Film ini semula diproduksi sebagai hadiah ulang tahun ke-27 Klub Sepak Bola Arema. Tak disangka, tema lokal yang diangkat sang sutradara muda ini mendapat sambutan baik, tak hanya dari Aremania, tetapi juga masyarakat Indonesia. Terbukti film ini sudah diputar berkali-kali di beberapa daerah di Indonesia.

Kemudian pada tahun 2018 dirilislah sekuel dari film Darah Biru Arema yang bertajuk "Darah Biru Arema 2: Satu Jiwa Untuk Indonesia". Taufan Agustyan kembali menjadi sutradara merangkap penulis skenario cerita dengan bantuan Mahesa Desaga.

Film ini diproduksi oleh Paradise Pictures berkolaborasi dengan Equator Cinema, Kamera Malang, Tagarap Digital Creator serta Profil Image Studio. Film berdurasi 110 menit ini tayang di bioskop-bioskop nasional pada akhir November 2020.

One Incredible Blue

Seputar dunia Aremania tak pernah kehabisan kreativitas. Tahun 2014 Aremania membuat bendera raksasa berjudul One Incredible Blue bertuliskan "Arema Sindo Edan, Salam Satu Jiwa", berukuran 15 ribu meter persegi, yang merupakan bendera terbesar yang dimiliki suporter klub sepak bola, mengalahkan fans FC Barcelona yang memiliki bendera berukuran 13.545,75 meter persegi.

One Incredible Blue selesai dikerjakan oleh Aremania pada tahun 2014 dan dikibarkan pertama kali saat Arema berlaga melawan Persib Bandung pada Indonesia Super League, 25 Mei 2014. Setahun kemudian, saat mendapat kesempatan menjadi arena pembukaan Piala Jenderal Sudirman, Aremania langsung menyiapkan atraksi utama, yakni pengibaran One Incredible Blue.

One Incredible Blue dikibarkan kembali di Stadion Kanjuruhan pada pembukaan Piala Jenderal Sudirman pada 10 November 2015. Untuk mengibarkan bendera seberat 1 ton lebih ini, Aremania membutuhkan tenaga sekitar 600 orang. Bila dibentangkan di Kanjuruhan, bendera itu akan menutupi 90 persen tribun stadion.

Kreativitas Tanpa Batas

Seperti apapun kondisi dan prestasi klub Arema, tidak mempengaruhi kecintaan para pendukungnya. Berbagai kreativitas selalu lahir di tangan-tangan dingin para pendukung fanatik klub berlogo kepala singa ini. Mulai desain-desain kreatif untuk berbagai aksesoris merchandise Aremania, mulai kaos, syal, topi, emblem, boneka, bantal, stiker, dan berbagai pernak-pernik lainnya.

Penyediaan merchandise Aremania menjadi sebuah ekosistem bisnis tesendiri. Mulai jasa desain, penyediaan bahan baku, penjahit, tukang sablon, toko merchandise, dan lain-lain. Bisnis merchandise Arema menjadi mata rantai panjang yang menghidupi banyak orang. Saat ini di Malang tercatat belasan toko yang menjual merchandise khusus Arema, tentunya dengan desain-desain yang unik dan kreatif

Berbagai literasi kreatif tentang Arema juga telah terbit, buah pikir para pencinta Arema. Arema 3 Tahun Juara karya Husnun Djuraid (Penerbit UMM Perss Malang, 2007), Arema Never Die karya Abdul Muntholib (Penerbit UMM Press Malang, 2009), Bangga Menjadi Arek Malang karya Malang Post Forum dan D'Kross Community (Penerbit Bayumedia Publishing, 2014), Buka-Bukaan Arema karya Sudarmaji - Media Official Arema (penerbit UMM Perss Malang, 2016), sampai buku Ensiklopedia Arema dan Aremania yang ditulis oleh Tri Septa Agung Pamungkas pada tahun 2020

Pernah pada tahun 2008 Aremania pernah mendapat sanksi dari PSSI, karena dalam laga Arema vs Persiwa Wamena, Aremania merusak dan membakar berbagai fasilitas di stadion Brawijaya Kediri, yang disebabkan ketidakpuasan mereka terhadap kepemimpinan wasit. Akibatnya Aremania dihukum pelarangan tidak boleh mengenakan atribut Arema saat mendukung timnya selama 2 tahun. Hukuman ini diterima dan dipatuhi oleh Aremania.

