Home Ekonomi Meski Optimis Ekonomi Bertumbuh, Pengamat Ingatkan ke Depan Tidak Mudah!

Meski Optimis Ekonomi Bertumbuh, Pengamat Ingatkan ke Depan Tidak Mudah!

Jakarta, Gatra.com - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan, fundamental perekonomian Indonesia mampu memperlihatkan kinerja yang tetap impresif. Faktor eksternal dan internal menopang pertumbuhan ekonomi ditengah krisis global.

“Indonesia faktor eksternalnya masih sangat kuat. Sehingga Indonesia tidak termasuk dalam negara yang rentan terhadap masalah keuangan. Dari internal, ekonomi kita kuat karena kita punya domestic market. Sekarang konsumsi turut menjadi bagian dari pertumbuhan ekonomi, terlebih diprediksi di tahun depan pun pertumbuhan ekonomi kita diantara 4,8%–5,2%,” jelas Airlangga baru-baru ini.

Airlangga mengatakan, nilai tukar rupiah memang mencatatkan depresiasi hingga 6%, namun, itu masih lebih kuat dibandingkan pelemahan mata uang negara-negara lain.

Menanggapi hal itu, Pengamat Pasar Modal Teguh Hidayat menerangkan jika Indonesia tetap harus hati-hati meskipun negara lain sedang terpuruk.

“Memang rupiah turun juga terhadap dollar, tetapi dibandingkan mata uang lain pelemahan kita tidak parah. Jika dibandingkan pound turunnya sampai 50%, Euro 30%, kita cuma 6%,” jelas Teguh di Jakarta, Rabu malam (12/11/2022).

Salah satu faktornya adalah Bank Indonesia (BI) yang belum agresif menaikkan suku bunga acuan, jika dibandingkan Amerika maupun Eropa. BI menaikkan suku bunga untuk menekan inflasi dan stabilisasi nilai tukar rupiah.

Teguh mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia cemderung impresif dan tangguh menghadapi ancaman resesi. Terlebih jika dibandingkan dengan negara-negara Eropa yang mengalami krisis energi karena perang Rusia-Ukraina.

“Sebaliknya kita diuntungkan karena krisis energi. Kita eksportir batubara. Di Indonesia kita diuntungkan nilai ekspor, neraca perdagangan surplus, alhasil pertumbuhan ekonomi kuat, dan rupiah kuat terhadap dollar,” ungkap Teguh.

Namun disebutkan Teguh, keuntungan Indonesia dari komoditas termasuk sektor energi membuat Indonesia tangguh di tengah tantangan global.

Kemudian kondisi pasar saham juga disebut Teguh masih menarik. “Secara fundamental tidak masalah kalau IHSG turun, karena dihitung dari awal 2022 kita masih naik 5-6%, sementara yang lain seperti Thailand Singapura sudah minus,” jelas Teguh.

Kalaupun IHSG turun, kata Teguh, ada faktor psikologis yang mempengaruhi atas berita-berita yang beredar tentang resesi 2023.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengungkapkan perekonomian Indonesia masih bisa bertahan untuk saat ini. Meski demikian, Yose mengingatkan kondisi ke depan akan semakin berat.

"Perekonomian kita pasti akan masih bisa bertahan, tetapi kondisi akan semakin buruk ke depan," terangnya.

Menurutnya, saat ini pemerintah masih bisa menahan kenaikan harga barang sehingga inflasi masih terjaga. Kondisi akan lebih sulit ke depan karena penerimaan pemerintah dari ekspor komoditas seperti mineral dan kelapa sawit akan mengalami penurunan. Hal itu akan membuat pemerintah harus mengurangi subsidi.

Selain itu, Yose juga mengungkapkan Bank Indonesia (BI) juga harus menaikkan suku bunga acuan sebagaimana yang dilakukan bank sentral negara lain, terutama The Fed. Sebab saat ini, penurunan devisa Indonesia sudah hampir 10%.

"Kita tidak bisa terus-terusan mengalami defisit seperti itu. Jadi bank sentral juga harus menaikkan suku bunga. Akibatnya depresiasi mungkin harus terjadi dengan agak lebih kencang dibanding sekarang," tambahnya.

Strategi untuk tidak tidak menaikkan suku bunga acuan juga berimbas pada pelemahan nilai tukar rupiah pada USD.

"Itu terjadi karena bank sentral kita selama ini tidak menaikkan suku bunga sehingga terjadi perbedaan signifikan antara suku bunga dalam negeri dengan suku bunga bank sentral lain, akibatnya terjadi capital outflow. Mungkin pelemahan rupiah ini akan semakin kelihatan ke depan," tambahnya.

Menurut Yose, kebijakan menaikkan suku bunga BI menjadi alternatif untuk mencegah defisit devisa dan memperkuat nilai tukar rupiah. Meski ketika hal itu dilakukan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan melambat.

"Iya menaikkan suku bunga acuan, tetapi pertumbuhan ekonomi juga akan melambat," tandasnya.

Meski melemah pada USD, nilai tukar rupiah ternyata menguat pada sejumlah mata uang lain. Mata uang Indonesia termasuk yang terkuat dibanding negara lain. Bahkan nilai tukar rupiah menguat terhadap mata uang Jepang, Australia, dan Singapura.

"Kita sebenarnya hanya melemah pada USD, kalau pada yang lain kita menguat JPY, AUD, SGD," pungkasnya.

88