Home Teknologi Kemenkes Ungkap Tantangan Data dan Sistem Kesehatan yang Dihasilkan

Kemenkes Ungkap Tantangan Data dan Sistem Kesehatan yang Dihasilkan

Jakarta, Gatra.com – Chief Technology Officer Kementerian Kesehatan Dandy Handoko mengungkapkan tantangan data dan sistem kesehatan yang dihasilkan setiap hari.

“Ada 270 juta masyarakat Indonesia memiliki data medis dalam bentuk digital dan kertas,” kata Dandy dalam webinar CISDI berjudul “Mewujudkan Keterwakilan Data Kelompok Rentan Berkeasilan lewat Tata Kelola Data Kesehatan” melalui Zoom, Jumat (14/10).

Selanjutnya, terdapat 60 ribu fasilitas kesehatan di Indonesia yang terdiri dari 10.000 puskesmas, 3.000 rumah sakit, dan lain-lain yang memproduksi data kesehatan baik digital maupun kertas

“Kita lihat juga ada lebih dari 400 aplikasi yang dimiliki dari pemerintah Pusat dan Daerah,” tambahnya.

Baca juga: Dua Aplikasi Kesehatan UGM Raih Penghargaan di Malaysia

Menurut Dandy, ini menjadi beban bagi tenaga kesehatan dalam melakukan pelaporan, lantaran saat ia memeriksa satu puskesmas, terdapat 70 aplikasi, bahkan rata-rata mediannya sekitar 30-35 aplikasi yang berbeda karena setiap program mengharuskan untuk memberikan laporan yang berbeda.

Dandy mengungkapkan dalam satu hari, tenaga kesehatan menghabiskan waktu selama delapan jam untuk membuat laporan.

Tiga jam dihabiskan untuk melakukan pelayanan, sementara sisanya memasukkan data laporan ke Sistem Informasi Puskesmas, dimana ini dinilai sangat tidak efisien dan memberatkan tenaga kesehatan.

Baca juga: Puskesmas Bangli Utara Bali, Contoh Layanan Promprev yang Baik

“Data juga tidak standar dan tidak terintegrasi saat ini di Indonesia. Kalau kita pergi dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain atau satu Puskesmas ke Puskesmas lain, dimana kita harus kembali lagi mendaftarkan nama kita, alamat kita. Belum lagi tenaga kesehatan bisa memasukkan ke beberapa program di atas, masukkin lagi informasi data dan lain-lain,” jelasnya.

Dandy mengungkapkan saat ini belum ada interoperabilitas antara sistem-sistem tersebut dalam data kesehatan nasional.

“Bahasa pun berbeda. Ada mungkin sakit panas. Disini dibilangnya panas. Ada yang bilang mungkin batuk, atau bilang panas, demam. Ada panas, ada demam tinggi dan demam rendah. Jadi, belum adanya standardisasi dari data tersebut, dimana ini membuat susahnya membuat kebijakan berbasis data,” tutupnya.

374