Namun bukan Aremania jika tidak kreatif. Contohnya, dalam menjalani masa hukuman itu, saat Arema berlaga melawan Sriwijaya FC di Stadion Gelora Delta Sidoarjo, ribuan Aremania tetap datang ke stadion, tapi dengan mengenakan baju koko, busana muslim, pakaian adat, batik, bahkan ada yang hanya mengenakan sehelai handuk dengan membawa gayung, seolah-olah akan berangkat mandi ke sungai, padahal mereka tengah mendukung tim kesayangannya berlaga, dan mereka tidak menggunakan identitas "Aremania" melainkan melabeli dirinya sebagai “wong Malang”.

Guru Para Suporter

Masa-masa Aremania menjalani hukuman menimbulkan banyak kesadaran untuk berbenah diri dan mulai mengubah imejnya, dari fanatisme barbar Aremania ke ranah suporter kreatif. Jadi tidak hanya damai, sportif, loyal, tapi juga kreatif dan atraktif. Aremania terus membuktikan eksistensinya dalam membangun warna suporter sepak bola nasional.

Pada Indonesian Super League 2010, tak kurang dari 40 ribu Aremania dari seluruh Indonesia berbondong-bondong berangkat ke Jakarta untuk mendukung laga Arema vs Persija, yang kemudian membawa Arema juara pada Indonesian Super League 2010.

Ini menjadi tour away terbesar di Asia dan tersukses sepanjang sejarah persepakbolaan Indonesia. Pada tahun 2010 ini data dari Forum Sepakbola Asia mencatat, Arema meraih rata-rata penonton terbanyak antar klub di ASEAN dan berada di peringkat tujuh di Asia.

Sebelumnya Aremania pernah mendapat predikat sebagai suporter terbaik pada kompetisi Divisi Utama Liga Indonesia tahun 2000, kemudian Aremania menjadi salah satu pelopor kelompok suporter sepak bola nasional dan dikukuhkan dengan anugerah suporter terbaik oleh Menpora dan suporter terbaik Copa Indonesia 2006. Kemudian pada tahun 2016 Arema menjadi suporter terbaik pada turnamen bergengsi Piala Jenderal Sudirman 2016.

Maka tak heran jika kemudian suporter dari berbagai klub di Indonesia berguru pada Aremania. Baik berguru langsung dengan datang ke Malang atau mengundang Aremania untuk berbagi pengalaman, maupun dengan mengambil inspirasi dari bebagai kreativitas Aremania yang kemudian dimodifikasi sesuai warna dan identitas klub masing-masing.

Walaupun tak butuh pengakuan, tapi nampak bahwa beraneka kreasi yel-yel, nyanyian, gerakan, atribut, merchandise, yang hari ini menjadi produk kreatif dari suporter-suporter berbagai klub di Indonesia, sedikit banyak terdapat warna inspirasi dari Aremania di situ. Dan hal ini memang diakui oleh para suporter dari berbagai daerah, bahwa Aremania memang "gurunya suporter sepak bola Indonesia".

Pentas Suporter

Jika biasanya sepak bola seolah hanya dunia milik laki-laki, namun tidak demikian di kota Malang. Dengan bertransformasinya Aremania ke level suporter kreatif dan atraktif, di Malang laga sepak bola tak lagi angker, tapi sudah menjadi "hiburan" bagi semua kalangan. Cewek-cewek pun merasa "safe" hadir di stadion menyaksikan tim kesayangannya berlaga, sampai-sampai mereka punya sebutan sendiri sebagai "Aremanita".

