Home Pendidikan BPCB Jatim: Kerja Panjang Pelestarian Sejarah Kerajaan Hindu-Buddha

BPCB Jatim: Kerja Panjang Pelestarian Sejarah Kerajaan Hindu-Buddha

Mojokerto, Gatra.com – Sejarah mencatat, era kerajaan Hindu-Buddha mulai berkembang di Tanah Air sejak awal Masehi hingga abad 16. Seiring perkembangannya, sejumlah kerajaan besar di Jawa Timur pernah eksis di zamannya. Sejumlah penelitian membuktikan bahwa eksistensi kerajaan di Jatim terbilang paling banyak. Setidaknya ada enam kerajaan besar yang pernah berjaya di wilayah Jatim: Kanjuruhan (akhir abad ke-7 hingga pertengahan abad ke-8), Mataram Kuno (muncul setelah sekitar 847 M), Kediri (sekitar 1042-1222 M), Singasari (sekitar 1222 hingga 1292 M), Majapahit (1293 sampai 1527 M), dan Blambangan yang merupakan kerajaan Hindu terakhir di Jawa yang lahir pada 1295 atau dua tahun setelah Majapahit berdiri.

Alhasil, reruntuhan maupun peninggalan sejumlah kerajaan itu dapat dengan mudah kita temukan di seantero Jatim. Tanggung jawab untuk meneliti temuan-temuan itu dipercayakan pada Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur (BPCB Jatim) yang berkantor pusat di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Wilayah yang diyakini merupakan pusat Kerajaan Majapahit di masa lampau.

“Kalau BPCB Jatim ada temuan cukup banyak,” ucap penjabat sementara (Pjs) Kepala BPCB Jatim, Kuswanto ketika berbincang dengan GATRA beberapa waktu lalu.

Baca Juga: Kemendikbud Ajak Lestarikan Cagar Budaya Lewat Festival Indonesia Bertutur

Berikut petikan wawancara Kuswanto dengan GATRA:

Ada berapa situs baru yang telah ditemukan sepanjang 2022 ini?

Beberapa di tahun 2022 yang kita tangani itu ada di Jombang namanya situs Pandegong dan situs Mbah Blawu. Keduanya di Jombang. Kalau di Mojokerto sendiri ada situs Kumitir, situs Gemekan, dan ini yang terbaru situs Watesumpak.

Kalau yang di luar daerah juga cukup banyak. Kemarin kita ke Magetan ada situs Panakan di daerah Pedagung. Kemudian ada situs di desa Genilangit. Itu ada temuan semacam struktur, di atas gunung. Kemudian di beberapa daerah lain, teman-teman kemarin ke Ponorogo, itu juga ada temuan. Tapi mungkin temuan yang signifikan itu di sekitar sini [Mojokerto], seperti Kumitir, Gemekan, terus Sumber Beji.

Apa indikatornya sebuah situs disebut sebagai temuan yang signifikan?

Karena ukurannya yang cukup besar, kemudian kita lakukan ekskavasi. Kalau Kumitir itu ukurannya kan hampir 300x200 meter. Situs Sumber Beji itu petirtaan, temuan baru yang menurut saya cukup spektakuler. Karena selain struktur kolam itu jarang ditemukan, airnya masih mancur terus menjadi danau, dan terdapat arca Garuda.

Baca Juga: Soal Cagar Budaya, Siak Paling Proaktif di Asia Tenggara

Artinya tanggung jawab BPCP Jatim tidak sebatas arca, tapi juga petirtaan?

Iya, yang penting soal struktur. Bahkan, kalau fosil-fosil juga ada temuan kita. Cuma yang menangani fosil saat ini sementara ialah Balai Pelestarian Situs Manusia Purba (BPSMP) Sangiran, Jawa Tengah. Seperti [temuan kita] yang di Nganjuk kemarin.

Adakah situs yang menjadi prioritas untuk dilakukan ekskavasi dalam waktu dekat?

