Home Ekonomi Fraksi PKS DPR Desak BPK Audit Kebenaran Data Penerimaan Negara dari Hilirisasi Nikel

Fraksi PKS DPR Desak BPK Audit Kebenaran Data Penerimaan Negara dari Hilirisasi Nikel

Jakarta, Gatra.com – Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Mulyanto mendesak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengaudit kebenaran data penerimaan negara dari program hilirisasi nikel. Pasalnya, ia memandang peningkatan penerimaan tersebut terlalu signifikan dan tidak masuk akal.

“BPK harus dapat memastikan berapa nilai penerimaan negara sebenarnya dari program hilirisasi nikel. Sebab angka yang disampaikan Pemerintah terlalu bombastis dan tidak masuk akal," ujar Mulyanto, dalam keterangan resminya, pada Jumat (14/10).

Mulyanto menilai, klaim Pemerintah akan adanya kenaikan signifikan terkait penerimaan negara dari Rp15 triliun menjadi Rp350 triliun merupakan hal yang sangat janggal, sekaligus meragukan. Ia pun menduga, angka tersebut bukanlah jumlah penerimaan negara melainkan total nilai ekspor nikel oleh perusahaan smelter asing yang ada di Indonesia.

"Jangan-jangan angka itu bukan penerimaan negara namun sekedar angka ekspor nikel yang dilakukan oleh industri smelter asing, yang keuntungannya terutama dinikmati oleh investor smelter tersebut. Dan sama sekali, bukan merupakan penerimaan negara. Ini kan beda jauh tafsirnya," ujar Mulyanto.

Oleh karena itu, Mulyanto pun mendesak Pemerintah untuk transparan dalam menyatakan besaran penerimaan negara darai hilirisasi nikel, demi mencegah adanya salah tafsir di kalangan masyarakat. Ia menyebut, Pemerintah perlu menjelaskan secara gambling menjelaskan sumber penerimaan negara tersebut.

Terlebih, kata Mulyanto, industri smelter selama ini bebas dari pajak ekspor atau bea keluar. Bahkan, penerapan pajak ekspor produk hilirisasi nikel setengah jadi (NPI) pun baru direncanakan akan berlaku pada tahun 2022 ini.

“Sementara mereka juga mendapat insentif pembebasan pajak atau tax holiday (PPH Badan) selama 25 tahun. Tidak pula membayar pajak pertambahan nilai (PPN), dan karena tidak menambang dan hanya membeli ore dari penambang dengan harga murah, maka industri smelter tidak membayar royalti tambang sepeserpun," ujarnya.

Mulyanto pun mengaku curiga, bahwa fasilitas insentif yang didorong Pemerintah dalam program itu justru berdampak pada kerugian keuangan negara. Apalagi, kata Mulyanto, pekerja yang didatangkan dari luar negeri disinyalir hanya menggunakan visa turis dan bukannya visa pekerja, dan bahkan sempat dihebohkan sebagai pekerja kasar.

“Jangan-jangan dengan fasilitas insentif fiskal dan non-fiskal yang super mewah untuk program hilirisasi nikel yang ada ini malah merugikan kas keuangan negara," ujarnya curiga.

Di samping itu, PKS pun mendesak Pemerintah, untuk melakukan evaluasi komprehensif atas program hilirisasi nikel tersebut, sebelum berlanjut pada hilirisasi komoditas tambang lainnya. Menurutnya, Pemerintah perlu memperjelas road map tahapan industri sekaligus produk hilirisasi, sehingga industri pun dapat benar-benar tumbuh, serta berdampak besar bagi masyarakat.

“Jangan sekedar hilirisasi yang menjadi subordinat proses industrialisasi di Cina, yang mengeskpor produk setengah jadi dengan nilai tambah rendah," tandasnya.

Sebagai informasi, Presiden Joko Widodo pada Selasa (11/10) menyatakan bahwa hilirisasi industri mampu meningkatkan hasil ekspor Indonesia. Ia pun mencontohkan dengan menyebut nilai ekspor komoditas nikel bertambah dari Rp15 triliun menjadi Rp360 triliun setelah proses hilirisasi.

Oleh karena itu, Jokowi pun berencana akan melarang kegiatan ekspor timah, bauksit hingga tembaga. Hal tersebut dilakukan, untuk mengulang kesuksesan pelarangan ekspor nikel, pada komoditas lain.

180