Para suami pun biasa mengajak istri dan anak-anaknya untuk ikut melarutkan diri dalam koreografi kreatif lautan suporter yang tak henti-hentinya bernyanyi, bertepuk tangan, meneriakkan yel-yel, dan menari, sepanjang pertandingan.

Para suporter datang dari berbagai daerah, bukan hanya dari Malang dan sekitarnya saja. Bahkan tidak sedikit yang harus menempuh jarak hingga ratusan kilometer untuk bisa menyaksikan langsung laga Arema. Pertandingan Arema selalu menjanjikan dua sajian pertunjukan menarik: permainan sepak bola dan atraksi suporter.

Laga Arema menjadi sebuah kerinduan para pencinta sepak bola maupun bagi para penggemar "pertunjukan suporter". Banyak di antara mereka yang sebetulnya tidak paham tentang liga yang dimainkan, bahkan bisa jadi tidak paham sama sekali tentang dunia sepak bola. Namun Aremania dan Aremanita hadir di stadion untuk menikmati atmosfer, menyaksikan, sekaligus memainkan "pentas" yang mereka mainkan sendiri.

"Mbois". Itulah kata yang paling tepat untuk bisa mengekspresikan atmosfer yang terjadi dalam setiap pertandingan Arema. Kata "Mbois" ini sulit untuk di-translate ke bahasa Indonesia. Mungkin bisa dimaknai sebagai perpaduan antara: lebih dari keren, lebih dari asyik, membanggakan, dan membahagiakan. Dan ini bukan semata tentang permainan sepak bolanya.

Duka di Kanjuruhan

Beberapa tahun belakangan pertandingan Arema selalu membahagiakan para suporter. Aremania datang dengan bahagia, menyaksikan pertandingan dengan bahagia, dan pulang juga dengan bahagia. Menang atau kalah tetap bahagia. Kalaupun kalah, pasti ada kecewa, tapi rasa bahagia tetap membekas dan dibawa pulang.

Para suporter tetap bahagia karena paling tidak mereka sudah membuktikan cintanya pada klub kebanggaannya dengan hadir mendukung timnya berlaga, dan bahagia karena sepanjang pertandingan mereka bisa meluapkan ekspresinya melalui tepuk tangan, yel-yel, lagu, dan gerak kreatif.

Maka bagi Aremania tentu menjadi sebuah pertanyaan besar, bagaimana mungkin tragedi di Stadion Kanjuruhan 1 Oktober 2022 bisa terjadi...?

Bagaimana mungkin Aremania membuat kerusuhan, apa lagi dengan tidak ada suporter lawan yang hadir di stadion...?

Terlepas dari proses investigasi yang tengah intensif dilakukan terhadap insiden itu, musibah yang merengut 130 nyawa ini seharusnya tidak terjadi, jika "nafas" Aremania ini dipahami dan dihayati oleh semua pihak. Karena energi Aremania saat ini adalah energi atraktif, kreatif, dan mbois. Aremania bukan perusuh. Mereka telah melewati masa-masa seperti itu belasan tahun silam.

Tapi kenyataannya tragedi Kanjuruhan terjadi. Malaikat maut telah mencabut nyawa seorang anak berusia 3 tahun, 70 remaja berusia belasan tahun, 47 pemuda berusia 20-an tahun, 8 orang berusia 30-an, dan 4 orang berusia 40-an. Ada 89 orang laki-laki dan 41 orang perempuan meregang nyawa, serta ratusan lainnya terluka, karena keracunan gas air mata, kehabisan oksigen, dan terinjak-injak oleh sesama suporter yang panik.