Kalau saat ini yang sudah ditangani ya situs Kumitir yang besar itu. Lokasinya di Desa Kumitir Kecamatan Trowulan, sekitar 5 km dari kantor BPCB. Kemudian kita lakukan ekskavasi di situs Gemekan. Ini juga dekat di daerah Sooko, Mojokerto. Di dalam situs itu ditemukan prasasti yang umurnya cukup tua, kalau tidak salah dari tahun 936 Masehi. Prasasti itu kita selamatkan dan sudah ada yang membaca tulisannya dari ahli epigrafi Universitas Negeri Malang. Selain Gemekan kita juga bersamaan lakukan ekskavasi di situs Watesumpak, tidak jauh dari sini. Jadi ada dua ekskavasi bersamaan.

Bisa dijelaskan apa pentingnya masing-masing situs tersebut?

Untuk arti pentingnya, kita harus mengacu pada UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Di dalam UU itu tertuang kenapa cagar budaya atau benda yang diduga cagar budaya itu harus dilestarikan.

Ada beberapa nilai penting kenapa benda-benda itu harus dilestarikan. Pertama, nilai penting untuk pendidikan, bahwa benda itu bisa digunakan untuk atraksi pendidikan. Kemudian nilai penting ilmu pengetahuan, dari benda itu masih bisa dikembangkan untuk bidang-bidang tertentu seperti arkeologi, antropologi, sejarah, ataupun arsitektur, untuk dipelajari dan pengembangan ilmu mereka.

Poin yang paling penting adalah nilai sejarah. Harus mengandung nilai sejarah. Dari aspek sejarah, temuan ini punya konteks yang mana dalam alur sejarah Indonesia. Dia mendukung bukti sejarah Indonesia yang mana? Misalnya, umumnya yang ditemukan di sekitar sini peninggalan periode sejarah Indonesia saat Hindu-Buddha. Jadi temuan itu memperkuat sejarah ekstensi peradaban Hindu-Buddha di Indonesia. Semakin menguatkan dan juga membuktikan bahwa kisah atau cerita sejarah di masa lalu itu bukan kebohongan, tetapi ada bukti sejarah.

Kemudian dia memiliki nilai penting kebudayaan. Yang jelas temuan itu harus mewakili gaya suatu kebudayaan ada seni, sastra, dan lainnya. Temuan ini bisa mewakili seni di masa apa? Masa Majapahit dan Masa Singosari pun seninya sudah berbeda. Jadi dia mempunyai nilai karakter kebudayaan di situ. Entah seninya, sastranya. Bahwa itu menjadi bukti waktu itu bahasa itu memang ada yang sekarang sudah dipakai lagi.

Candi Singasari, Kecamatan Singosari, Jawa Timur. (GATRA/Flora Karo)

Tugas BPCB lebih ke soal ekskavasi?

Iya, BPCB lebih ke arah pelestarian. Sebenarnya kalau dari kami ada yang punya kemampuan membaca prasasti malah lebih bagus, tapi kami belum punya itu. Jadi tetap harus ada ahli. Bekerjasamanya dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) juga dengan balai arkeologi. Jadi kita sifatnya penyelamatan, perlindungan, dan pemanfaatannya.

Seperti apa pemetaan situs arkeologi di wilayah Jatim?

Kegiatan pemetaan kita itu bagian dari dokumentasi. Karena objek cagar budaya ini kan rentan rusak karena barang lama yang mungkin aus dan lain sebagainya. Nah itu yang paling penting adalah dokumentasi. Sehingga selain dokumentasi visual kita juga menggambarnya. Karena untuk menyelamatkan data utama. Kalau itu hilang kita sudah punya data utama.

Kemudian yang kedua dalam rangka deleniasi dan zonasi untuk situs dan kawasan. Deleniasi maksudnya untuk menentukan batas keluasan situs. Setelah itu selanjutnya ada yang namanya zonasi yang diatur untuk melindungi situs. Yang pertama yaitu zona inti yang ditentukan dengan kajian. Seberapa luas situs ini yang digunakan. Dan dalam zona inti ini tidak boleh ada penambahan-penambahan karena khusus untuk perlindungan.

