Home Ekonomi Komoditas Pangan, CIPS Nilai Produksi Harus Tetap Efisiensi

Komoditas Pangan, CIPS Nilai Produksi Harus Tetap Efisiensi

Jakarta, Gatra.com - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Azizah Fauzi mengatakan bahwa negara masih mampu mengelola 11 komoditas pangan untuk mengatasi persoalan efisiensi produksi pangan. Inefisiensi produksi selama ini membuat tingginya harga pangan domestik.

Adapun beleid pengelolaan 11 komoditas pangan meliputi beras, jagung, kedelai, bawang, cabai, daging unggas, telur unggas, daging ruminansia, gula konsumsi, minyak goreng dan ikan tertuang sebagaimana Peraturan Presiden Nomor 125 tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Cadangan Pangan Pemerintah.

"Proses produksi yang efisien merupakan salah satu kunci pangan yang terjangkau dan berkualitas," kata Azizah dalam keterangannya, Jumat (4/11).

Ia menjelaskan bahwa terdapat berbagai persoalan yang masih ada pada produksi pangan di Indonesia, seperti tingginya ongkos produksi, minimnya adopsi teknologi pertanian dan minimnya akses petani terhadap input pertanian berkualitas.

Menurut dia, petani masih menemui beberapa kesulitan mulai dari benih, pupuk, akses permodalan dan keterbatasan lahan yang berimbas pada proses produksi yang tidak efisien. Belum lagi, ongkos logistik di Indonesia masih cukup tinggi.

Azizah menyebut, pengelolaan 11 komoditas pangan yang akan dilakukan Badan Pangan Nasional perlu memperhatikan dinamika persoalan pangan domestik dan internasional.

Adapun di level domestik, Azizah menyebut persoalan rantai pasok pangan dari hulu hingga hilir perlu dilakukan untuk

Meningkatkan efisiensi produksi, menciptakan sistem logistik yang terintegrasi antar satu daerah dengan daerah lainnya. Rendahnya adopsi teknologi pasca panen dan pengolahan limbah pangan perlu diatasi dengan kebijakan yang tepat sasaran.

Misalnya, kata Azizah pemerintah perlu membuka investasi di bidang lemari penyimpanan berpendingin untuk mengurangi tingkat kehilangan pangan dan limbah pangan dalam proses distribusi juga dapat dilakukan.

Ia menyebut, di tingkat internasional, kerentanan sistem pangan Indonesia akibat konflik global sangat besar. Di sisi lain, ketahanan pangan Indonesia juga terancam akibat adanya berbagai kebijakan proteksionis dari negara lain.

"Contohnya saja India yang pernah menghentikan ekspor gula. Indonesia sendiri sempat melarang ekspor crude palm oil (CPO) karena memprioritaskan kebutuhan dalam negeri," ucapnya.

Ia menyebut, selama ini impor pangan dilakukan kebanyakan dari negara dengan tingkat efisiensi produksi tinggi, sehingga konsumen akan diuntungkan dengan harga pangan yang terjangkau dan produk berkualitas lebih baik.

Menurut Azizah, masalah sistem pangan di Indonesia kompleks dan tidak serta merta dapat diselesaikan hanya dengan pembatasan impor.

Kebijakan pembatasan impor dapat menaikkan harga pangan di tingkat konsumen dan ini berdampak negatif pada ketahanan pangan Indonesia.

Menjawab tantangan tersebut, kata Azizah perlu keberpihakan yang efektif dari pemerintah, dalam hal ini Badan Pangan Nasional kepada produsen, serta meningkatkan kerjasama antara pemerintah dan swasta.

Alih-alih melarang impor, Azizah menekankan agar pemerintah perlu mempermudah akses petani kepada faktor produksi, seperti benih yang berkualitas.

"Pemerintah juga dapat memberdayakan riset dan pengembangan bibit varietas unggul, serta membuka peluang keterlibatan swasta dalam proses modernisasi pertanian," imbunya.

87