Korban meninggal dunia terbanyak berasal dari Kabupaten Malang sebanyak 70 orang, sedangkan dari kota Malang ada 29 orang. Selebihnya korban meninggal dunia berasal dari Batu, Jombang, Blitar, Tulungagung, Trenggalek, Pasuruan, Probolinggo, Jember, Gresik, dan Magetan (Magetan berjarak 285 km dari Kota Malang).

Ada orang tua yang kehilangan anaknya, ada anak yang kehilangan ibunya, ada anak yang kehilangan bapaknya, ada anak yang kehilangan ibu dan bapaknya sekaligus, ada istri yang kehilangan suami dan anaknya sekaligus, ada suami yang kehilangan istri dan dua anaknya sekaligus, dan banyak orang yang kehilangan teman, sahabat, kerabat, maupun saudaranya. Sangat memilukan.

Jika Saja...

Saya berandai-andai, jika saja para suporter tidak turun ke lapangan selepas pertandingan, tentu musibah ini tidak terjadi. Jika saja petugas keamanan tidak menendang dan memukuli suporter, serta jika saja para suporter tidak terbakar emosi, tentu insiden ini tidak terjadi. Jika saja polisi tidak menembakkan gas air mata ke tribun penonton, dan jika saja panitia pertandingan tidak membiarkan pintu terkunci, tentu tragedi ini tidak terjadi.

Saya membayangkan, seperti di masa lalu pada saat suporter mulai panas ketika tim kesayangannya kalah, ada seorang Ovan Tobing yang menyambar microphone untuk berorasi dengan suara menggelegar untuk menenangkan massa.

Atau saya bayangkan ada seorang Wahyoe Arema Voice yang memetik gitarnya sambil menyanyi dan mengajak segenap penonton bernyanyi bersama melantunkan lagu "Tegar", untuk sejenak menarik nafas panjang dan mengambil hikmah dari kekalahan.

Dalam hidup ini selalu ada kegagalan
Perjuangan adalah sejuta tantangan
Lapang dada, jiwa besar
Menerima kenyataan yang ada

Kekalahan adalah jalan menuju kemenangan
Tiada kata putus asa terlintas di dalam jiwa
Tetap tegar dan percaya
Di dalam dada semangat membara

Kami Arema, terus berjuang sepanjang masa
Kami Arema, tak peduli segala rintangan
Tak ada kata menyerah

Kami Arema, terus berjuang sepanjang masa
Kami Arema, tak peduli segala rintangan
Kami tetap melangkah

Namun itu semua hanyalah berandai-andai. Kenyataannya takdir berkata lain. Satu Oktober 2022 menjadi hari paling memilukan bagi ratusan warga kota dan kabupaten Malang, yang “dipaksa” untuk harus mengikhlaskan ditinggal pergi oleh orang-orang terkasih.

Duka dan Doa

Setelah tragedi Kanjuruhan terjadi, berbagai kelompok dan elemen masyarakat di segala penjuru nusantara turut berkabung dan mengirim doa bagi para korban insiden Stadion Kanjuruhan. Ribuan lilin dinyalakan, bunga-bunga ditabur, ratusan karangan bunga dan ucapan bela sungkawa dikirimkan. Doa-doa terus dilantunkan beriringan dengan derai air mata.

Para sastrawan dan seniman mengekspresikan duka citanya melalui karya. Nurul Khurriyah, mantan aktivis Teater Ideot Malang yang sekarang menjadi Kepala SMP ISLAM Krembung Sidoarjo menciptakan Puisi Tragedi Kanjuruhan. Deasy Tirayoh, penulis dari Komunitas Rumah Andakara yang aktif dalam kerja-kerja literasi dan kebudayaan di Sulawesi Tenggara menciptakan puisi Duka untuk Tragedi Kanjuruhan. Eri Cahyadi, Wali Kota Surabaya, juga menuliskan puisinya Andai Kita Berdoa Persebaya Kalah Semalam.

