Home Ekonomi Risiko Resesi Global dan Kebijakan Kontra Siklus

Risiko Resesi Global dan Kebijakan Kontra Siklus

Jakarta, Gatra.com - Ekonom senior dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), Kenneth Rogoff (2022) menyatakan dalam World Bank Group bahwa, “Kemungkinan terjadinya resesi di Eropa, USA dan China sangat besar, dimana jika satu kawasan mengalami resesi maka kemungkinan besar kawasan lainnya akan terdampak, risiko resesi global di tiga negara utama meningkat dari hari ke hari.”

Risiko resesi global tahun 2023 sangat besar. Consensuss forecast para ekonom menyimpulkan, resesi global (fase turun) dipastikan terjadi tahun depan dengan magnitudo lebih besar dibandingkan tahun 1970-an. Dibutuhkan kebijakan kontra siklus.

Terdapat beberapa definisi resesi. Ekonom, Julius Shiskin (1974) mendefisnikan resesi sebagai pertumbuhan negatif dalam dua kuartal secara berturut-turut. Definisi ini sangat popular dan menjadi seperti rule of thumb dalam teori siklus bisnis.

Sementara NBER mendefinisikan resesi sebagai “penurunan aktifitas ekonomi yang menjalar ke seluruh perekonomian, berakhir dalam beberapa bulan, dapat diamati dalam penurunan Gross Domestic Product (GDP) riil, pendapatan riil, pengangguran, produksi industri, dan penjualan ritail.”

Sejak tahun 1970-an, telah terjadi lima kali resesi, yaitu resesi 1975, 1982, 1991, 2009 dan 2020. Resesi tersebut selalu diawali oleh resesi USA, China dan Zona Euro. Ketiganya berkontribusi 55 persen terhadap GDP global.

Kebijakan Kontra Siklus

Resesi global 2023 mirip dengan tahun 1970-an yang dimulai dari embargo minyak Arab pada Oktober 1973 dan resesi USA, China serta zona Euro. Hal ini menyebabkan harga minyak dunia meningkat drastis yang berdampak pada inflasi tinggi (harga BBM merupakan komponen utama Consumer Price Index (CPI) inflation).

Mayoritas negara secara terkoordinasi melakukan kebijakan kontra siklus, pengetatan moneter dan fiskal untuk membawa inflasi ke level sebelum resesi. Namun, kebijakan tersebut tidak hanya sukses menekan inflasi tetapi juga menyebabkan resesi.

Kecenderungan yang sama juga terjadi tahun 2023, di mana resesi global 2020 akibat pandemi Covid-19 direspon dengan kebijakan yang sangat ekspansif. Suku bunga acuan berada pada level terendah dalam lima dekade terakhir. Stimulus fiskal secara global mencapai sekitar 4 triliun dolar AS. Setara 20 persen GDP global.

Hasilnya nyata, resesi global 2020 terjadi dalam hitungan bulan, dimulai Februari 2020, berakhir April 2020. Resesi global 2020 merupakan resesi tercepat yang terjadi dalam sejarah sejak great depression tahun 1929.

Cerita sukses (good news) tahun 2020 juga disertai oleh kabar buruk (bad news). Stimulus fiskal dan kebijakan moneter ekspansif membawa perekonomian global ke dalam inflasi tinggi, sekitar 8,2 persen hingga paruh pertama 2022.

Pada ronde kedua, diperlukan lagi kebijakan kontra siklus untuk mengantisipasi resesi 2023 melalui pengetatan moneter dan fiskal dengan dosis dan waktu yang tepat. Pilihannya terbatas pada pengetatan moneter, menaikkan suku acuan dengan besaran yang tidak membebani sektor riil. Kebijakan fiskal, menajaga defisit pada angka 3% GDP (kontraktif) dengan tetap fokus pada kelompok masyarakat rentan.

Selanjutnya, menjaga agar nilai tukar tidak terdepresiasi tajam yang mendorong spekulasi. Dalam regim nilai tukar managed floating, bank sentral akan menjaga rupiah tidak terdepresiasi tajam melalui intervensi pasar valas tanpa mengorbankan cadangan devisa terlalu besar.

Singkatnya, memang kita sedang menghadapi “situasi serba salah”, tetapi pengambil kebijakan dan kebijakannya “tidak boleh salah.”

 

Oleh:

Muhammad Syarkawi Rauf

Dosen Fakulktas Ekonomi dan Bisnis Unhas/Komisaris Utama PTPN IX Jawa Tengah

 

476