Home Kesehatan Praktisi: Kasus Gagal Ginjal Akut Anak, Pemerintah Wajib Berikan Perlindungan Menyeluruh

Praktisi: Kasus Gagal Ginjal Akut Anak, Pemerintah Wajib Berikan Perlindungan Menyeluruh

Jakarta, Gatra.com - Kasus gagal ginjal akut yang menyerang anak-anak usia 6 bulan-18 tahun meningkat dalam dua bulan terakhir. Per 26 Oktober 2022, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat jumlah temuan kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) di Indonesia mencapai 269 orang.

Dari jumlah tersebut, angka pasien yang meninggal sebanyak 157 orang, pasien yang dirawat sebanyak 73 orang, dan pasien yang sembuh sebanyak 39 orang. Sejak akhir Agustus 2022, Kemenkes dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) telah menerima laporan peningkatan kasus GGAPA atau Acute Kidney Injury (AKI) yang tajam pada anak, utamanya di bawah usia 5 tahun.

Tren peningkatan kasus ini berbeda dengan yang sebelumnya, karena itu sejak awal kemunculannya kasus ini disebut sebagai “gagal ginjal misterius”. Menindaklanjuti hal tersebut, Kemenkes bersama BPOM, ahli epidemiologi, IDAI, Farmakolog dan Puslabfor Polri melakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikan penyebab pasti dan faktor risiko yang menyebabkan gangguan ginjal akut.

Penelitian awal dari Kemenkes menyebut, kasus GGAPA pada anak diduga diakibatkan obat batuk sirup yang terkontaminasi bahan berbahaya. Dari hasil pemeriksaan sampel pasien di RSCM Jakarta terkonfirmasi bahwa pasien balita yang terkena AKI terdeteksi memiliki tiga zat kimia berbahaya. Zat tersebut antara lain etilen glikol (EG), dietilen glikol (DEG), dan etilen glikol butil ether (EGBE).

Pengamat kebijakan publik yang juga praktisi kesehatan Wibisono mengatakan, pemerintah harus mengkaji atau melakukan riset yang mendalam agar tidak menimbulkan keresahan di masyarakat, khususnya bagi kalangan tenaga kesehatan dan farmasi. Pemerintah menurutnya harsu memberikan penjelasan yang detil terkait sejumlah obat yang diduga mengandung EG dan DEG yang melebihi batas aman.

“Kasus gagal ginjal bagi anak perlu dilihat dalam kacamata hukum, anak yang menjadi korban perlu dilindungi. Hal ini sejalan dengan Pasal 1 angka 12 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak di mana hak anak adalah bagian dari HAM yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, pemerintah, dan negara,” kata Wibisono dalam keterangannya kepada Gatra.com, Sabtu (29/10).

Sementara itu, pelaku usaha produsen dan penyedia obat cair etilen glikol dan dietilen glikol yang menjadi detterent effect yang mengakibatkan kasus gagal ginjal dapat dijerat Pasal 196 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan, setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan keamanan dipidana paling lama 10 tahun dan denda 1 miliar rupiah, mereka bisa dipidana,” ucap Founder PT Biotech itu.

Sementara itu, perusahaan farmasi juga dapat dikenakan delik sesuai UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen khususnya dalam Pasal 8 ayat 1 butir (a) di mana pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan. “Perusahaan farmasi harus bertanggungjawab atas kerugian materiil dan immateril atas kerugian yang terjadi dengan pidana maksimal 5 tahun dan denda paling banyak 2 miliar rupiah,” imbuhnya.

Ia berharap, ada perlindungan komprehensif dan efektif serta pemulihan bagi korban yang mengalami gagal ginjal serta fasilitas kesehatan yang memadai dengan melibatkan orang tua, keluarga, dan masyarakat. “Pemerintah harus menyiapkan substitusi obat cair yang aman bagi kesehatan ginjal anak, serta lakukan penyelidikan bagi produsen penyedia obat cair yang diduga mengandung etilen glikol dan detilen glikol,” pungkas Wibisono.

336