Home Kolom Bersinergi untuk Menegakkan Hukum Pemilu

Bersinergi untuk Menegakkan Hukum Pemilu

Oleh: Suradi Al Karim *)

Belum lama ini Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI meminta para ahli, pemantau pemilu, dan beberapa anggota Bawaslu provinsi untuk memberi masukan terhadap pola investigasi. Ini penting agar kerja dalam menangani pelanggaran pemilu dapat berjalan efektif dan sesuai peraturan perundang-undangan.

Keinginan Bawaslu tersebut berdasarkan tiga soalan. Pertama, terdapat beberapa kendala dalam pengegakan hukum. Jangka waktu untuk pelaporan pelanggaran sangat singat, tujuh hari sejak diketahui dan/atau ditemukan.

Waktu yang diberikan kepada Bawaslu untuk menindaklanjuti laporan juga sangat singkat. Ini berdampak pada kesulitan dalam pengumpulan alat bukti. Kedua, tidak ada wewenang Bawaslu untuk memanggil paksa para pihak yang diduga melakukan tindak pidana untuk dimintai keterangannya.

Jika subjek berkehendak melarikan diri dalam satu pemeriksaan, tidak ada cara yang dapat diupayakan dan akhirnya perkara tersebut dihentikan karena habis waktu dalam proses penanganannya. Ketiga, perlu ada terobosan hukum penegak hukum—sinergisitas polisi, jaksa, dan pengawas pemilu—dalam menyelesaikan kasus, baik administratif maupun pidana.

Di atas dasar tiga alasan, ada pertanyaan, untuk apa ada pola investigasi? Padahal, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 sudah menjelaskan bahwa pengawasan pemilu adalah kegiatan mengamati, mengkaji, memeriksa dan menilai proses penyelenggaraan pemilu sesuai peraturan perundang-undangan.

Dalam pengertian ini, pengawasan pada dasarnya mencakup empat aspek penting: 1) mengamati seluruh penyelenggaraan pemilu baik oleh penyelenggara, peserta, mapun pihak lain seperti pemerintah, dan media massa; 2) mengkaji dan menganalisis kejadian-kejadian dalam proses penyelenggaraan pemilu yang patut diduga merupakan pelanggaran pemilu; 3) memeriksa dan mencermati bukti-buklti awal yang didapat terkait dengan dugaan pelanggaran sebagai pendukung dalam proses pengkajian; dan 4) menilai dan menyimpulkan hasil kegiatan pengawasan.

Di dalam empat aspek kepengawasan tersebut, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dengan tegas mengamanati Bawaslu melaksanakan pengawasan dengan dua strategi besar: pencegahan dan penindakan. Pencegahan dilakukan dengan langkah dan upaya optimal dalam mencegah potensi pelanggaran, sedangkan penindakan dilakukan dengan menindaklanjuti temuan pengawas pemilu atau laporan masyarakat. Dalam dua strategi pengawasan ini, Bawaslu melakukan kajian. Hasil kajiannya direkomendasikan kepada institusi terkait sesuai peraturan perundang-undangan.

Sebagaimana disebut pada Pasal 94 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, Bawaslu melakukan pencegahan dengan empat mekanisme, yaitu (1) mengindentifikasi dan memetakan potensi kerawanan serta pelanggaran pemilu, (2) mengoordinasi, menyupervisi, membimbing, memantau, dan mengevaluasi penyelenggraan pemilu, (3) berkoordinasi dengan instansi pemerintah terkait; dan (4) meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan pemilu. Empat jenis tindakan ini adalah bagian dari mahkota kepengawasan; dan karena itu Bawaslu memiliki peran dan fungsi yang tegas dalam penegakan hukum pemilu.

Menegakkan Hukum Pidana Pemilu

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 telah memberikan kekuatan kepada Bawaslu untuk melakukan kerja-kerja kepengawasannya. Pelanggaran pemilu yang ditangani adalah pelanggaran admnistrasi, pelanggaran kode etik penyelengara pemilu, dan tindak pidana pemilu. Belajar dari pengalaman penanganan pelanggran, terdapat kendala dalam pengumpulan alat bukti dan pelimpahan perkara penanganan pelanggaran ke instansi yang berwenang.

Karena itu, untuk mencari alternatif penyelesaiannya, Bawaslu tidak hanya mengambil langkah-langkah investigatif tetapi perlu kembali mengharmoniskan kerja penegakan hukum pemilu dengan makin menguatkan poin-poin penting dalam nota kesepahaman (memorandum of understanding) dengan kepolisian dan kejaksaan dalam sistem sentra penegakan hukum terpadu (Sentra Gakumdu) sebagai tindak lanjut amanah Pasal 477, Pasal 486 ayat (1), ayat (4), dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017.

Tentu saja ini dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana untuk memastikan penyidik dan penuntut umum menjalankan tugas secara penuh waku dalam penganan pelanggaran pemilu. Dengan demikian, penanganan pelanggaran pemilu dapat lebih fektif dan efisien dengan cara menelusuri pelanggaran atas hukum pemilu, bukan kerja investigasi.

Sinergisitas menjadi penting karena dalam praktik, relasi tripartit yang tidak berjalan dengan antara kejaksaan, kepolisian, dan Bawaslu merupakan “cacat bawaan” dari pemilu ke pemilu. Kalau dibiarkan, ini tidak hanya melemahkan penegakan hukum pemilu tetapi juga menggerus kepercayaan publik terhadap marwah penegakan hukum.

Dengan sinergisitas yang bagus, kepolisian, kejaksaan, dan Bawaslu tidak hanya berhasil menjaga marwahnya sebagai penegak hukum tetapi juga memastikan penyelengaraan pemilu berlangsung adil dan makin demokratis.

*Penulis adalah Advokat Peradi, Penasihat MD KAHMI Kabupaten Banyumas, dan fungsionaris BPPH PP Kabupaten Banyumas