Seorang Iksan Skuter, musisi yang besar dari kota Malang telah menciptakan dua lagu menyayat hati, yaitu Oktober Hitam dan Oh Malangnya Malang. "Berguguran harapan-harapan, telah mati muda masa depan, terlalu muda ia dibatunisankan, di rumput hijau taman kesedihan", demikian sepenggal lirik pilu lagu Iksan "Oh Malangnya Malang", yang syairnya diciptakan oleh penulis dan budayawan Candra Malik.

Seniman lainnya turut melantunkan belasungkawa melalui karya mereka. Ada Sindy Purbawati pesinden dan penyanyi campursari kelahiran Banyuwangi yang melantunkan kidung duka Kanjuruhan Ninggal Pati dan Kidung Kanjuruhan. Catur Purwanto, pencipta lagu yang dikenal sebagai Poer Brigade menyanyikan Tragedi Kanjuruhan Malang. Danar Widianto, juara ketiga X Factor Indonesia 2021-2022 membawakan Pray for Kanjuruhan. Dan mungkin masih banyak lagi yang akan menyusul.

Musisi legendaris tanah air, Iwan Fals, menulis lagu dengan lirik tajam yang menyentuh hati: "Aum Singo Edan, rindu kasih sayang, rindu serindu-rindunya, Malang nian ratusan jiwa melayang, terinjak-injak kaki saudaranya sendiri, Malang nian gas air mata melayang, nafas tersedak sesak di ruang terkunci, Malang nian engkau duhai sayang, tapi kuyakin Tuhan tunjukan jalan, Malang nian engkau wahai sayang, tapi kuyakin jalanmu kan terang benderang". Demikian sebait lirik lagu "Kanjuruhan", yang dirilis 5 Oktober 2022 dengan segenap empati, simpati, dan kepekaan seorang Iwan Fals.

Menghapus Permusuhan

Hilangnya nyawa 130 orang suporter Arema (termasuk 2 orang polisi) menggugah nurani. Beberapa hari ini ribuan suporter dari berbagai klub sepak bola di segala penjuru tanah air telah melakukan acara doa-doa bersama sebagai ekspresi bela sungkawa. Ribuan doa dari hati yang tulus dikirimkan untuk para korban tragedi paling memilukan dalam sejarah sepak bola negeri ini.

Bahkan Bonek Mania, suporter Persebaya yang selama ini selalu dikenal sebagai musuh bebuyutan Aremania, telah berhari-hari menggelar aksi solidaritas yang diikuti oleh ribuan Bonek Mania, menyampaikan doa dan duka cita mendalam yang tulus untuk Aremania.

Perwakilan Bonek Mania dan perwakilan Manajemen Persebaya telah datang ke Stadion Kanjuruhan, untuk takziah bela sungkawa, berdoa, dan tahlil bersama Aremania, yang disambut dengan pelukan hangat dalam suasana penuh keharuan dari Aremania. Bercermin dari tragedi Kanjuruhan, Bonek Mania dan Aremania telah bersepakat mengakhiri perseteruan antar mereka.

Sebelumnya, foto telah beredar foto-foto di media sosial, memperlihatkan suporter Arema dan Persebaya, duduk bersama di titik 0 kilometer Yogyakarta untuk mendoakan para korban tragedi Kanjuruhan. Hadir pula fans PSS Sleman dan Brajamusti pendukung fanatik PSIM Yogyakarta yang selama ini juga dikenal bermusuhan antar suporter.

Tragedi Kanjuruhan menjadi momentum refleksi sejumlah suporter klub-klub di Indonesia untuk menyudahi permusuhan dan merajut perdamaian. Tanggal 4 Oktober 2022 di Stadion Benteng Reborn Tangerang, dua kelompok suporter yang punya hubungan tidak harmonis yakni Viking Persib Club - Bobotoh dan Jakmania (Persija) bertemu, berdampingan, dan saling berangkulan. Mereka berkumpul untuk mendoakan korban tragedi Kanjuruhan. Hadir hampir semua elemen suporter, ada Aremania, The Jak, Viking, Viole, Benteng Mania, Pasopati, Slemania, Bonek, dan lain-lain.