Baru nanti ada zona penyangga di sekitarnya. Biasanya ini untuk gazebo atau fasilitas, tapi dalam rangka untuk menyangga situs. Nah, yang terluar itu baru ada yang namanya zona pengembangan dan zona penunjang. Di situ boleh fasilitas untuk wisata dan sebagainya itu ada di area penyangga.

Bagaimana metode penentuan tahun suatu temuan?

Itu namanya penanggalan umur, dan di kami ada dua metode. Pertama yaitu umur relatif. Itu paling sering kita pakai karena biayanya murah. Kedua ialah penentuan umur mutlak dan ini harus pakai tes karbon.

Yang paling sering kita pakai ya yang umur relatif ini lewat pengecekan ikonografinya, identifikasi melalui gaya arcanya. Kalau gaya seperti ini berarti gaya Singosari misalnya. Gaya Singosari ini kan ketahuan muncul pada abad 12, kalau Majapahit itu abad 13-14, kalau Kediri itu abad 11. Nah dilihat dari gaya-gayanya.

Lah kalau yang umur mutlak ini harus pakai tes karbon. Ini susahnya harus menemukan sample karbonnya. Kadang susah karena sudah tidak ditemukan bekas pembakaran di situsnya. Karena dia harus peluruhan arang, lalu itu diukur nanti bisa tahu tahunnya.

Arca Dwarapala terbesar di Indonesia ditemukan di Jatim, berlokasi di Kecamatan Singosari. (GATRA/Flora Karo)

Apakah BPCB Jatim diberikan target dari pemerintah pusat setiap tahunnya harus berapa situs yang digarap atau tergantung temuan?

Kalau untuk ekskavasi itu tergantung temuan. Dasarnya kan temuan. Tidak bisa menarget tahun ini sekian. Tidak. Biasanya ada temuan baru kita usulkan. Nanti tergantung anggaran yang tersedia berapa dan cukup untuk berapa situs.

Benarkah di Indonesia sendiri temuan paling banyak ada di Jawa Timur?

Di Jawa Timur memang banyak ya. Hampir tiap bulan ada laporan. Ya kita memilah mana yang kemungkinan potensi yang bisa kita lanjutkan. Yang kecil-kecil ya sementara dilindungi dulu, didokumentasi dulu. Setiap kita melaksanakan kegiatan kita unggah di YouTube BPCB. Itu kewajiban ketua tim untuk membuat videonya. Jadi masyarakat juga tahu apa yang kita kerjakan.

Untuk sumber daya manusia sendirinya bagaimana?

Kalau sumber daya secara kuantitas kita banyak. Hampir ada 500an yang tersebar di seluruh Jawa Timur. Di hampir tiap kabupaten/kota ada.

Seperti apa tantangan pengembangan situs arkeologi ini?

Beberapa tantangan datang dari masyarakat sendiri. Masyarakat itu jelas ada yang simpati ada juga yang beda kepercayaan itu, memang kita harus bisa menjelaskan ke mereka. Ada yang menganggap temuan ini sudah tidak lagi selaras karena kepercayaan orang-orang di wilayah tersebut kan sudah berubah total. Nah itu yang harus kita jelaskan ke mereka bahwa aktivitas penyelamatan cagar budaya ini dalam rangka untuk kebudayaan, pendidikan, serta bukti sejarah yang harus dilestarikan bersama. Kemudian pengetahuan masyarakat terkait pelestarian cagar budaya yang mungkin selama ini masih kurang sesuai. Jadi banyak bangunan, khususnya bangunan kolonial, yang seharusnya ada cara-cara pemugaran khusus atau revitalisasinya. Karena masyarakat yang kurang tahu malah justru bisa merusak bangunan itu.


Reporter: Mely Santoso

Editor: Flora L.Y. Karo