Tak terasa berlinang air mata saat membaca kabar-kabar itu di media online, di media sosial, apa lagi ketika menyaksikan video-video di Youtube, bagaimana para suporter yang dulunya berseteru dan seakan ingin saling bunuh, kini mereka berpelukan, berdoa, dan menangis bersama, dengan semangat persaudaraan yang tulus, lantaran tragedi Kanjuruhan.

Algoritma dan Pesan-Nya

Dari tragedi Kanjuruhan, kini mulai bisa dibaca skenario besar dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhan dengan algoritma-Nya memiliki cara sendiri untuk "mengambil alih" energi-energi negatif yang selama ini mungkin tersangkut erat bertahun-tahun di hati kita. Insiden, tragedi, musibah, atau apapun namanya, menjadi "alat" yang dipergunakan Tuhan untuk membentuk sebuah "tatanan" baru.

Tuhan lebih menyayangi 130 nyawa mereka yang beberapa hari lalu telah dipanggil untuk kembali pulang menghadap-Nya. Lunas tugas mereka di alam dunia memberi pembelajaran terbesar bagi bangsa ini, bahkan bagi dunia. Terkhususnya bagi para suporter. Kepergian mereka tentu meninggalkan duka mendalam bagi orang-orang tercinta, namun saya meyakini bahwa mereka tidak mati sia-sia.

Seratus tiga puluh orang martir telah dipilih Tuhan untuk menyadarkan kita semua yang egois dan bodoh ini. Kepergian mereka membawa pesan Tuhan, bahwa sepak bola hanyalah permainan, dan persaudaraan serta kemanusiaan adalah yang utama.

Para martir ini mungkin besok, lusa, minggu depan, atau bulan depan, cepat atau lambat mereka akan terlupakan, seiring kehidupan kita yang terus menggelinding mengikuti urusan perut kita masing-masing. Jadi, agar kita tidak melupakan mereka yang telah bertaruh nyawa ini, maka nama, wajah, dan profil mereka, perlu segera kita abadikan dalam tinta emas.

Entah berupa buku profil in memoriam, atau bahkan idealnya perlu kita abadikan dalam museum Aremania. Sebagai pengingat dan penanda. Bahwa mereka telah mengajari kita dengan mengorbankan nyawanya, untuk meruntuhkan ego kita masing-masing, dan agar kita belajar untuk menjadi pencinta Arema dengan cara yang benar dan bijak. Pembelajaran yang sangat mahal.

Membuat satu-persatu profil para korban tragedi Kanjuruhan akan menjadi PR besar dan pekerjaan panjang bagi para penulis dan jurnalis yang “terpanggil’. Catatan-catatan ini di kemudian hari akan menjadi rekam jejak penting bagaimana kita mengapresiasi peristiwa memilukan ini sebagai sebuah pembelajaran yang sangat berharga bagi kita semua dan bagi generasi selanjutnya.

Selamat jalan para "guru-guru" kita. Selamat beristirahat abadi dalam damai. Rasa terima kasih saya ungkapkan dari hati terdalam, semoga pengorbanan nyawa kalian dan segala kesedihan dari orang-orang terkasih yang kalian tinggalkan, tidaklah berlalu begitu saja dengan sia-sia. Insya Allah.

Didedikasikan untuk Aremania, terkhusus bagi para korban Tragedi Kanjuruhan, pahlawan perubahan, dan segenap keluarga, kerabat, kawan serta para sahabatnya. Mohon bantuan dari semua pihak untuk mengoreksi dan melengkapi, apabila terdapat narasi ataupun data-data yang belum sempurna. Terima kasih. Salam satu jiwa.


*) Bachtiar Djanan, asli gnaro Ngalam (orang Malang), kini tinggal di Medan.